4

1474 Kata
Setelah ibunya pulang, Ian tak semangat lagi melanjutkan pekerjaannya. Ucapan sang mama terus saja berputar dalam pikirannya. Bahkan sebelum pulang. Mamanya juga berkata kalau beliau mau menerima Siska sepenuhnya. Bukan karena ingin melupakan Vanessa. Karena sampai kapanpun Vanessa tak akan pernah dilupakan. Tapi tempatkan Vanessa pada bagian khusus memori di hati, dan tempatkan Siska pada bagian masa depan. Sekarang Siskalah masa depannya. Entah setan apa yang merasukinya, ia yang awalnya bersikeras dengan cintanya pada Mendiang istrinya, justru malah mengiyakan permintaan mama nya untuk mau menerima Siska sebagai istri. Mengubah Siska bukan menjadi gadis yang baik dan patuh, tapi mengubah Siska menjadi istri yang taat dan bisa bersama-sama dengannya sampai nanti. Ian merogoh isi kantong celananya dan meraih cincin yang tadi ia lepaskan dari jemarinya. Menatap cincin itu lamat. Dengan ini ia mengikat Siska. Ini tanda kalau mereka sudah menikah. "Vanes, apa yang harus aku lakukan? Lima tahun memang bukan waktu yang singkat tapi bisakah aku menyimpanmu di sudut hatiku dan mengisi Siska di tempat utama?" ucap Ian bermonolog sendiri. "Bisa!" Ian terkejut mendengar suara seseorang dari arah pintu. "Cia? Lo kapan datang?" Ian yang awalnya terkejut langsung berlari menyambut kedatangan Cia sepupunya. "Halo cantik. Kenapa datang nggak kasih tau Om. Hm?" Ian mencubit pipi keponakan cantiknya. Lalu kembali menatap Cia "Kapan Lo datang?" "Satu jam yang lalu. Gue dari rumah Lo, tapi di sana cuma ada istri lo. Nggak kasian apa istri ditinggal sendiri? Baru nikah kemaren tapi udah ditinggal sendirian." Ian mendengus. "Tapi untung tadi pas gue mau pergi ke sini, temen siska datang. Namanya Denis. Cakep orangnya." Ian yang awalnya mendengus, kini justru terkejut. "Maksud Lo?" "Iya. Siska pas gue tinggalin tadi dia lagi sama temennya Denis. Dari pada dia sendirian di rumah, ya mending gue biarin Denis di sana." Cia melirik ke arah Ian. Tentu saja Cia bohong. Siska memang bersama teman-temannya, tapi bukan sendirian aja. Ada sekitar enam orang tadi di sana. Dan dia hanya mengingat nama Denis karena memang Denis yang tampan diantara dua orang cowok di sana. Kalau nggak salah namanya Agata. "Kenapa diam? Cemburu ya? Makanya kalau punya istri tu ya harus dibawa kemana-mana. Jangan dieramin di rumah. Nanti ditelurin orang baru tahu rasa." Ian menatap Cia tajam. Dengan kesal, Ian balik badan dan langsung menuju jas yang tadi dia gantung lalu meraih ponselnya yang ada di kantong jas tersebut. Melihat hal itu, Cia yang sengaja memanas-manasi Ian tentu saja sedang tertawa bahagia dalam hatinya. Sebenarnya sebelum sampai di ruangan Ian, Cia bertemu tantenya yang tak lain ibunya Ian tadi di lobi bawah. Mereka sempat berbicara sejenak dan tantenya menceritakan masalah ini pada Cia. Karena itu otak Cia langsung bergegas memikirkan cara untuk membuat Ian mau menatap masa depan yang sudah ia buat dengan Siska dan menyimpan masa lalunya bersama Vanessa. Cia menatap Ian yang sedang menelpon seseorang. Sampai suara Ian menyebutkan nama Siska. "Dimana?" tanya Ian sedikit jutek. "Lagi di rumah. Kenapa Mas?" tanya Siska kebingungan dari seberang sana. "Sama siapa?" "Eh?" "Sama siapa?" "Sama temen." "Cewek cowok?" "Mas Ian kenapa sih?" "Cewek apa cowok sayang, bilang aja kenapa sih?" Siska terkejut mendengar panggilan Ian padanya. "Siska?" "Du--" "Siska, makan dulu woi. Lo belum makan dari pagi." "Belum makan?" "Mas--"   Tuutt  tuutt  tuutt   Panggilan diputuskan sepihak oleh Ian. Wajah pria itu sudah kesal. Mulai dari Siska yang bersama cowok lain di rumah, sampai terdengar teriakan cowok juga yang nyuruh Siska makan. Itu artinya istrinya itu belum makan. "Kenapa?" tanya Cia bingung. Pasalnya Ian memutuskan panggilan begitu saja dengan wajah kesal. "Gue pulang." "Ha? Tapi--"   BRAAKK!   Pintu ditutup paksa oleh Ian sehingga membuat suara dentuman keras. Cia yang awalnya terkejut, langsung tersenyum bahagia. "Yes! Akhirnya.. Berhasil juga. Om kamu masuk jebakan sayang." ucap Cia pada Akila anaknya. Akila hanya menjawab ucapan Bundanya dengan celoteh-celotehan lucu yang tak jelas.     Ian sudah sampai di halaman rumahnya. Saat keluar mobil, pria itu mendengar suara tawa dari dalam rumah. Dengan cepat Ian melangkahkan kakinya ke dalam namun seketika ia dikagetkan dengan kemunculan Siska yang secara tiba-tiba dari balik pintu. "Aaaa!" teriak Ian tanpa bisa ia kontrol. Ian tertunduk sambil mengusap dadanya. "Mas?" Siska yang khawatir langsung mendekati Ian dan mencek kondisi Ian. Siapa tahu jantungan. Maklum sudah om om. Ian menatap Siska kesal. Membuat gadis itu menggigit bibirnya takut. "Mas?" panggil Siska lagi. "Kamu ya. Udah kecil nongolnya tiba-tiba lagi." "Maaf. Aku nggak tahu kalau itu Mas. Aku pikir siapa yang dateng." Ian tak ingin memarahi istrinya ini. Yang ia butuhkan saat ini adalah masuk ke dalam dan mencari cowok yang tadi bicara. Siska mengikuti Ian dari belakang dan seketika langsung menubruk tubuh Ian saat Ian yang berhenti mendadak. Ian menatap tak percaya ke lima anak muda yang tengah makan di meja makan rumahnya. Kelima sahabat Siska yang sedang asik menikmati makanannya harus dibuat melongo bahkan ada yang tersedak saat melihat wajah dingin Ian pada mereka. Sebenarnya Ian bukan marah pada teman-teman istrinya ini. Tapi ekspresi dinginnya itu hasil dari kebodohannya yang bisa dengan mudah ditipu oleh Cia. Apa sebenarnya maksud Cia dengan mengatakan Siska sedang berduaan dengan teman cowok nya? Ini bukan berdua namanya, nyaris setengah lusin jumlah mereka. "Mas?" panggil Siska pelan sembari menepuk pundak Ian pelan. Ian yang terkejut seketika menoleh ke arah Siska. "Mas kenapa?" bukannya menjawab, Ian justru menatap Siska dalam dan tenang. "Ooo Kak Ian, ini maaf kak--ini.." "Lanjutkan makan kalian.!" lagi-lagi mereka dibuat melongo dengan sikap Ian. Mereka pikir tadi Ian akan mengobrak-abrik meja makan atau menyumpahi makanan yang mereka makan. Tapi ternyata malah di suruh lanjutkan makan. Uwaahh, hebat. Ian berjalan menuju kamarnya. Siska yang awalnya kebingungan langsung diperintahkan oleh Yana untuk mengikuti Ian ke kamar. Walaupun masih bingung dan gugup, Siska pun mengikuti Ian ke dalam kamar mereka. Sesampainya di kamar, Siska melihat Ian yang sudah berbaring di atas ranjang mereka dengan sepatu yang masih terpasang. Dengan cekatan, Siska melepaskan sepatu dan kaus kaki Ian lalu menyimpannya di dekat lemari, setelah itu mendekati Ian kembali. "Mas?" panggil Siska pelan. Ian membuka matanya yang tadi ia pejamkan. "Mas kenapa? Ada masalah? Kok pulangnya cepat?" tanya Siska lagi. Ian tak menjawab, Ia lebih memilih menarik Siska naik ke atas ranjang dan merebahkan istrinya itu di samping tubuhnya lalu memeluk Siska yang bertubuh mungil hingga masuk dalam dekapannya. "Biarkan seperti ini dulu." bisik Ian pelan. Siska sudah membeku. Tubuh gadis itu tak bisa bergerak karena Ian menahannya dalam pelukan. Tapi Siska kini tengah mencoba untuk melepaskan diri secara perlahan. Bukannya tak mau, justru dipeluk suaminya seperti ini membuatnya bahagia sekaligus deg degan. Hanya saja kelima sahabatnya ada di luar sekarang. Nggak mungkin Ia sini tapi sahabatnya di luar. "Mas." "Sebentar Siska.!" "Tapi temen-temen aku Mas?" Ian kembali membuka matanya dan menatap Siska tepat di mata gadis itu. Dalam hatinya Ian berpikir, apa bisa dia jatuh cinta pada gadis didepannya saat ini. Disaat Vanessa sudah berhasil membawa semua cinta yang ia miliki. Jantung Siska sudah bertalu-talu bergendang ria karena tatapan Ian padanya. Ian tak mau bicara, tapi tatapannya mampu membuat Siska meleleh. Salah tidak jika perempuan jatuh cinta dalam waktu singkat pada seorang pria? Apa ini perasaan yang bodoh? Jika Ia, berarti ia sudah bodoh karena kini ia rasa, ia mencintai suaminya ini. Ia merasa ia sudah terjebak dengan ucapannya sendiri yang dulu selalu berteriak kalau tak akan ada cinta dan kebahagiaan diantara mereka. "Mas?" ucap Siska berbisik. Namun bukannya menjawab, Ian justru memberikan spot jantung terbaik untuk istrinya. Seperti tengah berada di tempat konser, dentuman speaker yang mampu membuat d**a ikut bergetar. Seperti itulah rasanya jantung Siska saat ini. Bagaimana Tidak. Ian menciumnya. Tepat di bibir dan bukan lagi di pipi ataupun di Kening. Ini ciuman pertamanya jika di bibir. Ian melumat dua kali lalu melepaskan tautan bibir mereka. Siska masih termenung tak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Bahkan setelah kejadian semalam, tak sedikitpun ia berpikir akan terjadi hal seperti ini. "Apa yang sudah menjadi milikku, tak akan pernah kuizinkan disentuh orang lain. Termasuk Kamu." bisik Ian. Siska dibuat merona dengan perkataan Ian yang menurut Siska begitu overprotect tapi romantis. "Mas!?" "Jangan berani dekat dengan cowok manapun. Kamu paham?" tatapan Ian yang tampak serius, membuat Siska tertegun. Ia mencoba meneguk salivanya dan menggaruk tengkuk belakang yang sebenarnya tak gatal. "Kamu dengarkan sayang?" Siska akhirnya mengangguk mengiyakan. Sungguh, jika perutnya ini punya pintu dan bisa dibuka, mungkin akan banyak kupu-kupu yang terbang keluar sekarang. "Ma--mas kenapa pulang?" "Nggak boleh?" "Bu--bukan gitu, tapi--" "Ya udah kalau nggak boleh, aku balik kantor lagi." Ian hendak duduk, namun Siska segera menekan bahunya kembali ke ranjang. "Bukan gitu-- Mas suka ambekan orangnya." "Eh? Nggak kok. Perasaan kamu aja.." Siska mencebik dengan jawaban Ian. "Ya udah, kamu urusin teman kamu dulu, habis itu temenin aku tidur." Siska mengangguk. Ia segera berdiri dan beranjak dari tubuh Ian. "Ingat sayang, hanya sebentar dan jangan berduaan dengan si Denis Denis itu.!" teriak Ian sebelum Siska akhirnya memutuskan untuk keluar. Posesif? Sepertinya iya. Itu sikap Ian yang mulai sekarang harus Siska wanti-wanti. 'POSESIF'.   *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN