12. Berbadan dua enam bulan

1164 Kata
12. Kapan hamil Devan dan ibunya, Raisa, duduk di meja makan, menikmati sup buntut buatan Eve. Sesekali, Raisa memuji hidangan itu dengan penuh antusias. “Sup ini enak sekali, Eve! Kamu benar-benar pandai memasak. Devan, kamu beruntung sekali punya istri seperti dia,” kata Raisa sambil tersenyum puas. Eve tersenyum malu, “Terima kasih, Ma." Devan, yang biasanya dingin dan acuh, hanya mengangguk ringan, berusaha mengikuti peran suami yang peduli. “Ya, dia memang bisa masak dengan baik,” gumamnya singkat, meski hatinya masih penuh pertanyaan tentang sikapnya yang harus terus bersandiwara. Raisa, yang tidak menyadari kebekuan di antara keduanya, melanjutkan pembicaraan dengan hangat. “Eve, kamu sudah terbiasa di rumah ini? Kalau butuh apa-apa, jangan ragu bilang ke pelayan ya." Eve mengangguk, meski dalam hatinya masih merasa asing dengan semuanya. Momen ini terasa penuh kepura-puraan, tapi ia tak ingin mengecewakan Raisa. "Mama jangan khawatir, Devan memperlakukan Eve dengan baik. Sesuai permintaan Mama dan papa, sampai kapan pun Devan akan menjaga Eve." Sementara itu, Eve, yang duduk di sampingnya, hanya bisa tersenyum tipis. Kata-kata Devan tentang menjaga dan memperlakukannya dengan baik seharusnya membuatnya tersentuh, namun Eve tahu semua itu hanya bagian dari permainan untuk menyenangkan Raisa. “Mama hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua,” lanjut Raisa. “Eve, kalau ada apa-apa dengan Devan, kamu jangan sungkan cerita ke Mama, ya? Devan mungkin keras kepala, tapi dia punya hati yang baik.” Andai saja Mama mertuanya tahu, bahwa anak lelaki nya itu memperlakukan Eve dengan keras, bahkan sering merendahkan dirinya. Miris, tapi ia harus terlu berada dalam sandiwara suaminya. Eve menunduk, merasa terjebak dalam situasi ini. “Tentu, Ma. Aku akan selalu menghormati Devan, seperti yang Mama inginkan.” Devan tiba-tiba menyendok sup buntut dan mengarahkannya ke mulut Eve, sikap yang sangat jarang dilakukannya. Eve terkejut, tak menyangka Devan akan bersikap manis seperti itu di depan mamanya. Dengan ragu, Eve membuka mulutnya sedikit, membiarkan Devan menyuapinya. “Ini enak sekali. Kamu harus mencobanya,” kata Devan dengan senyum tipis, meskipun Eve tahu senyum itu tak sepenuhnya tulus. Raisa, yang melihat adegan itu, tampak sangat bahagia. “Wah, ternyata kalian sudah sangat dekat, ya. Mama senang melihat kalian rukun.” Eve menelan makanan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia terharu melihat usaha Devan untuk bersandiwara demi mamanya, tetapi di sisi lain, ia merasa semua ini hanyalah ilusi. Momen manis ini tak lebih dari sekadar lakon di atas panggung yang harus mereka mainkan. "Oh ya, Mama penasaran dengan kalian, apakah kalian akan menunda momongan?" "Tentu saja tidak Ma, bukankah Mama menginginkan cucu?" "Uhuk!" Eve tersedak mendengar ucapan Devan, hatinya terasa berdesir tak karuan. Bagaimana bisa Devan mengucapkan hal semacam itu dengan begitu santai? Mereka bahkan hampir tidak pernah berbicara tentang masa depan, apalagi soal anak. Raisa menatap Eve dengan tatapan prihatin, namun terselip juga kegembiraan di matanya. “Eve, sayang, jangan terlalu terkejut begitu. Mama memang sudah lama menunggu cucu. Kalian pasangan muda, jangan terlalu lama menunda ya.” "Tapi, maaf Ma. Aku masih ingin fokus menjadi seorang istri, mengingat aku dan Devan menikah dalam ikatan perjodohan." Raisa merasa sedih mendengar itu, tetapi apa yang anak menantunya katakan ada benarnya. "Mama sampai lupa, kalau kalian sebaiknya pacaran dulu. Tapi jangan lama-lama ya." Devan, tanpa menunjukkan perasaan apapun, hanya tersenyum tipis sambil menyeruput supnya. “Jangan khawatir, Ma. Semuanya sudah kami rencanakan dengan baik,” jawabnya tenang, meskipun Eve tahu itu semua hanya sandiwara. "Mungkin enam bulan lagi Mama akan segera mendapatkan kabar kalau Eve akan hamil." Eve tak bisa menahan keterkejutannya. Ia melotot, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Devan. Enam bulan lagi? Dari mana Devan mendapatkan keyakinan itu? Mereka bahkan belum benar-benar menjalani pernikahan dengan seutuhnya. Raisa, di sisi lain, terlihat semakin gembira. "Wah, Mama tidak sabar! Kalau begitu, Mama harus sering-sering berkunjung untuk memastikan kalian berdua sehat dan bahagia." Eve hanya bisa menahan diri untuk tidak mengatakan apapun. Senyuman tipis menghiasi wajahnya, tetapi dalam hatinya ia merasa bingung dan semakin tidak mengerti dengan permainan sandiwara ini. Devan, yang terlihat begitu yakin dengan kata-katanya, menambah kebingungan Eve tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh suaminya itu. Setelah makan, saat Raisa beranjak sebentar ke taman, Eve berbisik dengan nada penuh kekesalan, "Enam bulan lagi? Apa yang kamu pikirkan, Devan?" "Hubungan intim." jawabnya dingin "Bukan itu, maksud ku bagaimana bisa aku akan hamil dalam waktu enam bulan ke depan?" "Tentu saja bisa, dengan cara kita akan melakukannya tiap hari." Eve semakin melotot mendengarnya. Eve benar-benar terkejut dengan jawaban Devan. Matanya semakin membulat tak percaya, menatap suaminya seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal. "Kita... tiap hari? Kamu serius, Devan?" Eve setengah berbisik dengan nada terkejut dan bingung. Devan mengangkat alisnya tanpa menunjukkan emosi apa pun. "Aku tidak pernah bercanda soal ini, Eve. Mama mengharapkan cucu, dan aku akan memenuhi harapannya. Sesederhana itu." Eve merasa kata-kata Devan semakin tak masuk akal. "Tapi... hubungan kita tidak seperti itu. Bagaimana kamu bisa berpikir kalau..." "Sudahlah, pikiran mu terlalu jauh." Pria tersebut beranjak dari tempat duduk. Eve mengikuti langkah suaminya. "Kamu mau kemana?" "Bukan urusanmu, dan lagi pula kenapa kamu selalu mengekoriku." kesalnya. "Aku tidak tahu harus bersandiwara apalagi." Devan berdecak. "Temani saja Mama di taman." "Lalu kamu mau kemana?" "Sudah ku katakan, itu bukan urusanmu Eve." geram Devan, meninggalkan istrinya di meja makan seorang diri. Eve menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan menuju Raisa yang tengah duduk santai di gazebo, menikmati semilir angin yang berhembus lembut. Meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran, ia tak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan mertuanya. Bagaimanapun, Raisa tampak sangat menyayangi dan peduli padanya, dan Eve merasa terjebak dalam situasi yang sulit. "Mama," sapa Eve lembut sambil tersenyum kecil, "Bagaimana rasanya duduk di sini? Sepertinya nyaman sekali." Raisa menoleh ke arah Eve dan tersenyum hangat. "Sangat nyaman, sayang. Udara di sini benar-benar segar. Kamu harus lebih sering duduk di sini, menikmati ketenangan." "Udara di sini sama seperti di desa, Ma. Sejuk, tenang, dan damai," ujar Eve dengan nada pelan, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekosongan yang dirasakannya. Raisa menatap Eve dengan lembut, lalu bertanya, "Apa kamu merindukan keluargamu?" Eve terdiam sejenak, pertanyaan itu menyentuh tepat di hatinya. Jika saja dia bisa menjawab dengan jujur, dia pasti akan mengaku bahwa dia sangat merindukan keluarganya. Tapi, mengetahui bagaimana situasi dengan Devan, Eve merasa tak enak untuk jujur. "Sedikit, Ma," jawabnya akhirnya dengan senyuman samar. "Tapi aku berusaha menyesuaikan diri di sini." Raisa mengangguk pelan. "Kamu boleh berkunjung kapan saja, jika merasa rindu. Mama yakin mereka juga pasti merindukanmu." Eve tersenyum tipis, hatinya terasa berat. Mengingat hubungan yang dingin dengan Devan, ia tidak yakin mendapatkan izin untuk pulang kapan pun dia mau. Tapi dia tidak ingin membuat Raisa khawatir, jadi dia hanya mengangguk dan berterima kasih. "Mama, aku ingin mengucapkan terima kasih. Mama sangat baik dengan ku, aku hanya berharap bisa menjadi istri yang baik untuk Devan." Raisa menepuk tangan Eve dengan lembut. "Eve, kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku bisa melihat perhatian dan usahamu. Devan mungkin belum menunjukkan sepenuhnya perasaannya, tapi aku tahu dia akan terbuka seiring waktu. Bersabarlah, sayang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN