6. MENGHILANG BAGAI DEBU

2000 Kata
Pertanyaan dari Angkasa ditanggapi dengan kebingungan oleh Aluna. Matanya berkedip beberapa kali sambil berpikir, sampai akhirnya ia menjawab. “Tidak Mister. Kita belum pernah bertemu sebelumnya.” Tatapan mata Angkasa semakin tajam. Seperti berusaha mencari tanda di wajah gadis itu, dan menemukan jawaban dari rasa penasarannya. “Begitu ya. Tapi saya seperti merasa pernah bertemu kamu.” Ketika Aluna melihat Angkasa memainkan bibirnya, menggigit serta membasahi dengan lidahnya, sontak membuat matanya membulat sempurna. Jantungnya seakan berhenti berdetak namun mendadak berdebar sangat kencang. Kepingan ingatan muncul dalam pikirannya. Kenangan memalukan yang sengaja ia lupakan, kini muncul dengan jelas. Ya, Angkasa adalah pria yang ia cium di klub malam. Angkasa terkesiap ketika mendadak Aluna beranjak dari duduknya, hingga menimbulkan suara gaduh yang berasal dari kursi yang diduduki gadis itu. Hal ini sampai menarik perhatian orang yang ada di ruangan itu. “Kamu kenapa?” Gadis itu menggeleng cepat berusaha nampak biasa saja walaupun sepertinya itu percuma. “Tidak kenapa-kenapa Mister. Saya izin permisi, sekali lagi terima kasih Mister.” “Kamu sudah tau nomor telpon saya?” Tanya Angkasa tiba-tiba. “Yah?” “Kamu belum sarapan?” Otak Aluna semakin tidak bisa diajak kerja sama. Semua yang diucapkan Angkasa seperti kata-kata menakutkan yang siap menyerangnya. Sungguh heran yang Aluna rasakan, kenapa dunia ini sangat sempit baginya. Sekian orang di dunia ini, kenapa ia harus bertemu dengan Angkasa. Sekian banyak kampus, kenapa harus di sini Angkasa mengajar. “Sudah, saya sudah sarapan,” jawab Aluna tanpa berani menatap wajah Angkasa. “Kalau sudah, kenapa kamu mendadak lemot begini?” “Maaf Mister.” Lidahnya sudah kelu, tidak mampu melakukan pembelaan lagi. Diam-diam, Angkasa mengambil kotak kecil yang berisi kartu nama miliknya. “Ini kartu nama saya. Jika ada hal yang ingin kamu konfirmasi, bisa hubungi saya di nomor itu.” ucapnya sambil menyerahkan kartu nama kepada Aluna. Dengan tangan gemetar, Aluan segera mengambil pemberian Angkasa agar bisa segera pulang. “Terima kasih Mister. Saya permisi sekarang.” Angkasa menggeleng melihat tingkah Aluna yang aneh. “Mahasiswi aneh.” Sedetik kemudian bayangan wajah Aluna muncul dalam ingatan pria itu. “Tapi wajahnya seperti tidak asing. Apa sebelumnya aku memang pernah ketemu dia dan kami sama-sama lupa?” Ketika berhasil keluar dari ruang dosen, lalu menghilang dari pandangan Angkasa, akhirnya Aluna bisa bernapas lega. Ia segera menjauh dari gedung, sambil terus melangkahkan kakinya menuju parkiran mobil. Terik sinar matahari seakan tidak berarti bagi Aluna yang sejak tadi sudah merasakan panas di sekujur tubuhnya. Ketika kakinya berhenti melangkah tepat di depan mobilnya, tangan gadis itu kembali ada yang menarik, seakan mencegah Aluna membuka pintu mobil. “Tunggu Aluna.” Sudah jelas siapa pemilik suara itu. Dengan raut wajah penuh amarah, Aluna menoleh lalu menghentakkan tangannya dengan keras. Ia benar-benar muak dengan Ray karena terus mengganggunya. “Ada apa lagi, sih? Belum puas kamu ganggu aku?” Tanya Aluna dengan nada menantang. “Bukannya tadi kamu sendiri bilang kalau kamu menganggap aku