Hari-hari pertama bekerja dilalui Faris dengan penuh semangat. Bukan hanya Faris saja sebenarnya, tapi teman-teman barunya juga. Dan semakin mengetahui kondisi di kantor ini, Faris juga bisa melihat para karyawan lain yang lebih seniorpun juga terlihat selalu semangat bekerja setiap harinya.
Dia berpikir, apakah ini semua karena kebijakan perusahaan yang membebaskan untuk menikah dengan sesama karyawan, atau membolehkan saudara dari mereka yang sudah bekerja di sini, untuk ikut bekerja di sini juga. ‘Ya, mungkin itu salah satunya sih,’ batin Faris.
Sekarang setiap pagi Faris berangkat dengan Nando dan Selvi. Memang benar, kantor Nando searah jadi setiap hari mereka bisa berangkat bareng tanpa membuat Nando harus memutar arah. Kantor Nando juga kebetulan tak begitu jauh dengan kantor Faris dan Selvi, jadi mereka juga sempat beberapa kali makan siang bareng.
Di kantor, semangat Faris semakin bertambah karena dia satu ruangan dengan 2 wanita cantik, Selvi dan Lidya. Bukan hanya cantik, tapi mereka berdua juga baik dan pintar. Selvi tak pernah pelit membagi ilmunya, apapun pertanyaan dari Faris ataupun Lidya, dia jawab seperti apa yang dia tahu.
Lidya sendiri juga begitu, kadang dia terlibat diskusi seru dengan Faris membicarakan masalah yang sedang mereka pelajari. Kebetulan, saat masih kuliah Lidya beberapa kali magang di kantor ini, jadi punya sedikit lebih banyak ilmu dan pengalaman untuk dibagi dengan Faris.
Di ruangan yang mereka tempati ini ada 2 buah meja, satu untuk Selvi dan satu lagi yang sebelumnya kosong ditempati oleh Lidya. Nantinya, antara Faris atau Lidya lah yang akan menempatinya. Tapi mulai saat ini Faris sudah bersiap-siap. Karena status Lidya yang merupakan anak Pak Doni, kemungkinan besar Lidyalah yang akan ditempatkan di kantor pusat ini, sedangkan Faris akan ditempatkan di kantor cabang, entah dimana.
Hari ini, sejak pagi hanya Faris dan Lidya yang berada di ruangan itu, Selvi ikut rapat dengan Pak Doni. Faris dan Lidya yang memang statusnya masih karyawan training belum bisa diikutikan di rapat resmi seperti itu. Tidak masalah bagi Faris, karena kalau diajakpun dia juga belum siap, jadi tak tahu harus melakukan apa di ruang rapat.
Sekitar setengah jam sebelum jam makan siang, Selvi sudah kembali lagi ke ruangan. Dia kembali dengan membawa setumpuk kertas, yang dia letakkan begitu saja di mejanya.
“Wuiih, berkas apaan tuh bu? Banyak banget?”
“Biasa Ris, rekap untuk gaji karyawan bulan ini. Sebelum masuk ke bagian keuangan, kita cek dulu, masalah absensi dan lain-lain, apakah sudah sesuai apa belum.”
“Lho bukannya semua sudah terkomputerisasi?”
“Iya emang, tapi kan ada baiknya kita cek manual. Karyawan memang rutin absen datang dan pulangnya, tapi kinerjanya juga dilihat, dan itu bagian kita untuk mengawasi.”
“Mengawasi semua karyawan?”
“Iya, tapi maksudnya bukan kita yang terjun langsung. Kita dapat laporan dari masing-masing kepala bagian, ya yang ada di berkas ini. Setelah kita cek, ditanda tangani sama kepala bagian, baru kita serahkan ke bagian keuangan untuk proses penggajiannya.”
“Oooh gitu…”
“Oh iya, ada satu lagi informasi buat kalian.”
“Informasi apa bu?”
“Ini tentang penempatan kalian selanjutnya.”
Faris dan Lidya menghentikan kegiatan mereka. Kabar ini yang sudah ditunggu-tunggu, terutama oleh Faris. Dia tahu akan ditempatkan di cabang, tapi di cabang yang mana itu yang belum dia ketahui.
“Mungkin kalian, terutama Faris udah bisa mengira, siapa yang bakal tetep di kantor pusat kan?”
“Iya bu, pasti Lidya kan?”
“Iya Ris, kamu bener. Terus, kamu sendiri gimana?”
“Yaa nggak masalah sih bu buat saya. Lagian saya cowok, jadi pasti lebih diprioritaskan untuk ke cabang kan?”
“Iya, bener banget. Nah, sekarang, tentang dimana kamu ditempatkan Ris.”
Faris menunggu informasi selanjutnya dari Selvi. Kantor ini memiliki beberapa cabang yang tersebar di berbagai kota. Tapi yang di Jawa, hanya ada di Jogja dan Surabaya. Dia orang Solo, dan kuliahnya di Jogja, sudah pasti lebih berharap ditempatkan di Jogja. Tapi dimanapun keputusan dari manajemen menempatkannya, dia sudah siap, dan pasti akan dia jalani.
“Jadi, nanti kamu akan ditempatkan di kantor cabang kita yang ada di Jogja Ris.”
“Wah, beneran bu?”
Selvi mengangguk. Faris langsung girang. Rupanya harapannya terwujud. Jogja adalah kota yang sudah cukup dia kenal, lagipula tidak jauh dari kota asalnya. Tentu saja ini menjadi tujuan yang benar-benar dinantikannya.
“Sebenernya, memang sejak awal kamu udah diproyeksikan untuk ditempatkan di sana, itulah kenapa kamu yang dipilih.”
“Hmm, maksudnya bu?”
“Jadi gini, waktu tes seleksi tahap akhir, ada 5 orang yang memenuhi syarat untuk lolos, salah satunya kamu, dan juga Lidya. Lidya sudah pasti kita ambil, bukan karena dia anak Pak Doni, tapi karena nilai dia sejak awal tes adalah yang tertinggi. Nah, sementara itu kita butuh 1 orang lagi. Dari 4 orang yang tersisa, cuma kamu yang cowok, dan cuma kamu yang pernah di Jogja.” Selvi mulai menjelaskan kepada Faris.
“Di perusahaan kita ini, untuk rekrutmen memang kita prioritaskan untuk putra-putra daerahnya terlebih dahulu, artinya jika ada beberapa pilihan, jika ada yang berasal dari kota dimana kantor cabang kita butuh, orang itu yang didahulukan.”
“Lho tapi kan saya bukan dari Jogja, cuma emang kuliahnya di sana aja.”
“Itu udah cukup, karena selain kamu, 3 orang lainnya berasal dari luar Jawa, dan mereka nggak kuliah di Jogja. Lagian memang kalau di ranking, kamu di urutan kedua setelah Lidya.”
“Ooh gitu ya. Emang itu yang milih siapa bu?”
“Yang milih Pak Doni sendiri, tapi atas rekomendasi dari aku juga sih, haha.”
“Loh kok?”
“Heh, jangan salah sangka dulu. Sebelumnya kan aku nggak kenal sama kamu, jadi pilihanku murni karena domisili dan penilaian kamu aja. Eh ternyata, pas mas Nando kemarin cerita tentang kamu, aku cek lagi data di kantor, ternyata Faris yang aku pilih itu adalah kamu, sepupunya suamiku, hehe.”
“Walah, kebetulan banget dong ya? Haha.”
“Kalau gitu harus dirayain ini Ris,” ucap Lidya tiba-tiba.
“Loh, apanya yang dirayain Lid? Ini kan cuma pindah tugas, belum pasti lulus juga kan?”
“Hmm, yaa nggak masalah, pindah tugas juga harus tetep dirayain. Kan jadinya, kamu lebih deket sama rumah, sama keluarga, itu yang harus disyukuri, iya nggak?”
“Hmm, iya juga sih. Ya udah deh, aku traktir makan siang kalau gitu, hehe.”
“Asyiiik, kapan? Hari ini ya?”
“Hari ini? Dimana? Kan belum booking tempat. Tau sendiri kan kalau jam makan siang dimana-mana rame?”
“Udah Ris tenang aja, Mas Nando udah booking tempat kok, entar kita makan di sana, tapi kamu yang bayarin,” sahut Selvi.
“Oh gitu ya, oke deh, siap.”
Faris yang sedang gembira mengiyakan saja. Dia benar-benar tak tahu, kalau semua ini sudah dipersiapkan oleh Selvi. Sejak awal Selvi sudah tahu dimana Faris akan ditempatkan, dan dia memang merencanakan untuk memberi tahu Faris hari ini, dan dia juga sudah meminta suaminya untuk membooking tempat di salah satu rumah makan yang tak jauh dari kantor mereka. Tapi Faris tak perduli, karena dia memang benar-benar sedang senang.
Tak terasa jam makan siangpun tiba. Faris bersama dengan Selvi dan Lidya sudah berada di lobby kantor, menunggu Nando yang sedang terjebak macet. Untung saja jarak antara kantor Nando, kantor Faris dan rumah makan tujuan mereka tak terlalu jauh, sehingga tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di jalan.
“Tuh mas Nando nunggu di seberang, yuk berangkat,” ucap Selvi. Faris dan Lidyapun mengikutinya.
Sesampainya di rumah makan mereka langsung menuju ke meja yang telah dipesan. Merekapun memesan makanan masing-masing. Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka ngobrol dan saling bercanda.
“Wah, kayaknya kalian berdua ini cocok ya? Udah jadian aja, sama-sama belum punya pacar kan?”
“Hadeeh mulai deh mas Nando… Yaa nggak gitu lah, yang penting kerja dulu yang bener,” sanggah Faris.
“Yaelah nggak papa kali Ris. Mulai dari sekarang kan juga bisa, kan nggak papa nikah sesama karyawan di kantor kalian, iya kan Yang?” tanya Nando pada Selvi.
“Iya sih, asal mereka mau jarak jauhan nantinya,” jawab Selvi.
“Nah itu dia mas, 3 bulan lagi kan Faris pindah ke Jogja, masak iya mau jauh-jauhan,” ucap Lidya.
“Ooh jadi kalau deket mau nih? Tuh Ris, Lidya udah kasih kode, haha.”
“Eh, ya nggak gitu maksudnya mas, haduuuh,” Lidya menyesalkan perkataannya tadi.
“Haha udah ah, nggak usah bahas ginian. Lagian Lidya pasti juga udah punya pacar, iya kan Lid?” tanya Faris.
“Hmm, belum sih,” jawab Lidya tersipu.
“Ah masak sih? Cantik-cantik gini nggak punya pacar?” tanya Faris lagi.
“Yaa emang belum punya, tapi kan yang deket ada. Kamu juga tuh, ganteng-ganteng kok nggak punya pacar?” Lidya bertanya balik.
“Yaa, kalau itu kan, hmm, anu…”
“Ciyeee, belum belum udah saling muji aja nih, pake bilang cantik ganteng segala, haha.”
“Eh, hmm…”
Faris dan Lidya langsung salah tingkah menyadari kesalahan dan kebodohan mereka. Padahal tadinya mereka berniat saling sindir, tapi malah disambar dan jadi bahan olokan oleh Nando. Selvi yang melihatnya tak mampu menahan tawanya. Nando dan Selvi tertawa lebar, sedangkan Faris dan Lidya diam saling tatap, saling menyalahkan.
“Udah jadian aja, nggak papalah 3 bulan, daripada sama-sama nganggur kan, haha aduuh duh duh Yang, Yang sakit Yang…” Nando yang masih mengolok Faris dan Lidya tiba-tiba berteriak karena Selvi mencubit pinggangnya. Cubitannya kecil, tapi yang pasti sakit sekali.
“Yaa lagian, ngomong apaan itu tadi? Jadian 3 bulan daripada nganggur? Maksudnya apa yang dianggurin hah? Dasar m***m…”
“Haha sukurin, rasain…”
Faris dan Lidya gantian menertawakan Nando yang sedang dimarahi istrinya. Ya, tentu saja mereka tahu apa yang dimaksud oleh Nando. Mereka bukan anak-anak lagi, dan mereka juga sudah pernah melakukannya, dulu, dengan mantan mereka masing-masing.
“Yaa ampun Yang, siapa yang m***m sih. Ini realita lho, coba aja tanya mereka, iya kan aduuh duuh duh Yang udah Yang, ampun…”
“Sekali lagi bahas itu seminggu nggak dapat jatah!”
“Hah kok seminggu Yang? Aduuh iyaa iyaa ampuun, nggak bahas lagi deh…”
“Hahahaha…”
Selvi tak merasa canggung mengucapkan kata-kata itu, karena menganggap Faris dan Lidya sudah cukup dewasa untuk menanggapinya. Apalagi dia dan Lidya sebenarnya sudah kenal cukup lama karena sudah beberapa kali Lidya magang di kantor itu, sehingga sudah cukup dekat dengan Lidya. Sedangkan Faris, yang adalah saudara dari Nando, juga sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri, meskipun baru sekitar seminggu mereka kenal.
Tak terasa waktu makan siang sudah hampir berakhir. Mereka juga sudah menyelesaikan makan siang mereka. Nando kembali mengantarkan Selvi, Faris dan Lidya ke kantor mereka, sebelum kemudian kembali ke kantornya sendiri. Sampai di kantor, Faris dan kedua wanita itu langsung kembali ke ruangannya, melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda.
^^^