"Ternyata kamu cukup punya keberanian ya." Devan menatap Eve dengan tatapan tajam. Tak habis pikir, Eve dengan beraninya menemui seorang Pria tanpa meminta izin padanya.
Eve hanya terdiam, ia mengalihkan pandangannya. Tetap berusaha duduk dengan tenang di kursi kayu, meski ruangan yang gelap itu terasa mengintimidasi.
"Siapa dia?" tanya Devan dengan tegas, Eve memejamkan matanya untuk sesaat. Ia tak menjawab, baginya ia tak perlu menjelaskan siapa lelaki yang baru saja ditemuinya. Devan saja dengan senang hati bertemu kekasihnya dan b******u mesra, lalu apa salahnya Ia hanya kebetulan bertemu dengan mantan kekasih.
Devan semakin mendekat, menghentikan langkahnya tepat di hadapan Eve. Suasana di dalam ruangan terasa tegang, udara seolah terhenti.
"Aku bertanya, siapa dia?" ulang Devan, kali ini suaranya lebih rendah, tapi penuh ancaman.
"Kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku, hah?" Suara Devan terdengar dingin dan penuh dengan amarah yang terselubung. "Aku bisa tahu siapa pria itu dalam sekejap."
"Apa maksudmu." Eve mencoba memberanikan diri untuk menatap suaminya. Sampai saat ini, Eve tidak tahu siapa suaminya ini. Mengapa pria tersebut nampak misterius dan berkuasa di kota ini.
"Apapun yang ingin kamu lakukan, cara untuk bersembunyi pun aku akan mengetahuinya. Jadi jangan coba-coba mempermainkan ku Eve!"
"Aku tidak mempermainkan mu, sejak awal aku mencoba untuk menerima pernikahan kita, mencoba dengan tulus." jelasnya, Eve memang berniat untuk menerima perjodohan mereka meski awalnya Ia berniat untuk memudahkan orang tuanya di desa dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mengingat kedua orang tuanya sangat kesulitan mengatur perekonomian yang cukup miris.
Devan berdecak. "Wanita seperti mu, sudah banyak aku temui. Dan aku yakin pria itu adalah sasaran keduamu."
"Cukup Devan!"
"Berhenti memanggilku Devan!" teriak Devan lebih keras.
"Sudah aku katakan Eve, kamu tidak berhak memanggilku Devan! Panggil aku Tuan jika kamu hanya bersamaku."
Eve menatap Devan dengan pandangan tak percaya. "Tuan?" ulangnya, suaranya dipenuhi dengan kebingungan dan kekhawatiran. "Mengapa aku harus memanggilmu begitu? Kita ini suami istri, Devan. Tidak ada 'Tuan' di antara kita."
Devan tersenyum dingin, senyum yang membuat bulu kuduk Eve meremang. "Itu masalahnya, Eve. Kamu salah paham. Hubungan kita bukan seperti suami istri biasa. Kamu adalah milikku, kamu harus patuh kepadaku. Jangan coba-coba menentangku."
Kata-kata itu membuat Eve merasa seperti jiwanya sedang dipenjara. Hatinya bergetar, rasa takut semakin menghantuinya, tapi dia juga merasakan dorongan untuk melawan. Ia bukan boneka, dan meskipun dia terperangkap dalam pernikahan ini, dia tahu dirinya layak diperlakukan dengan hormat.
"Aku tidak akan memanggilmu Tuan," Eve menegaskan dengan suara yang gemetar tapi tegas. "Aku akan tetap memanggilmu Devan, karena itulah siapa dirimu bagiku, suamiku. Bukan majikan."
Wajah Devan berubah kelam, dan dia tampak terkejut dengan keberanian Eve yang tiba-tiba. Namun, amarahnya tidak surut. "Kamu berani sekali melawanku, Eve," katanya dengan nada yang lebih rendah dan berbahaya. "Kamu akan menyesalinya."
Eve menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa takut yang semakin kuat. Namun, dia tahu bahwa jika dia terus menyerah pada ketakutan, hidupnya akan semakin menderita. "Aku tidak akan menyerah pada ketakutan lagi," pikirnya dalam hati.
"Sekarang kamu mulai berani ya." kata Devan.
"Hukum dia." perintahnya kepada dia bodyguard yang mendampingi mereka, Eve melotot dan menggelengkan kepala seolah memberi isyarat kepada mereka untuk jangan melakukannya.
"Ku mohon jangan, baiklah aku akan mengatakannya." Tetap saja Eve kalah. Devan tersenyum puas.
"Dia adalah Glen mantan kekasihku saat di bangku sekolah menengah atas." jelasnya, perempuan itu berharap Devan tak akan melukainya.
Devan menggeleng tak percaya. "Sudah ku katakan, kalian sedang mengingat masalalu kalian? Oh, atau jangan-jangan memang ingin menjalin hubungan kembali." Eve menggeleng frustasi, ia benar-benar bingung menghadapi suaminya.
"Aku benar-benar bingung denganmu. Kamu tidak menyukai ku, tetapi kamu marah jika aku bersama pria lain, lalu bagaimana denganku saat kamu bersama Ana."
"Ana dan aku itu bukan urusanmu, ku peringatkan baik-baik. Kamu hanyalah pelayanku saja, tidak lebih dari itu." tukasnya dengan tegas, seolah-olah memperingatkan kepada Eve untuk jangan berharap lebih. Suaminya itu bergegeas pergi, di ikuti kedua bodyguard yang setia menemani.
Eve terisak, didalam ruangan yang gelap, dingin dan berdebu. Ia seperti tawanan yang bisa Devan lakukan semaunya, hanya karena sebuah pernikahan yang tanpa cinta, lelaki itu seolah melampiaskan rasa kecewa dan amarahnya kepada Eve. Lalu, bagaimana dengan Eve yang juga tak setuju dengan pernikahan ini. Jujur, ia juga merasa di bohongi. Tidak ada lelaki lembut, baik, bertanggung jawab dan juga pelindung baginya.
"Nyonya.." Seseorang memanggilnya, tepat di pintu masuk, berdiri seorang wanita paruh baya menatapnya dengan tatapan kasihan. Perempuan itu mendekat.
"Apa yang Tuan lakukan pada nyonya?"
Sebelum menjawab Eve bertanya pada perempuan itu. "Kamu siapa?"
"Aku pelayan di sini, bertugas untuk mengurus segala yang Tuan Devan inginkan. Nyonya, tidak apa-apa kan?" Perempuan di hadapan Eve nampak benar-benar khawatir.
"Aku tidak apa-apa." Meskipun perasaan Eve lah yang terluka.
"Ayo, saya bantu untuk keluar." Eve mengangguk dan berdiri, mereka keluar dari tempat itu.
"Apa bibi sudah lama menjadi pelayan Devan?" tanya Eve, ia benar-benar penasaran.
"Iya, sudah belasan tahun. Sejak Tuan Devan remaja." Eve mengangguk-angguk, sebaiknya ia mencari tahu tentang Devan dari perempuan ini.
"Kebutuhan Tuan, dan kebutuhan Nyonya Eve akan kami persiapkan dengan baik. Semoga nyonya suka dengan pelayanan kami."
"Tidak perlu repot-repot melayani ku Bibi, dan tidak perlu memanggilku nyonya. Bibi dan pelayan yang lain tidak seharusnya memperlakukan ku dengan istimewa." Ya, Eve merasa tak pantas jika harus di istimewa kan mengingat mereka juga sepantasnya lebih dihormati karena lebih tua daripada Eve. Lagi pula, Eve juga tidak terbiasa dilayani, sejak kecil ia sudah biasa melakukan apapun seorang diri.
Perempuan itu menggeleng. "Tidak nyonya, itu sudah menjadi tugas kami. Tuan Devan yang memerintahkan."
"Tuan Devan?." tanya Eve seolah tak percaya, bagaimana bisa Devan yang egois, dingin dan arogan itu meminta semua pelayan untuk melayaninya dengan baik. Bukankah lelaki itu membencinya? Dan akan lebih mudah untuk menyakiti dirinya dengan bantuan para pelayan.
"Ya, tuan Devan yang meminta kami untuk melayani Nyonya." Eve hanya tersenyum tipis, juga bingung dengan semua ini.
"Oh ya, apakah aku boleh tahu nama Bibi?" Ia penasaran dengan nama perempuan dihadapannya.
"Boleh, nama saya Melani." jawabnya.
Eve tersenyum. "Bibi Melani, bolehkah aku bertanya satu hal?" Eve benar-benar penasaran dengan hal lain dirumah ini, bangungan besar dengan luas tanah berhektar-hektar. Ia penasaran, sebenarnya siapa suaminya itu, jika melihat apa yang ada di hadapan Eve, tentu sudah pasti Devan bukanlah orang biasa. Lelaki itu pasti memiliki banyak kekayaan.
"Apa itu?" Melani penasaran.
"Sebenarnya siapa Devan? Mengapa ia seolah-olah punya kuasa di kota ini?" tanya Eve benar-benar penasaran, tidak salah kan? Seorang istri ingin mengetahui latar belakang suaminya.
Melani terkejut, terdiam seribu bahasa.
"Nyonya Eve sebaiknya istirahat saja, pasti Nyonya lelah kan?" Melani mengalihkan topik pembicaraan, Eve bingung mengapa Bibi Melani seolah takut untuk menjelaskan. Tak ingin banyak bertanya, Eve mengangguk dan mengikuti Melani dari belakang.
Devan dengan segala yang dimilikinya membuat Eve benar-benar penasaran. belum lagi segala sikap yang pria itu berikan padanya, sikap yang benar-benar Eve merasa tak berperasaan membuatnya merasa apa yang sebenarnya Devan cari darinya? apa yang Devan inginkan darinya, padahal bisa saja lelaki itu menolak pernikahan mereka, bukan malah menerima dan memperlakukan Eve seperti ini.