sedang butuh waktu untuk berpikir dan kamu sabar menunggu. Kenapa tiba-tiba muncul lagi?” “Oke aku jelas ingat apa yang aku katakan tadi. Aku Cuma minta tolong, jangan blokir nomor telponku, Aluna. Aku nggak tau harus komunikasi lewat mana sama kamu. rasanya aneh kalau aku hubungi kamu ke telpon rumah kamu. Pasti mama kamu akan curiga dengan hubungan kita. Terutama kakak kamu yang sejak awal seperti tidak suka sama aku.” Aluna mendecakkan lidahnya, lalu memberikan senyum malas kepada mantan pacarnya. “Jangan terlalu mikirin keluargaku. mereka nggak akan pernah ikut campur dan mereka pasti baik-baik saja kalau tau kita putus. Jadi jangan merasa terbebani.” “Tapi Aluna, tetap saja jangan blokir nomorku.” Ray seperti tidak patah semangat untuk meluluhkan Aluna. Merasa Ray sudah sangat menyebalkan dan mengganggu, Aluan segera membuka pintu mobilnya. Ia ingin pergi dari hadapan Ray. Mendengar pembelaan dari pria itu membuat kepalanya pusing serta muak. “Ray!” Teriakan dari seseorang membuat Ray dan Aluna menoleh. Tidak jauh dari mereka berdiri, ada seorang perempuan sedang melambaikan tangan. Begitu tahu siapa orang itu, Aluna langsung tersenyum sinis. “Tuh dicari sama teman rasa pacarmu!” sindir Aluna kemudian masuk ke mobilnya. “Jangan salah paham Aluna,” ucap Ray sambil menatap Aluna yang sudah duduk tenang di dalam mobil. Gadis itu lagi-lagi mengulas senyum seperti tanpa beban. “Sori ya, nggak ada tuh namanya salah paham.” Tanpa menunggu tanggapan dan sepertinya tanggapan Ray juga tidak pending bagi Aluna, gadis itu langsung menjalankan mobilnya. Aluna meninggalkan Ray yang kini sudah bersama Siska. “Dasar playboy cap kuda nil. Sudah tertangkap basah, masih saja ngeles,” gerutu Aluna dengan perasaan sebal. “Kamu memang jahat, Ray!” Jujur saja, hatinya memang masih merasa nyeri atau cemburu dengan kedekatan Ray dan Siska tapi berusaha ia tepis. Ray menghela napas panjang begitu mobil yang dikemudikan Aluna menghilang dari pandangan matanya. Kedua telapak tangannya yang lebar, mengusap kasar wajahnya yang tampan. “Jangan salahin aku kalau Aluna pergi ninggalin kamu,” ucap Siska dengan wajah santai. “Dia terlalu cemburu.” “Dan kamu semakin memperkeruh suasana, Siska.” Jawab Ray penuh penekanan. “Dan kamu muncul di waktu yang tidak tepat.” “Ray!” “Jangan muncul dulu, untuk saat ini.” pinta Ray namun terdengar seperti perintah. “Aku mencintai Aluna, meski sejak awal caranya yang salah.” Tempat tujuan Aluna adalah rumah dari Lia. Saat ini ia butuh teman bicara, meluapkan segala rasa yang tengah melandanya. “Lun, kamu sudah yakin kalau Mister Angkasa adalah orang yang sama dengan orang yang kamu cium di klub?” Tanya Lia setelah mendengarkan cerita dari Aluna. Pertanyaan dari Lia hanya dijawab anggukan tanpa tenaga oleh Aluna. “Sepertinya kamu nggak bisa menghindar, Lun. Mister Angkasa harus kamu hadapi, bagaimanapun keadaannya.” Aluna masih diam setelah membeberkan semua yang terjadi. Mengungkapkan apa yang ia rasakan setelah bertemu dengan Angkasa. Tatapan matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Setiap ingat wajah Angkasa serta kejadian malam itu, rasanya Aluna ingin menghilang bagai debu. “Lun, ngomong dong. Ke sini jangan malah bikin aku banyak pikiran.” Keluh Lia yang terpaksa menghentikan aktivitas menyenangkannya yaitu membaca buku karena kedatangan Aluna. “Makanya, sebelum bertindak dipikir baik-baik dulu. Gini kan jadinya, udah tau rasanya kena akibat dari kecerobohan kamu.” Sindiran Lia membuat Aluna semakin frustrasi. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, menutup wajahnya dengan bantal, kemudian mengerang dengan kencang. Bahkan ia sempat berguling beberapa kali saking bingungnya. Beberapa detik kemudian ia bangkit, lalu menatap Lia yang duduk di kursi belajar milik gadis itu. “Lia, aku harus gimana? Apa yang harus aku lakukan kalau Mister Angkasa ingat tentang kejadian malam itu?” “Ya kamu harus hadapi dengan lapang dada.” Sahut Lia santai. Jawaban Lia tidak memuaskan bagi Aluna. “Masa harus gitu? Kamu bukan kasih solusi tapi nyuruh aku pasrah.” “Ya memang ada cara lain lagi?” Tanya Lia kepada Aluna. “Masalahnya, Mister Angkasa sendiri ngerasa pernah liat kamu, jadi ada kemungkinan dia juga bakalan inget kejadian itu.” Aluna mengembuskan napas panjang dengan raut wajah putus asa. “Jadi aku harus menghadapi kenyataan ini ya, Li?” “Iya dong, mengaku saja dan minta maaf atas kejadian malam itu. Kamu salah tapi kamu juga tidak bisa kontrol diri karna dalam pengaruh alkohol.” “Tapi kenapa aku harus ingat kejadian itu, bukannya aku harusnya lupa ya.” “Ya nggak tau Aluna. Syukuri saja kalau kamu punya daya ingat kuat, jangan semuanya dilihat dari sisi negatifnya.” “Kalau misal Mister Angkasa mikir aku bukan perempuan baik-baik, gimana?” Lia memutar bola matanya, heran dengan ketakutan sahabatnya. “Memang kamu bakalan tau isi kepalanya Mister Angkasa?” “Ya siapa tau gerak geriknya bisa memperlihatkan kalau penilaian dia buruk terhadapku.” “Jangan asal menebak, belum tentu Mister Angkasa punya pemikiran begitu.” Sahut Lia gemas. “Jadi sekarang mau kamu apa, Lun? Mau jujur sama Mister Angkasa walaupun dia belum tentu ingat dengan kejadian itu?” Aluna menggeleng. “Bukan begitu. Aku hanya malu dan takut hal ini berpengaruh pada proses penyelesaian skripsiku.” “Hadapi saja, toh kamu juga nggak punya cara untuk menghindar. Mau minta ganti dosen pembimbing juga kamu nggak akan bisa, jadi kamu nggak punya cara lain lagi.” Ucapan dari Lia terus saja terngiang-ngiang di telinga Aluna. Bahkan saat mengemudikan mobil, ia sempat tidak fokus dan hampir saja menabrak mobil yang ada di depannya, ketika terlambat berhenti karena lampu merah. Untung saja masih ada keberuntungan yang ia miliki hari ini. “Baiklah, sepertinya aku harus berhenti di minimarket untuk membeli minum. Atau membeli coklat demi memperbaiki moodku?” Gumam Aluna pada dirinya sendiri. Sambil fokus pada kemudi, pandangan Aluna juga mencari minimarket yang mungkin ada di sekitar sana. Benar saja, papan nama minimarket tertanggap pandangan mata Aluna. Ia segera mengarahkan mobilnya menuju tempat itu. Beruntung tempat parkirnya tidak penuh sehingga ia tidak bingung harus parkir di mana. Setelah beres dengan urusan parkir, kaki Aluna melangkah masuk ke minimarket. Ia segera mencari apa yang ia butuhkan. Pertema-tama, ia mendatangi lemari pendingin yang menyimpan berbagai jenis minuman dan yang ia ambil adalah air putih. Setelah itu, ia berjalan menuju rak penyimpanan berbagai jenis cokelat. Saking banyaknya, Aluna sampai bingung harus memilih yang mana. Saat pandangan matanya menemukan pilihan yang tepat, tiba-tiba raut wajahnya mendadak masam. “Rasa matcha? Aku nggak akan pernah makan rasa ini lagi karna ini rasa yang Ray suka.” Gerutunya lalu mengurungkan niat mengambil cokelat dengan gambar matcha pada bungkusnya. Tangannya tergerak kembali mengambil cokelat yang sudah terkenal dengan rasa enaknya. “Yang ini saja. Semoga kamu bisa membantu moodku kembali membaik.” Setelah mendapatkan semua yang diinginkan, langkah kaki Aluna kini berjalan menuju meja kasir. Ia menyerahkan barang belanjaan untuk dibayar. “Ada yang mau ditambah lagi?” Tanya petugas kasir. Aluna berpikir sejenak sebelum ia menjawab. “Oh, tunggu sebentar. Saya mau ambil es krim dulu.” “Baik.” Gadis itu segera mencari es krim agar tidak membuat kasir menunggu lama. Saking cepatnya ia sampai tidak hati-hati, lalu menabrak seseorang hingga minuman orang itu jatuh. “Aduh, maaf Pak. Maaf saya tidak sengaja.” Aluna segera memungut botol minum yang sudah ia jatuhkan tanpa menatap si pemilik minum. “Aluna?” Namanya dipanggil membuat Aluna mendongak. Kedua matanya membulat dengan sempurna ketika tahu siapa yang tengah berdiri di hadapannya. “Mister Angkasa?” “Iya ini saya.” Gadis itu segera berdiri, lalu menyerahkan minuman dalam botol kepada Angkasa. “Maaf Mister, saya benar-benar tidak sengaja.” Ucapnya tidak enak. Angkasa mengangguk santai, tidak masalah dengan apa yang terjadi barusan. “Tidak apa-apa, santai saja.” Tidak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi canggung ini, akhirnya membuat Aluna memberanikan diri untuk bicara jujur. “Mister, saya duluan ya. Takut es krimnya mencair jadi saya mau buru-buru.” “Oh iya, silakan.” “Permisi Mister.” Pamit Aluna dengan senyum dipaksa mengembang. Angkasa mengangkat ringan bahunya. “Aneh, sikapnya terus saja aneh.” Cepat-cepat Aluna kembali ke mobilnya. Barang belanjaannya dilempar ke jok sebelah kemudi, seakan lupa tujuan dari membeli minuman serta makanan itu. Saat ini ia hanya tidak mau bertemu Angkasa dalam waktu lama karena takut membuat pria itu mengingat apa yang terjadi antara ia dan dirinya. Heran sekali, dari sekian banyak minimarket, kenapa ia harus bertemu dengan Angkasa di tempat yang sama. “Wah, sepertinya Tuhan lagi kasih aku hukuman karna kelakuanku. Tapi tolong Tuhan, jangan seperti ini.” gumam Aluna dengan wajah tertunduk di atas kemudi mobil. “Jangan di hari yang sama. Setidaknya kasih aku waktu untuk menyiapkan hati, menghadapi kenyataan yang akan terjadi.” Setelah cukup mengeluh, Aluna mengangkat wajahnya. Ia mencoba tegar dan berlapang d**a. “Baiklah, bersikaplah dewasa Aluna. Hadapi dan bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah kamu lakukan. Menghindar tidak akan menyelesaikan masalah. Semakin kamu menghindar akan semakin kamu merasa ketakutan. Jadi, mari hadapi Mister Angkasa dengan segala konsekuensinya. Jangan mengeluh dan jangan berharap kamu bisa menghilang seperti debu karna itu hal mustahil,” ucap Aluna menyemangati serta mengingatkan dirinya sendiri, meski tidak tahu apakah mempan untuk dirinya atau tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN