Datang ke sebuah coffee shop dengan alasan menggarap skripsi yang terus mengejar, namun kenyataannya berbeda. Aluna sama sekali tidak bisa konsentrasi. Laptopnya menyala dan hanya ia pandangi. Berbeda dengan teman baiknya, Lia, gadis itu justru terlihat serius dan fokus.
“Aluna, kamu baik-baik aja?”
Pertanyaan yang terlontar dari Lia, membuat Aluna terkesiap. Lamunannya buyar dan kini justru menampakkan raut wajah bingung. Seperti nyawanya sekian detik keluar dari badannya.
“Memang aku kenapa, Li?” Tanya Aluna bingung.
Lia menghela napas pelan karena melihat kondisi Aluna saat ini. “Minum dulu deh, biar nyawa kamu kembali kumpul sama badan dan otak kamu kembali bekerja dengan baik,” ucap Lia dengan sabar.
Dengan polosnya, Aluna mengambil ice lemon tea miliknya, yang isinya sudah habis setengah. Gadis itu meneguknya dengan pelan, takut jika tersedak dan membuatnya malu dengan pengunjung coffee shop.
“Mungkin yang sadar kamu minum lemon tea pasti merasa heran. Ke coffee shop tapi minumnya ice lemon tea.” Gumam Lia.
“Ya aku nggak kuat sama kopi, gimana dong?” ucap Aluna sambil meletakkan kembali minumnya. “Rasanya sedikit seger.”
“Otak kamu udah normal lagi?”
Aluna mengangguk pelan dan helaan napas terdengar dari bibirnya. “Sudah kok. Tadi kamu nanya aku kenapa?”
“Iya, kamu ngelamun terus kan aku jadi bingung. Kasian laptop kamu nganggur karna kamu cuma bengong. Apa ini karna Ray?”
Ketika nama sang mantan disebut, rasa amarah dan kesal menyusup ke kulit hingga ke tulang-tulang. “Kenapa kamu nyebut nama dia sih, Li? Kamu tau kan kalau aku benci banget sama dia. Bahkan denger namanya saja aku nggak sudi.”
“Maaf Lun, tapi mau sampai kapan kamu menyia-nyiakan waktu buat membenci orang itu. Belum tentu dia juga sama kayak kamu. Siapa tau dia udah cari pengganti kamu.”
“Lia jahat benget deh,” gumam Aluna dengan wajah sendu.
“Bukan jahat Aluna, tapi biar kamu sadar. Kamu ini cantik, pintar dan sebentar lagi lulus kuliah. Masa depan kamu masih panjang, ya kali kamu mau terpuruk hanya karna Ray si kuda nil.”
Sebutan dari Lia untuk Ray membuat Aluna tersenyum geli. “Kamu ya, diem-diem bikin nama keren buat dia. Aku suka deh.”
“Iya meski semua bilang dia ganteng, tapi bagiku dia tetep jadi kuda nil karna sudah nyakitin kamu.”
“Tapi kemarin kamu malah nggak setuju kalau aku putus sama dia dan jangan ngambil tindakan gegabah. Sekarang, kenapa malah jadi berubah pikiran?”
“Ya beberapa hari aku liat kamu murung terus, jadi ya mungkin kamu memang lebih baik putus sama si Ray.” Jawab Lia. “Daripada kamu jadi nekat berbuat yang tidak-tidak, sebaiknya aku dukung saja kalau kamu pisah.”
Dukungan Lia membuat Aluna tersenyum. Namun, senyum itu hanya sementara karena ucapan Lia membuat ia ingat akan sesuatu. “Tapi masalahnya, aku udah melakukan hal bodoh yang mungkin akan aku sesali seumur hidup.”
“Hal bodoh? Maksud kamu?” Perasaan Lia mendadak menjadi tidak enak. “Pliss Lun, jangan bikin aku tegang begini.”
Sebelum menjawab pertanyaan Lia, tangan Aluna kembali meraih gelas minum miliknya, lalu menegukkan tanpa bantuan pipet. “Dua hari yang lalu, aku pergi ke klub.”
“Hah?” Lia terkejut, bahkan kedua matanya membola dengan sempurna. “Kamu udah nggak waras?”
Nada suara Lia yang tinggi menarik perhatian pengunjung lain. Lia yang polos dan terbiasa tenang memberikan reaksi yang tidak biasa atas tindakan temannya. Aluna yang panik segera mencubit tangan Lia yang ada di atas meja. “Lia, kamu bisa pelan sedikit, kan? Kita jadi pusat perhatian orang-orang tau.”
“Ya kamu bikin aku kaget duluan,” ucap Lia dengan suara setengah berbisik.
“Aku kan ngomong kenyataan, Li.”
“Jadi kamu serius pergi ke klub karna sakit hati sama Ray?”
Aluna mengangguk polos. Bibirnya manyun karena kesal dengan dirinya sendiri. “Iya Li, memang kamu pikir aku ke sana karna mau main bekel?”
“Nggak lucu, Lun. Terus kamu ngapain di sana? Pergi sama siapa?”
“Sendirian, kalau ngajak kamu ya nggak mungkin mau,” sahut Aluna. “Di sana ya minum, kayak yang lain. Ya kali aku ke sana cuma bengong.”
“Kamu serius? Memangnya kamu bisa minum minuman beralkohol?”
“Ya nggak bisa, kamu tau sendiri kehidupanku seperti apa.”
“Terus kenapa harus melakukan hal yang sebenarnya bertentangan sama kehidupan kamu selama ini?”
“Ya nggak tau, aku pusing, sakit hati, dan marah. Meski aku baru sebentar dengan Ray, tapi bagaimanapun aku juga cinta sama dia. Aku memang mutusin dia tapi lupa dengan semuanya nggak semudah itu, kan. Pikiranku pendek dan bingung makanya akhirnya aku berakhir di tempat yang menurutku tidak membawa ketenangan. Malah bikin aku sial dan…”
“Dan apa?”
Aluna tidak yakin menceritakan kenyataan yang sebenarnya kepada Lia. Temannya itu sangat kalem dan tidak suka bertingkah di luar norma. Tapi ia juga ragu bisa menyembunyikan hal yang terjadi kepada dirinya di malam itu. Lia terlalu pintar untuk dibohongi dan terlalu jeli membaca raut wajah Aluna. Pasti dengan mudah Lia bisa menebak kalau Aluna sedang berbohong.
“Lun, jawan dong!” Lia mulai gemas.
“Malam itu aku mabuk dan pas bangun, aku ada di kamar hotel.”
“Hah?” Mulut Lia terbuka lebar, kedua bola matanya melotot, dan raut wajahnya nampak terkejut. “Serius?”
“Lia, biasa aja dong. Jangan salah paham dulu.”
“Oke baik, cerita sama aku apa yang terjadi.” Lia berusaha sabar dan tenang.
Aluna mulai menceritakan apa yang terjadi di malam itu, hingga ia terbangun di sebuah kamar hotel. Semuanya diceritakan apa adanya sesuai dengan apa yang ia ingat. Karena Lia sudah tahu luar dalam Aluna, maka ia tidak ingin menutupinya lagi.
“Astaga Lun! Kok kamu bisa gegabah gini sih?”
Melihat raut wajah Lia yang sangat khawatir, membuat Aluna merasa tidak enak. Ia juga merasa sangat bodoh karena pergi ke tempat yang tidak sapatutnya ia datangi ketika pikiran sedang kacau. Apalagi semua ini karena Ray dan Aluna sangat menyesal.
“Lia, wajah kamu jangan galak gitu dong. Yang penting, aku baik-baik aja dan orang itu nggak mengambil kesempatan ketika aku nggak sadarkan diri.”
“Iya aku tau dan aku cukup bersyukur karna kamu ketemunya sama orang baik, bukan orang jahat yang bisa melakukan apa saja saat kamu lagi mabuk,” ucap Lia. “Terus, kamu sama sekali nggak tau identitas orang yang sudah nolong kamu?”
Aluna menggeleng pelan. “Mungkin nggak sih kalau yang nolong aku adalah orang yang sama dengan cowok yang aku cium?”
Membayangkan kembali kepingan ingatan itu membuat perut Aluna menjadi mules. Katanya saat mabuk atau orang yang sedang dalam pengaruh alkohol tidak ingat dengan tindakan yang dilakukan. Lalu kenapa Aluna bisa ingat memori memalukan itu? Aluna juga tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi. Ya, meskipun tidak ingat dengan jelas.
“Ya sudahlah kalau memang nggak tau orangnya siapa. Mending kamu jangan inget itu lagi dan fokus sama skripsi.” Ujar Lia. “Ingat Lun, jangan sampai Mas Azel tau, bisa habis kamu.”
“Nah itu dia yang aku takutkan. Kamu tau sendiri kalau Mas Azel punya banyak temen apalagi kenalan di klub malam. Aku takut kalau ada liat aku di sana.”
“Tapi sampai sekarang, dia nggak nanya kamu, kan?”
“Nggak sih, semoga aja anggak pernah.”
“Ya artinya kamu lagi-lagi beruntung karna selamat dari amukan Mas Azel.”
Kedua tangan Aluna menyugar rambutnya dengan asal karena frustrasi dengan apa yang ia pikirkan. “Ini pertama dan terakhir aku pergi ke tempat itu. Nggak mau nambah masalah lagi yang ujung-ujungnya bikin aku pusing.”
“Kenapa nggak dari awal aja kamu mikirnya begitu, kan nggak mungkin terjadi tragedi cium orang asing di klub malam.” Sindir Lia lalu kembali fokus sama laptop miliknya.
Sindiran tajam Lia membuat Aluna menyentuh kedua pipinya. “Lia, udah ya jangan bahas ini lagi. Pokoknya aku nggak akan mau inget lagi kejadian ini dan aku anggap semuanya nggak pernah terjadi.”
“Memang bisa gitu ya?” Tanya Lia polos. “Aluna oh Aluna, niat ke klub buat melupakan Ray, pulang-pulang malah nambah satu beban pikirian.”
“Lia ih!” Protes Aluna sebal.
***
Keluarga Suwandi adalah keluarga yang tergolong harmonis. Jarang ada pertengkaran kecuali karena sikap protektif Azel kepada Aluna, sedangkan sang adik suka protes dengan sikap sang kakak. Terjadilah keributan kecil yang justru membuat suasana rumah itu semakin hidup. Aluna yang kadang kesal karena Azel terlalu banyak ikut campur terutama soal hubungan asmaranya. Namun, jika Azel tidak pulang dan tidur di apartemen, justru gadis itu merasa kesepian.
Makan malam hari ini dihadiri personil lengkap. Suasana hangat juga terasa ketika mereka menikmati makan malam hasil masakan dari Ambar, ibu dari Aluna dan Azel. Makanan rumah selalu jadi favorit suami serta anak-anaknya.
“Luna, kamu ingat Tante Desti?” Tanya Ambar. “Itu loh yang anaknya kan seumuran sama kamu.”
“Iya Ma, inget kok. Memang kenapa?” Tanya Aluna sambil menikmati buah semangka sebagai hidangan penutup.
“Minggu depan, anaknya mau tunangan dan dua bulan lagi mau nikah.”
“Oh…”
“Kok cuma ‘oh’?”
Kening Aluna mengkerut dengan raut wajah bingung. “Terus aku harus gimana, Ma?”
“Kamu nggak mau tanya kenapa masih muda sudah menikah?”
“Lah, penting ya, Ma? Kan itu hak dia mau menikah kapan.”
“Tujuan Mama kasih tau Aluna soal itu, apa?” Kini Suwandi, ayah Aluna yang bertanya.
“Ya biar Aluna tau, Pa.”
“Kalau Aluna sudah tau, kenapa Ma?” celetuk Azel yang sejak tadi diam saja dan fokus dengan makanan.
“Ya nggak kenapa-kenapa,” jawabnya. “Kenapa Papa dan Azel jadi liatin Mama curiga begitu?”
“Jangan bilang kalau Mama juga mau Aluna nikah muda?” tebak Azel.
“Apa salahnya, itu lebih bagus. Kalau Aluna punya anak, Mama dan Papa masih dalam keadaan sehat bugar.”
“Mama mau kalau aku nikah muda?” Tanya Aluna yang masih tidak percaya dengan keinginan sang ibu.
“Mama sih mau tapi kan tergantung izin dari Papa.”
Lalu pandangan Aluna pindah ke ayahnya. “Papa setuju?”
“Papa setuju saja asal calon suami kamu bisa bertanggung jawab secara moril dan materiil. Dan yang paling penting, kamu siap lahir dan batin karna pernikahan itu bukan perkara sayang-sayangan saja.” Jawab Suwandi bijak sebagai seorang ayah.
“Nggak boleh. Aku nggak setuju kalau Aluna nikah muda.”
“Kenapa begitu? Kamu nggak mau dilangkahi?”
“Bukan begitu Ma, aku juga nggak niat nikah.”
“Terus apa?”
“Aku mau Aluna fokus dengan pendidikan dan masa depan. Urusan pasangan aku harap dia bisa hati-hati.”
“Tenang saja, aku nggak akan seceroboh Mas Azel kalau urusan pasangan.” Celetuk Aluna polos.
“Luna,” tegur sang ibu.
Seketika Aluna terdiam dengan pandangan terpaku pada sosok Azel yang ada di seberangnya. Ia menyadari ucapannya melukai perasaan sang kakak yang pernah mengalami kegagalan ketika akan menikah. Tidak bisa dipungkiri saat ini Aluna merasa bersalah kepada Azel.
“Maaf Mas, aku nggak ada maksud nyakitin hati Mas Azel.”
Pria itu berdeham lalu mengelap bibirnya dengan tisu. “Aku sudah kenyang. Aku naik dulu karna masih ada pekerjaan.”
“Azel, mau makan buah? Biar Mama bawakan ke kamar.”
Azel yang sudah beranjak dari duduknya, langsung menggeleng. “Tidak usah, perutku sudah penuh.”
Melihat Azel berlalu dari pandangannya, Aluna semakin yakin kalau pria itu marah. “Pa, Ma, aku nggak sengaja.”
“Sebaiknya susul Azel ke atas, minta maaf atas ucapan kamu tadi.” Titah sang ayah.
Aluna mengangguk pelan, menuruti perintah ayahnya. “Baik Pa, aku susul Kak Azel dulu.”
Begitu sampai di depan pintu kamar Azel, perasaan takut melanda Aluna. Ia tahu bagaimana sifat kakaknya, jika marah maka tidak berani untuk didekati. Tapi ia juga tidak mau masalah ini berlarut terlalu lama, sehingga ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu kamar kakaknya.
“Tenang Aluna, tarik napas lalu embuskan. Berani berbuat berarti berani bertanggung jawab,” gumam Aluna menenangkan dirinya sendiri. “Walaupun aku nggak sengaja tapi tetap saja salah.”
Dalam satu tarikan napas, tangan Aluna mengayun di udara, lalu mendarat di pintu kayu berwarna hitam gelap.
“Mas, aku boleh masuk?” teriak Aluna di depan pintu.
Beberapa saat menunggu tapi tidak ada jawaban. Akhirnya dengan modal nekat, Aluna membuka pintu kamar Azel dengan sangat hati-hati. Tentu ia tidak mau menjadi sasaran empuk kemarahan kakaknya.
Begitu pintu sedikit terbuka, kepala gadis itu sedikit menyembul untuk melihat situasi di dalam kamar. Ia langsung menemukan sosok Azel yang sedang duduk di atas tempat tidur, bersandar di kepala ranjang sambil fokus dengan tablet yang menyala.
“Mas, aku masuk ya.” Ucap Aluna tapi tidak mendapat tanggapan dari pria itu.
Meski belum mendapat izin, Aluna langsung menghampiri Azel yang tak acuh kepadanya. Ia memilih tetap berdiri sambil menatap pria itu.
“Mas, maafin aku ya. Aku nggak sengaja dan bener-bener nggak ada maksud mengungkit luka lama yang Mas alami.” Jelas Aluna.
Azel meletakkan tablet yang ada di tangannya ke atas kasur. Kakinya yang selonjor kini berganti menjadi bersila. Tatapan matanya beralih ke Aluna yang sedang berdiri.
“Duduk.” Titahnya dingin.
Aluna menurut saja. “Jangan marah ya.”
“Aluna, aku nggak marah soal kamu mengungkit masa laluku. Tapi aku malas berdebat jika belum apa-apa Papa dan Mama sudah membahas soal pernikahan kamu,” ucap Azel. “Ingat ya, jangan sekali-sekali mengulang kebodohanku. Karna saat semua sudah terjadi, maka penyesalan yang akan terus menyiksa batinmu.”
“Mas…”
“Apalagi pacar kamu yang sekarang, aku benar-benar tidak setuju. Ada yang tidak beres dan feeling-ku pasti akan segera terbukti.”
“Mas, aku sudah putus sama dia. Jadi Mas Azel nggak perlu khawatir.”
“Putus? Kenapa?” tanya Azel terkejut. “Ah, tapi syukurlah. Aku lega mendengar berita ini.”
Aluna menghela napas pelan. Jika bisa, ia ingin mengatakan kalau Azel kejam karena senang dengan apa yang ia alami saat ini. “Jangan tanya alasannya, yang jelas kami tidak cocok.”
“Oke, apapun itu asal sudah putus aku sudah bahagia.”
“Mas Azel ih, kejam!”
“Aku begini karna peduli sama kamu. Jangan bilang kalau kamu nyesel putus sama cowok moge itu?”
Gadis itu menggeleng ragu. “Aku nggak nyesel tapi aku sedih. Bagaimana pun, kami memiliki banyak kenanga indah dan butuh waktu untuk melupakan. Tapi…sudahlah. Aku sudah bulat dengan keputusanku.”
Azel menyentuh tangan adiknya, lalu memberi pelukan hangat kepada Aluna. “Pergi satu, yang antri banyak. Jadi wanita yang tangguh dan nanti Tuhan kasih kamu laki-laki yang tepat.”
“Iya Mas, makasih karna sayang sama aku,” ucap Aluna. “Jadi Mas Azel sudah nggak marah sama aku, kan?”
Pria itu mengurai pelukannya lalu menatap Aluna. “Siapa yang marah. Sekarang keluar, aku mau kerja.”
Diusir secara nyata membuat Aluna mendengkus sebal. “Kerja liatin foto para modelnya Mas Azel, kan? Pasti ada foto yang pakaiannya terbuka.”
“Sok tau! Buruan keluar dan tutup pintu.” Perintah Azel kejam.