Selvi kemudian menjelaskan beberapa detail dari draft kontrak kerja itu. Beberapa yang kurang jelas sudah ditanyakan, dan dijawab dengan baik oleh Selvi. Akhirnya para karyawan baru itupun menandatangani kontrak kerja itu dan menyerahkan kembali kepada Selvi. Selanjutnya Selvi membagikan ID card untuk masing-masing karyawan baru.
“Oke, semua sudah tanda tangan kontrak, dan sekali lagi saya ucapkan selamat bergabung di perusahaan ini. Saya harap kalian semua bisa menjalani training dengan baik dan semuanya nanti lulus.”
“Amiiiin…”
“Ya sudah, saya rasa cukup. Saya permisi dulu karena masih ada kerjaan. Selanjutnya, nanti akan diarahkan oleh Bu Selvi. Mari semua,” Pak Doni pun keluar dari ruangan, meninggalkan Selvi dengan para karyawan baru.
“Rekan-rekan, karena hari ini kalian belum mulai bekerja, saya akan antarkan dulu kalian ke bagian masing-masing. Nanti silahkan kenalan sama mentor-mentor kalian, setelah itu kalau mau pulang dipersilahkan. Dan untuk besok, kalian tidak perlu memakai pakaian seperti itu lagi, berpakaian seperti biasa saja, seperti karyawan di sini yang lainnya, dan ID card jangan sampai lupa ya. Kalau hilang atau rusak, segera lapor ke saya, mengerti?”
“Mengerti, Bu…”
Selvi kemudian membawa para karyawan baru itu berkeliling kantor. Beberapa orang ditinggal di bagian mereka masing-masing untuk berkenalan dengan para mentornya. Sampai akhirnya hanya tinggal 2 orang saja, yaitu Faris dan seorang gadis bernama Lidya yang ikut Selvi ke bagian personalia. Mereka masuk ke ruang kerja Selvi. Setelah masuk mereka dipersilahkan duduk.
“Nah kalian berdua yang di bagian personalia, jadi selama masa training nanti sama saya ya,” ucap Selvi.
“Iya bu,” jawab Lidya, sementara Faris diam saja.
“Kamu kenapa Ris kok diam saja?” tanya Selvi.
“Mbak Selvi kok nggak bilang kalau kerja di sini juga?”
“Lha kamu kan nggak nanya.”
“Ya tapi kan mbak…”
“Lha emangnya kenapa? Ada masalah?”
“Yaa, enggak sih, cuma kan…”
Faris kebingungan. Memang tidak ada yang salah sih. Dia memang tidak bertanya. Tapi harusnya Selvi cerita kalau dia bekerja di kantor ini juga, berada di bagian yang sama dan bahkan menjadi mentornya selama training. Tapi, diberitahu lebih awalpun juga sebenarnya tidak ada pengaruhnya juga, karena itulah Faris bingung apa yang harus dia proteskan.
Sementara itu Lidya, yang duduk di antara mereka malah kebingungan. Dia tak menyangka kalau Faris dan Selvi sudah saling kenal, terlihat sekali dari cara ngobrol mereka yang sudah sangat akrab.
“Kenapa Lid? Kok kayak bingung gitu?” tanya Selvi.
“Eh, nggak. Hmm, ini, Bu Selvi dan Faris, saling kenal?”
“Haha, iya, kami saling kenal kok,” jawab Selvi.
“Baru kenal, lebih tepatnya,” sahut Faris, yang masih agak jengkel dengan Selvi.
Selvi akhirnya menceritakan kepada Lidya apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar cerita itu Lidya yang tadinya kebingungan malah ikutan tertawa. Dia paham betul apa yang dirasakan oleh Faris.
“Bu Selvi ini ada-ada aja, masak saudara sendiri dikerjain gitu?”
“Lho aku nggak ngerjain lho Lid, dianya aja yang nggak nanya. Kalau dia nanya kan pasti langsung ku jawab.”
“Yaelah mbak, mana kepikiran aku kalau mbak juga kerja di sini,” sahut Faris yang masih saja sewot.
“Haha, udah ah Ris, masak sama kakaknya sewot gitu, nggak dilulusin kapok lho kamu entar,” ucap Lidya.
“Oh iya. Terus ini gimana mbak?”
“Apanya yang gimana Ris?”
“Hmm, yaa kan, aku trainingnya sama mbak Selvi, terus kita tinggalnya aja serumah. Entar gimana kata orang-orang?”
“Yaa nggak gimana gimana. Kita tinggal serumah kan karena kamu itu saudaranya suamiku. Kamu masuk di sini, keterima di sini, juga karena usahamu sendiri. Aku juga nggak peduli kamu siapa, kalau kamu emang layak, ya aku lulusin, kalau nggak layak, ya nggak lulus, simpel kan?”
“Yaa tapi kan nggak sesederhana itu mbak. Gimanapun juga kan kita ini masih ada hubungan keluarga, meskipun jauh banget. Apa entar nggak dikira, KKN?”
“KKN? Kamu belum tahu aja sih Ris.”
“Belum tahu apa mbak?”
Selvi tak langsung menjawabnya. Dia malah menatap ke arah Lidya sambil tersenyum.
“Lid, kamu mau bantuin jawab?” tanya Selvi.
“Loh, kok jadi ke Lidya sih mbak? Ini kan urusan antara kita?” sahut Faris.
Selvi kembali hanya diam saja, sekali lagi dia melihat ke arah Lidya.
“Iya Ris, nggak papa aku aja yang jawab. Mungkin kamu takut kalau bakal dikira KKN karena punya hubungan kekerabatan sama Bu Selvi, bahkan kalian tinggal serumah. Wajar sih, karena kamu bener-bener baru di sini, dan belum tahu kondisi di sini seperti apa.”
“Kondisi di sini? Emang kondisi apaan Lid?”
“Di sini, ada yang punya hubungan lebih dekat dibandingkan hubungan kamu sama Bu Selvi.”
“Hah? Maksudnya?”
“Iya. Kalau hubungan kamu sama Bu Selvi kan karena Bu Selvi itu istrinya sepupu kamu, jadi aku pikir, hubungannya masih agak jauh lah. Nah, di sini, ada yang hubungannya lebih dekat lagi, seperti suami istri, atau orang tua dengan anaknya.”
“Hah? Serius? Lha bukannya itu nggak boleh ya? Bukannya udah ada aturannya?”
“Aturan itu emang menurutmu siapa yang bikin?”
“Yaa, hmm, perusahaan sih.”
“Nah itu dia. Di perusahaan ini, aturannya sedikit beda. Kebanyakan memang sama dengan aturan di perusahaan lain, tapi untuk soal yang satu itu, tidak ada larangan di sini. Banyak kok suami istri yang kerja di sini. Orang tua dan anak juga. Jadi, nggak perlu takut dicap KKN.”
“Lha bukannya malah memperjelas kalau itu KKN ya Lid?”
“Itu kalau asal masuk tanpa tes. Buktinya, aku bisa masuk karena melewati tes, sama seperti tes-tes yang kamu lewati. Jadi meskipun punya hubungan keluarga, bukan berarti bisa dengan mudah masuk ke perusahaan ini.”
“Loh, kamu juga? Emang ada keluargamu di sini?”
“Iya.”
“Siapa?”
“Yang tadi nyambut kita pertama kali di ruang rapat.”
“Ooh, Pak Doni?”
“Iya bener.”
“Lha emang kamu siapanya Pak Doni?”
Sekarang Lidya terdiam, dan menatap ke arah Selvi dengan tersenyum. Selvi juga balas tersenyum.
“Kamu nggak sadar sesuatu Ris?” tanya Selvi.
“Sadar apaan sih mbak?” tanya Faris bingung.
“Coba inget-inget lagi nama belakang mereka.”
“Nama belakang. Nama kamu, Lidya Wijaya kan? Eh tunggu dulu, Pak Doni itu Doni Wijaya, berarti, kamu anaknya Pak Doni?”
“Yups, bener banget. Makanya kedepannya nggak usah heran kalau ada yang kayak aku sama papa, atau ada suami istri di sini, kamu udah tau kan sekarang?”
Faris hanya bengong menatap 2 wanita di depannya. Dia masih tak percaya, karena yang dia tahu, ada perusahaan yang menerapkan aturan tidak boleh menikah dengan sesama karyawan, atau tidak boleh mendaftar jika ada saudaranya yang bekerja di perusahaan tersebut.
“Udah, kamu nggak usah pikirin itu. Di sini semua profesional Ris, dan aku juga minta kamu seperti itu, bisa?” ucap Selvi.
“Bi,, bisa mbak.”
“Mbak? Katanya bisa profesional?”
“Eh, maaf. Iya, bisa bu.”
“Nah, gitu dong. Boleh aja tetep manggil mbak, tapi diluar jam kantor ya?”
Faris mengangguk. Faris sudah paham sekarang. Biarlah dengan semua aturan-aturan itu, biarlah ada hubungan saudara atau keluarga antar karyawan di kantor ini, seperti dirinya dengan Selvi, yang paling penting, selama berada di kantor, atau di lingkungan pekerjaan, mereka harus profesional.
Meskipun sebenarnya hari ini mereka belum perlu untuk mulai bekerja, mereka memutuskan memulainya saja. Hari itu mereka habiskan dengan pengenalan SOP dasar yang harus mereka kuasai di bidang personalia. Yang tidak dimengerti langsung ditanyakan, dan langsung mendapat jawaban dari Selvi.
Faris dan Lidya bisa dengan cepat belajar karena mereka sudah punya basic di bidang itu. Faris semasa kuliah pernah magang di beberapa perusahaan di bagian yang sama, jadi apa yang dia pelajari hari ini tidak terlalu asing baginya.
Faris benar-benar beruntung, dia benar-benar mensyukuri apa yang dia dapatkan saat ini. Bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan sebesar ini, mendapatkan mentor training yang ternyata tak lain adalah istri dari saudaranya sendiri, dan juga mendapat partner kerja yang sebaik, sepintar, dan secantik Lidya. Meskipun bukan jaminan semua akan menjadi lebih mudah, tapi paling tidak, tidak sesulit apa yang pernah dibayangkan oleh Faris sebelumnya.