Semenjak kejadian di kantor Ian yang membuat Siska jantungan. Satu bulan pun berlalu. Dan hari menegangkan sekaligus melelahkan baru saja gadis itu lewati. Ia kini sudah resmi menjadi nyonya Ian dan resepsi mereka baru saja selesai satu jam yang lalu. Bahkan wajah lelah masih tampak di raut muka Siska.
Ngomong-ngomong soal Ian, gadis itu tak menemukan suaminya sejak setengah jam yang lalu. Ian tak bilang padanya hendak pergi ke mana.
Siska hanya melihat kedua orang tuanya, mertuanya dan beberapa kerabat lainnya. Sedangkan teman-teman Siska baru saja pamit pulang.
Siska malas bertanya yang akhirnya memutuskan untuk mencari Ian sendirian. Sedikit kesusahan dengan gaunnya, Siska pun mengangkat juntaian gaun itu ke atas yang memberikan kemudahan pada langkahnya.
Siska kini sudah berada di lantai atas, dan hendak menuju kamarnya dan Ian, namun sebuah suara seketika menghentikan langkahnya. Dari jenis suaranya, Ia tahu itu suara kakaknya Erik dan juga Ian?.
Entah kenapa menemukan dimana keberadaan Ian membuat hatinya sedikit senang.
Sebelum pengucapan janji suci dilaksanakan, Siska memang diberikan wejangan oleh ibunya tentang patuh pada suami. Berasal dari cinta atau tidaknya sebuah pernikahan itu, selagi suamimu tak kasar, berbaktilah. Dan biasanya wejangan orang tua jika tak didengarkan akan menjadi karma. Karena itu Siska mencoba untuk menerima kenyataan kalau sekarang dia sudah menjadi istri seorang Ian. Dan bagaimana pun kondisinya, Ia harus patuh pada suaminya.
Siska berjalan mendekati sebuah kamar yang ia tahu itu kamar tamu yang di tempati kakaknya.
"Gue nggak janji." suara Ian mulai terdengar di telinga Siska. Gadis itu yang awalnya ingin masuk, langsung menghentikan langkahnya. Nada bicara Ian terdengar begitu serius.
"Gue tahu Ian. Sampai tahap ini aja gue udah makasih banget sama Lo." ucap Erik. Masih dalam keadaan Siska yang ingin menguping. "Tapi jika nanti semuanya berbeda, Lo nggak akan tinggalin adek gue kan?"
DEG!
apa ini? Apa maksud kakaknya?
"Udah gue bilang sama Lo Rik, Lo tahu gue pernah menikah sebelumnya? Mendiang Vanessa sampai saat ini masih bertahan dan ada di hati gue. Hanya saja kita tak bisa terlalu lama karena Tuhan mengambilnya."
Ada satu titik di hati Ian yang menolak ucapannya tersebut.
"Gue tahu Ian. Dan gue juga nggak maksa Lo buat bisa sayang sama adek Gue."
"Gue akan jaga Siska, karena dia sekarang istri gue. Biar semuanya gue yang jalanin. Soal sayang, semua pasti ada jalan."
Siska merasakan ngilu diulu hatinya yang terasa begitu menyesakkan. Ian sudah pernah menikah, tentu saja. Bagaimana Siska bisa melupakan tentang status Ian yang seorang duda. Tentu saja suaminya itu masih mencintai istri pertamanya.
Awalnya Ia pikir, setelah menikah Ian akan menganggapnya istri seperti dirinya yang akan belajar menganggap Ian suami. Tapi ternyata tidak. Karena dihati suaminya itu, cinta untuk Vanessa Almarhumah mantan istrinya begitu besar. Ia yakin akan sangat sulit menembus itu.
Mungkin jika itu manusia, Siska bisa bersaing. Tapi bagaimana caranya bersaing dengan seseorang yang sudah meninggal. Apalagi posisi lawannya begitu kuat terpaku di hati suaminya sekarang.
Siska mengurai senyum di bibirnya. Dengan pelan, akhirnya gadis itu memutuskan untuk memasuki kamarnya dan bersiap untuk mandi.
Sementara itu, Ian yang baru saja selesai berbicara dengan Erik segera turun kebawah namun tak menemukan Siska ada ditengah-tengah keluarganya.
"Siska mana Ma? Bu?" tanya Ian pada kedua ibunya.
"Tadi udah ke atas. Ke kamar kali sayang. Coba cek aja." jawab Hana sambil tersenyum.
"Ya udah. Aku ke atas dulu."
"Jangan kasar-kasar ya Bro, masih kecil itu." teriak Angga sepupu Ian yang seumuran dengannya membuat orang-orang yang ada di ruang keluarga itu tertawa, tapi tidak dengan Erik. Ia tahu kalau Ian tak akan menyentuh adiknya.
Ian sudah masuk ke kamarnya dan mendapati Siska yang sudah tidur dengan piyama tidurnya yang bermotive Rillakuma. Setelah mandi tadi, Siska lebih memutuskan untuk tidur. Ia akan melakukan aktivitas hariannya seperti ia sebelum menikah dulu. Bedanya ia harus menyiapkan keperluan Ian pagi hari.
Ian mendekati Siska yang sudah sah menjadi istrinya itu. Berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan wajah siska.
Wajah gadis itu begitu polos saat tidur. Ian menyingkirkan beberapa helai rambut yang ada di wajah istrinya itu dan mengusap rambut Siska pelan.
"Selamat tidur." bisik Ian lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Setelahnya, Ian segera berdiri dan juga memutuskan untuk mandi.
Siska belum tidur jika Ian menyadari itu. dirinya masih terjaga sebenarnya dan dia juga merasakan kecupan Ian di keningnya. Namun bukannya bahagia, Siska justru merasakan hampa. Ia merasa kecupan Ian hanya sebagai kecupan selamat tidur dari kakak ke pada adiknya. Dan lagi-lagi itu membuat ulu hatinya ngilu.
Tak ada bulan madu, tak ada hubungan ranjang. Kehidupan Siska terasa sama seperti ia sebelum menikah dulu. Yang membuatnya berbeda, pagi ini saat terbangun Siska harus menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Ian suaminya serta menyiapkan semua kebutuhan Ian untuk berangkat ke kantor.
Lucu bukan? Baru saja menikah, tapi sudah disibukkan dengan kegiatan kantor. Tapi begitulah kenyataannya.
Ian lagi-lagi mengecup keningnya saat berangkat kerja tadi. Kini di rumah hanya ada Siska seorang. Tapi untung Yana berjanji untuk datang ke rumahnya. Dari semua sahabat Siska, hanya Yana yang bisa diajak bicara serius.
Sahabatnya itu sudah datang lima menit yang lalu dan kini sedang duduk dengannya diruangan keluarga sambil menikmati makanan ringan yang tadi Yana beli sebelum datang ke rumah Siska.
"Gimana malam panasnya?" tanya Yana antusias.
Namun Siska hanya menjawab dengan gelengan pelan.
"Maksudnya gelengan apa? Nggak enak? Atau?"
"Belum." potong Siska. Dan jawaban Siska itu membuat Yana terkejut.
"Maksudnya? Suami Lo nggak ngelakuin 'itu'?" Siska lagi-lagi menggeleng membuat Yana heran tak habis pikir. "Kenapa?" tanya Yana serius.
Siska menatap tatapan serius Yana padanya. "Ian hanya menganggap gue adik."
"WHAT? LO BECANDA?"
"Jangan teriak-teriak kali Neng. Gue nggak budek. Semalam gue denger sendiri pas Ian ngomong sama kakak gue di kamar tamu. Dia cinta mati sama mendiang istrinya."
"Nah kalau gitu kenapa Lo dinikahin sama dia?"
"Perjodohan. Lo tahu kan."
"Maksud gue--waaaahh. Gue masih belum percaya ini. Parah banget suami Lo Sis."
"Bukan salah Ian kok. Gue yang salah. Coba gue nggak nakal dan suka keluyuran malam, pasti keluarga gue nggak bakal ambil keputusan begini. Tapi ya udahlah, toh nggak bisa disesali. Ini udah terjadi dan status gue sekarang juga udah jadi seorang istri." jawab Siska tenang. Namun ketenangan Siska justru dianggap kebalikannya oleh Yana.
Yana melihat tatapan mata Siska penuh luka. Yana mendekat pada sahabatnya itu dan memeluk Siska penuh kenyamanan.
"Lo yang sabar ya. Gue yakin, Ian pasti akan jatuh cinta sama Lo, walaupun butuh waktu. Hm? Lo kuat. Kasih aja Ian terus perhatian. Asal lo tahu, cowok kalau terus-terusan dikasih perhatian nanti juga akan luluh kok. Hehehhe." hibur Yana. Siska mengangguk lalu tersenyum manis.
Ia tak begitu yakin. Tapi ia akan mencobanya walaupun yang harus ia lawan adalah seorang wanita yang sudah tiada.
Sedangkan di kantornya, Ian baru saja seselai rapat dan hendak istirahat siang. Ian melonggarkan sedikit dasi saat ia susah berada di ruang kerjanya.
Ian merebahkan tubuhnya di sofa ruangan dan mengangkat tangan kanannya ke atas tempat dimana cicin pernikahannya terpasang.
"Maafin aku Vanessa. Aku harap kamu nggak marah sama aku sayang." bisik Ian.
Ian yang sedikit merasa aneh dengan keberadaan cincin di jemarinya, segera melepaskan benda itu dan menyimpannya di kantong celananya. Ia masih merasa bersalah dengan Vanessa. Mendiang istrinya itu sudah mengisi penuh hatinya. Walaupun begitu, ada satu orang yang ternyata lebih dulu menempati posisi hati terdalam Ian.
Tok tok tok
Suara ketukan membuyarkan lamunan Ian. Pria itu seketika duduk dari rebahannya dan menyuruh si pengetuk untuk masuk.
"Maaf pak saya mengganggu saat istirahat bapak. Di luar ada ibu anda Pak."
"Mama?" asisten Ian itu mengangguk. "Ya sudah bawa mama masuk."
"Baik Pak."
Tak berapa selang, Ariani datang sambil membawa tentengan makanan kesukaan putranya itu.
"Ma?" Ian segera berdiri dan menyambut sang mama.
"Gimana sayang?" tanya Ariani.
"Gimana apanya Ma? Mama bawa apa?"
"Ini mama bawa makanan kesukaan kamu. Tentang Siska. Mama yakin di sini, mendiang Vanessa pasti masih sepenuhnya mengisi." Ucap Ariani sambil menunjuk d**a Ian.
Ian terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Karena apa yang mamanya katakan bisa dikatakan benar, bisa juga dikatakan salah.
"Kenapa kamu mau menikahi Siska? Apa ada alasan lain selain Erik yang meminta tolong padamu.?" Ian menggeleng. Ia menegaskan pada ibunya kalau hanya itu tujuannya. "Lalu setelah Siska berubah apa kamu akan menceraikannya?"
SKAKMAT
Kenapa ia tak memikirkan ini sebelumnya. Jika tujuannya menikahi Siska hanya untuk mengubah gadis itu, lalu apa perceraian akan terjadi?
Apa perceraikan akan menjadi penutup?
"Ma..."
"Mama harap ini bukan keputusan gegabah Nak. Mama harap ini berakhir bahagia. Jangan sampai kamu menyesal. Dan kalau Bicara soal Vanessa, di hati mama juga masih hanya ada Vanessa. Tapi mau tidak mau, mama harus berusaha juga menganggap Siska sebagai menantu mama. Dan kamu juga begitu Ian. Hm?"
Ian masih terdiam. Walaupun tujuan ucapan mamanya sangat baik, tapi hatinya gundah begini. Mengganti Vanessa dengan Siska? Ian tak pernah memikirkan hal itu sama sekali.
"Sekarang kamu makan dulu. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu."
Ariani mulai menyiapkan makanan yang akan Ian makan. Sedangkan Ian masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Kenapa satu persatu muncul saat janji suci itu sudah terucap. Kenapa tidak sebelum pernikahan itu terlaksana.
Mendadak Ian menyesali keputusannya. Jika untuk menghindari para w*************a, selama ini ia bisa kan? Kenapa sekarang dia justru menikahi Siska?.
Dan benar kata orang bijak. Jika kau ingin bertindak, pikirkan dulu efek kedepannya. Jangan nanti saat kau sudah lakukan, lalu sesal datang dan menggerogoti hati serta pikiranmu.
"Ian. Cobalah untuk menganggap Siska sebagai istrimu sekarang, bukan sebagai adik dari sahabatmu. Dia istrimu, cintai dia, jaga dia seperti yang kamu lakukan pada Vanessa dulu. Kamu bisa janji kan pada mama?"
Ian menatap lekat wajah ibunya. Ada yang ingin Ian sampaikan sebenarnya, namun begitu sulit untuk dilontarkan. Ini tentang Siska....
*****