Pemakaman Ibu Tania

2178 Kata
            Sang dokter menghela nafas dengan berat. Hal terberat baginya sebagai seorang dokter adalah menyampaikan berita duka, kepada keluarga pasien. Dengan menelan salivanya, dokter dengan name tag dr.Budi Dermawan, Sp.Jp memberitahukan kepada Arsyandi mengenai kondisi istrinya.             “Maaf, saya harus menyampaikan berita duka ini, istri bapak, nyawanya tidak dapat tertolong lagi. Istri Bapak mengalami serangan jantung koroner. Kami sudah memberikan penanganan medis, yang terbaik demi kesembuhan dan keselamatan nyawa pasien kamu. Akan tetapi, nyawa pasien tidak dapat kami selamatkan. Kami turut berduka cita, pak. Atas meninggalnya istri Bapak.”             “Bapak boleh melihat jenazah, silahkan masuk ke ruang UGD. Saya permisi, dulu.”             Arsyandi segera berjalan menuju ke ruang UGD, dilihatnya seluruh tubuh Desi telah ditutup kain berwarna putih. Ia segera mendekat, dibukanya kain yang menutupi wajah Desi, kemudian dikecupnya kening Desi. “Mengapa kau meninggalkan kami begitu cepat?, mengapa kau meninggalkanku  seorang diri untuk menjaga putri kita?. Apa yang harus  kulakukan tanpamu.” Ratap Arsyandi dengan airmata dan suara sarat kesedihan. “Semoga kau tenang di sisi Allah, Sayang. Aku yang akan menjaga putri kita, dan membantunya agar ia terbebas. Selamat jalan, Sayang.”             Arsyandi segera mengambil gawai miliknya dari saku celana, dihubunginya Antonio, pengacara sekaligus sahabatnya.             “Hello Antonio, dapatkah kau menolongku?, aku tau kau yang menangani kasus Tania, karena aku yakin Tania pasti menghubungimu. Hanya kamu satu-satunya pengacara yang dikenal putriku itu.”             “Tentu saja, aku akan menolongmu, kita sudah seperti saudara, bukan.” Ucap Antonio di ujung telpon.             “Desi, istriku baru saja meninggal dunia, karena serangan jantung. Dapatkah  kau membawa Tania keluar dari sel tahanannya sebentar saja, untuk menghadiri pemakaman ibunya. Aku mohon, bawalah putriku untuk menghadiri pemakaman istriku, Tania harus melihat jasad ibunya untuk yang terakhir kali.” Lirih Arsyandi dengan hati yang terasa sakit.             “Baiklah, aku akan mengusahakan agar  Tania dapat keluar  dari sel tahanan dan menghadiri pemakaman ibunya. Aku berjanji akan mendapatkan izin Tania keluar dan akan ku bawa Tania kepemakaman ibunya.”             Di lain tempat, pria dengan lesung pipit merasa kecewa, kebakaran yang diharapkannya dapat menghancurkan Drake, ternyata tidak terjadi. Kebakaran itu hanya menghanguskan sedikit saja dari bangunan resort.             “Sialan kau Drake!!!.” Namun, akan kupastikan kau akan menderita Drake. Aku akan terus mencoba untuk menghancurkanmu,” tekad pria dengan lesung pipit, sambil mengepalkan kedua tangannya.               Rumah sakit Papua             Karena kondisi Jessica yang telah membaik, Jessica sudah diperbolehkan ke luar dari rumah sakit. Mendengar berita itu Jessica dan Drake sangat senang. Kebahagiaan Jessica semakin bertambah, ia mendapat perhatian khusus dari Joana, ibu Drake. Drake memutuskan untuk membawa Jessica pulang ke Jakarta. Dengan jet pribadi milik Drake, Jessica, dan Joana bertolak dari Papua menuju ke Jakarta. Selama perjalanan Papua-Jakarta, Jessica di damping oleh seorang perawat professional untuk memastikan agar kondisi Jessica tetap stabil dan sehat, selama dalam perjalanan Papua-Jakarta.             Sementara itu di Papua,  Antonio sedang melobi pihak kepolisian, agar memberikan ijin kepada  Tania  untuk menghadiri pemakaman ibunya.             Ia melobi ke banyak orang penting di kepolisian dan kejaksaan, ia juga menjadikan dirinya sebagai jaminan, apabila Tania kabur, maka ia yang akan menggantikan Tania masuk ke dalam sel tahanan.             Syukurlah, akhirnya Antonio mendapatkan izin yang memperbolehkannya untuk membawa Tania ke Jakarta, menghadiri pemakaman ibunya. Tania akan di kawal oleh seorang Polisi dengan pakaian sipil.             Setelah berhasil mendapatkan izin ke luar Tania, Antonio mendatangi Tania di sel tahanan kepolisian Raja Ampat, Papua. Saat sudah berhadapan dengan Tania di ruang kunjung, Antonio menatap wajah Tania dengan rasa kaksihan. Dengan terpaksa dan berat hati Antonio menyampaikan berita duka meninggalnya Desi kepada Tania.             “Tania, hari ini kita akan berangkat ke Jakarta, ibumu baru saja meninggal dunia. Kau diijinkan keluar selama 1 hari untuk menghadiri pemakaman ibumu.”             “Ibuku meninggal om?,” tanya Tania dengan suara  terisak. “Ini salahku,  aku yang menyebabkan ibu meninggal. Ibu pasti meninggal gara-gara aku, aku membunuh ibuku sendiri Om.”             “Kau jangan berkata seperti itu, ibumu meninggal bukan karenamu. Sudah takdir Tuhan ibumu meninggal. Kita tidak tahu, kapan nyawa kita akan diambil Tuhan. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kau harus kuat, hanya kau yang dapat menjadi penyemangat ayahmu. Ayahmu sudah kehilangan istrinya, hanya kau satu-satunya putri yang dimilikinya. Kuatlah demi dirimu sendiri dan juga demi ayahmu. Sekarang hapus  airmatamu, kita berangkat menuju bandara.             Antonio menyerahkan paperbag, yang berisi pakaian kepada Tania. Ini, gantilah pakaianmu, disitu juga ada make up. Agar kau dapat merias wajahmu. Buatlah dirimu agar menjadi lebih segar. Mungkin di pemakamamn ibumu nanti, Kau akan bertemu dengan keluarga Meier, jangan Kau buat mereka senang dengan melihat penampilanmu yang terlihat berduka.”             “Terinakasih, Om. Saya akan berganti pakaian terlebih dahulu.”             Tania meminta izin kepada petugas yang piket untuk berganti pakaian di toilet, setelah mendapatkan izin Tania segera memasuki toilet dan mengganti pakaiannya yang tampak lusuh. Di riasnya wajanya dengan make up yang dibelikan Antonio, hingga penampilan Tania menjadi lebih baik.             Kemudian, Tania dan Antonio, dengan dikawal oleh polisi yang berpakaian sipil segera menuju ke bandara dengan menggunakan mobil dari pihak kepolisian. Setibanya di bandara, mereka tidak perlu menunggu lama untuk segera masuk ke dalam pesawat yang membawa mereka ke Jakarta.               Sementara itu di kediaman Aditama, jenazah Desi telah tiba di rumah duka, banyak pelayat yang datang untuk menyampaikan duka cita dan simpati mereka. Karangan bungapun memenuhi halaman kediaman Aditama yang luas.               Kediaman Keluarga Meier             Jessica, Joana dan  Drake, akhirnya sampai juga di kediaman keluarga Meier. Joana bersikeras agar Jessica tinggal bersama mereka, karena ia tidak ingin tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dengan Jessica dan kandungannya. Tentu saja mendengar hal itu Jessica merasa sangat bahagia.             Drake mengantarkan Jessica  menuju ke kamarnya. “Kau dengar apa kata dokter, bukan. Kalau kau harus bed rest dan tidak boleh banyak beraktifitas. Aku sudah mengurus surat  ijin kita untuk menikah, kita tidak perlu menunda pernikahan kita, hingga perceraianku dengan Tania selesai. Secara agama Tania sudah kuceraikan. Tinggal menunggu proses perceraian secara  Negara saja. Besok lusa kita akhirnya akan menikah sayang,” Ucap Drake dengan bahagia, karena dapat menikahi wanita yang dicintainya.             Drake mencium bibir Jessica sekilas, diusapnya lembut perut Jessica, “Sehat terus di dalam perut Mami, ya. Sayang.,” kata Drake sambil mencium perut Jessica. “Aku harus kembali ke kantor, kau akan baik-baik saja, kutinggal, bukan. Kalau ada apa-apa, kau dapat menghubungiku. Kurasa Mamiku juga siaga menjagamu.” Ucap Drake dengan tersenyum. “Mami sangat menyayangimu,” tambah Drake lagi.             Jessica tersenyum. “Tentu saja sayang, mamimu sekarang menyayangiku. Aku benar-benar menjadi wanita yang sangat bahagia. Akan segera mempunyai anak dan menikah dengan kekasih yang sangat kucintai, dan juga mendapatkan mertua yang menyayangiku.”             Sementara itu, di ruang keluarga Meier, Gilbert dan Joana terlihat duduk santai sambil menonton televisi. Alangkah betapa terkejutnya mereka, saat melihat liputan berita tentang meninggalnya Desi Aditama, istri dari Arsyandi Aditama. “Tidak mungkin, Desi meninggal dunia. Mengapa Desi meninggal dunia?,” seru Joana, ia tidak mempercayai kalau Desi meninggal dunia.               Kamera televisi memperlihatkan banyaknya pelayat yang telah hadir di kediaman keluarga Aditama dan juga karangan bunga, yang memenuhi halaman rumah keluarga Aditama. Kemudian fokus kamera beralih menyorot kedatangan Tania. Para wartaawan berebut mengajukan pertanyaan kepada Tania.             “Kita harus pergi ke rumah duka,” ucap Joana kepada suaminya. “Desi adalah sahabatku, aku ingin melihatnya untuk terakhir kalinya, meski karena situasi yang terjadi saat ini. Aku tetap menganggap Desi sebagai sahabatku.”             “Tentu saja, kita akan pergi melayat ke kediaman Aditama, gantilah bajumu, kita akan pergi ke rumah duka.” Perintah Gilbert, kepada Joana.             Terlihat Drake sedang menuruni tangga. Ia ingin berlalu ke luar rumah, akan tetapi, Gilbert memanggilnya.             “Drake kemarilah, sebentar!,” Desi, ibu Tania baru saja  meninggal dunia. Kami akan pergi melayat ke rumah duka, apa kau juga akan pergi ke rumah duka.”             “Tentu saja dad, aku juga akan pergi kerumah keluarga Aditama, untuk menyampaikan rasa turut berduka cita.”               Kediaman Aditama             Setibanya Tania, di kediaman orang tuanya. Ia di sambut sorot lampu kamera televisi. Kamera yang tadinya menyorot para pelayat yang hadir, kini beralih fokus. Fokus kamera beralih menyorot kedatangan Tania, yang begitu menyita perhatian para wartawan yang datang untuk meliput pemakaman Desi Aditama. Para wartawan itu berebut mengajukan pertanyaan kepada Tania.             “Bagaimana caranya anda dapat ke luar dari sel tahanan untuk menghadiri pemakaman ibu anda?.”             “Apakah benar anda mencoba membunuh kekasih suami anda?”             “Apakah anda cemburu dan sakit hati karena kekasih suami anda sedang hamil dan mengandung anaknya?, sementara Anda tidak hamil anak dari suami anda?.”             “Benarkah ibu anda meninggal karena tidak terima anda diceraikan dan di tuduh melakukan percobaan pembunuhan.”             “Benarkah pernikahan Anda dengan Drake Meier adalah pernikahan bisnis.”             Dan banyak lagi pertanyaan, yang lambat laun hanya terdengar sayup-sayup saja, karena Tania di giring masuk ke dalam rumah oleh Antonio dan polisi yang mengawalnya. Setibanya di depan jenazah ibunya, Tania terisak. Di bukanya kain penutup jenasah, lalu di cium dan di peluknya tubuh Desi yang telah terbujur kaku.             “Bu, mengapa engkau pergi?, mengapa ibu meninggalkan Tania, maafkan Tania bu, yang selalu membuatmu sedih, dan belum sempat membahagiakanmu. Maafkan Tania yang sudah menyebabkan ibu meninggal.”  Airmata Tania mengalir dengan derasnya.             Pelayat yang hadir ikut meneteskan airmata mendengar isak tangis Tania yang menyayat hati. Arsyandi menghampiri Tania, dipeluknya tubuh lemah putrinya. Mereka berdua saling berbagi kesedihan dan saling menguatkan. Pelayat yang hadir tidak dapat menahan airmata mereka melihat keduanya. Mereka mengetahui permasalahan yang menimpa keluarga Aditama, dan mereka merasa  bersimpati  kepada Tania juga Arsyandi.             “Tania, kau adalah putri yang sangat kami sayangi, kau tidak membuat kami kecewa dan bersedih. Ayah yang telah bersalah ke padamu. Ayah telah menikahkanmu dengan pria jahat, pria yang tidak bisa setia dan mencintaimu. Ayah berjanji di depan jasad ibumu, akan berusaha mencari jalan untuk membebaskanmu dari tuduhan itu. Kita akan berjuang bersama-sama untuk kebebasanmu,” kata Arsyandi menyemangati Tania. Ia tidak mau putrinya menjadi tertekan dan terpuruk. Ia takut, Tania akan mengulangi kesalahannya yang dulu. Arsyandi takut Tania akan bunuh diri lagi.             “Tania mendongak, di tatapnya wajah lelah ayahnya. Iya, yah kita akan berjuang bersama-sama untuk membuktikan kalau aku tidak bersalah.”             Setelah persiapan pemakaman selesai, jenazah segera di bawa ke area pemakaman.Saat di pemakaman, dengan pakaian serba hitam Tania duduk di sisi makam Desi. Tubuh ibunya baru saja di masukkan ke dalam liang lahat dan di tutup dengan tanah merah.             Airmata Tania terus menetes tak berhenti mengalir, di elusnya batu nisan dengan lirih Tania berkata. “Bu, semoga ibu tenang di sisi Allah SWT, Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa ibu. Tania akan berjuang agar segera bebas dari segala tuntutan hukum.” Sebagian besar pelayat telah beranjak pergi dari pemakaman, hanya tersisa segelintir orang di pemakaman Desi.             Keluarga Meier tiba di lokasi pemakaman. Gilbert, Joana dan Drake segera menuju ke makam Desi. Setibanya di depan makam Desi, keluarga Meier dan Aditama saling berhadapan.             “Kami turut berduka cita, atas meninggal Desi, aku tahu kalian mungkin tidak menyukai kehadiran kami. Namun, bagaimanapun juga keluarga kita bersahabat.” Ucap Gilbert.             Arsyandi menahan emosinya, dengan tangan terkepal dan suara bergetar menahan emosi, Ia berucap.             “Sahabat macam apa, yang membiarkan putri sahabatnya terpuruk sendirian di dalam sel tahanan dan tidak berniat untuk menolongnya?, dan membela putranya yang berselingkuh di depan istri sahnya, sahabat macam apa hah!!”, kalian bukanlah sahabat keluarga kami lagi.”             Joana yang merasa emosi mendengar kata-kata Arsyandi bersuara.             “Mengapa kami harus menolong seorang kriminal!, seperti Tania, yang mencoba membunuh Jessica dan calon cucu kami.”             “Apa katamu, putriku seorang kriminal?, kalian lebih membela w************n yang bersedia hamil di luar nikah dan menggoda pria bersuami,” ucap Arsyandi geram.             Drake menjadi marah dan tidak terima, kekasihnya disebut w************n membalas ucapan Arsyandi.             “Kekasihku  bukan w************n, Putrimu yang seorang penjahat. Akan aku pastikan Ia membusuk di dalam penjara, karena kejahatannya,” ancam Drake dengan penuh emosi. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut tanpa sengaja tatapan Tania dan Drake bertemu. Airmata mengalir di pipi tirus Tania, mata itu menampakkan sejuta luka. Dalam hatinya Drake merutuk ucapannya.             Tania hanya terdiam mendengar ucapannya. Hatinya sudah terlalu sakit untuk menanggapi ucapan Drake. Ditelannya salivanya, tatapan matanya terasa kosong. Ia merasakan kehampaan di dalam dadanya.             Beberapa orang yang masih tersisa di pemakaman segera melerai pertengkaran itu. Mereka mempersilahkan keluarga Meier untuk segera pergi dari pemakaman.             Sebelum melangkah pergi, Gilbert berucap, “Persahabatan kita putus hingga disini. Ini  adalah pertemuan terakhir keluarga kita. Meski begitu dalam hatinya, Gilbert menyesali putusnya hubungan persabatannya dengan Arsyandi yang telah terjalin semenjak mereka duduk di bangku SMU.             Tania yang merasa kelelahan dan batinnya yang tertekan, jatuh pingsan di depan kubur Desi. Drake membalikkan badannya ketika di dengarnya orang-orang memanggil Tania. Drake terpaku di tempatnya, hatinya berbisik agar menghampiri Tania yang jatuh pingsan, tetapi logikanya menolak.             Joana yang melihat Drake terpaku di tempatnya, segera menarik Drake. Ayo kita pergi, usah kau hiraukan Tania. Ingat, besok pernikahanmu dengan Jessica.” Ucap Joana.             Drakepun melangkah pergi dari pemakaman, dengan ke dua orangtuanya. Sementara itu Tania yang pingsan segera di masukkan ke dalam mobil dan di bawa ke kediaman keluarga Aditama.             Setibanya di rumah, Tania di letakkan di atas kasur yang ada di kamarnya.  Arsyandi telah memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Tania.             Selesai memeriksa Tania, Arsyandi menanyakan kondisi putrinya. “Sakit apa putri saya, dok?.”                            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN