“Kamu yakin kalau Ray kayak gitu?” Lia tidak percaya dengan apa yang Aluna ceritakan.
Aluna datang ke kos sederhana Lia dan menumpahkan rasa sedihnya mengenai apa yang sedang ia rasakan. Kemarin, ia memilih pulang meninggalkan Lia setelah kembali dari toilet kampus.
“Aku belum punya bukti tapi menurutku Siska nggak mungkin bohong, Lia,” tuturnya sambil menyeka air matanya.
Lia menghela napas lalu menepuk lengan sahabatnya dengan lembut, “Sebaiknya kamu cari kebenarannya dulu baru menuduh Ray seperti itu. Buat apa menangis dan marah kalau kamu sendiri hanya tahu dari obrolan Siska dan genknya itu,” ucap Lia dengan bijak.
“Kalau dia beneran jadikan aku sebagai taruhan, terus aku harus bagaimana? Boleh nampol mulut manisnya itu? Atau sekalian gue tendang tuh aset masa depannya?” tanya Aluna sambil terisak.
Lia terkekeh geli, “Kamu ini kok jadi perempuan ekstrim banget.”
“Lia aku serius kenapa kamu malah tertawa?” tangis Aluna semakin menjadi-jadi. Bahkan tisu yang Lia sediakan sudah habis setengah untuk mengelap ingusnya.
“Iya, maaf. Terus sekarang kamu mau apa?”
“Mau putus!” jawabnya yakin.
“Dengan alasan?”
“Ray bohong dan nggak pernah tulus cinta sama aku. Dari pada dia mutusin duluan, mending aku yang putusin. Gengsi banget kalau orang tahu aku ini jadi bahan taruhan,”
“Terus kalau Ray nggak mau dan nyatanya dia beneran sayang sama kamu gimana?”
Aluna terdiam, namun sakit hatinya kembali menyerang. “Pokoknya aku mau putus sama dia. Awas aja dia mohon-mohon sama aku dan bilang kalau yang dikatakan Siska bohong, biar aku bawa mereka berdua duduk bareng terus minta penjelasan siapa yang berbohong dan siapa yang benar.”
“Ribet banget sih Lun,” keluh Lia. “Aku yakin banget kalau kamu nggak mau putus sama Ray, iya kan?”
“Kamu kok nggak dukung aku sih, Li?” protes Aluna. “Komporin aku dong biar makin mantap putus sama Ray.”
“Nggak ah, kalau kamu putus terus nyesel aku juga yang repot.”
“Terus aku harus gimana?”
“Ya tanya langsung sama Ray dan nilai sendiri mana yang benar, Siska atau Ray?”
***
“Sayang, kamu kemana saja?” Ray langsung memeluk tubuh Aluna begitu sampai di kafe dekat kampus tempat keduanya bertemu.
Aluna segera menepis tangan pria yang sudah membuat hadupnya warna warni selama tiga bulan terakhir.
Ray terkejut dengan reaksi Aluna yang tidak biasa, “Hei, kenapa? Kok tumben nggak mau aku peluk?”
Gadis itu menatap nanar Ray yang ada di sebelahnya, “Jangan pura-pura lagi Ray. Nggak malu sama wajah ganteng tapi kelakuan kayak nggak sekolah?”
“Maksud kamu apa?” tanya Ray bingung.
“Kenapa harus aku yang kamu jadikan sebagai bahan taruhan dengan teman-teman kamu?”
Ray terdiam, ia tidak menyangka Aluna akan mengetahui hal konyol yang ia lakukan dengan para sahabatnya.
“Kenapa diam? Nggak bisa jawab? Ngerasa ya? Kamu kira aku barang dijadikan taruhan, hah?” suara Aluna meninggi hingga membuat pengunjung kafe menoleh ke arah keduanya.
“Aluna, maksud kamu apa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu, muka kamu itu nggak cocok main sandiwara, Ray.”
“Siapa yang jadiin kamu taruhan?” Ray masih mengelak.
“Ray aku mohon jangan bohongi aku lagi. Kamu nggak tahu gimana hancur perasaan aku saat tahu orang yang aku cintai ternyata hanya pura-pura demi menang taruhan?” Aluna berusaha keras menahan air matanya.
Ray mendesah kasar, “Maaf Aluna, aku tidak ada maksud menyakiti kamu,” ucap pria itu dengan penuh sesal.
Akhirnya air mata Aluna tidak bisa dibendung lagi karena ucapan Siska benar. Ia sudah menyiapkan hatinya untuk pengakuan dari Ray.
Rayden mengambil tangan Aluna kemudian digenggam dengan erat, “Sayang, maafin aku ya. Awalnya memang semua ini taruhan, tapi setelah aku menjalaninya dengan kamu justru aku banar-benar jatuh cinta sama kamu. Aku tulus sayang dan ingin sama kamu melewati semua hal. Jadi aku mohon, kamu jangan marah lagi dan kita mulai semuanya dari awal.”
“Pria kurang ajar!” sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Ray hingga membuat pria itu meringis.
“Kamu pikir aku percaya dengan mulut manis kamu? Jangan harap Ray, yang antri untuk aku banyak dan kamu bukan apa-apa bagi aku. Kamu bisa berbangga hati karena menang taruhan, tapi aku yang akan bikin kamu malu karena aku yang akan putusin kamu.” Suara Aluna bergetar menahan emosi.
“Nggak, aku nggak mau kita putus!” tolak Ray dengan keras.
“Kamu nggak mau tapi aku mau. Aku nggak akan pernah bisa terima siapapun cowok yang mencoba main-main sama Aluna, termasuk kamu.”
“Tapi kamu cinta sama aku, mana mungkin kamu bisa tanpa aku, Aluna.”
“Iya aku cinta dan sangat cinta, tapi sayang kecewaku sudah menguasi hatiku dan aku mau kita putus,” Aluna beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan Ray yang masih diam karena tidak percaya gadis penurut, ceria dan manis itu bisa mengambil sikap yang sangat tegas.
Ray segera tersadar lalu pergi menyusul Aluna karena ia benar-benar tidak bisa hubungannya berakhir. Ia mengakui semuanya salah tapi ia juga tidak bisa berbohong saat rasa sayang dan cinta itu tumbuh seiring waktu. Mengagumi sosok Aluna yang tidak bisa didapat oleh sembarang pria bahkan dirinya pun berjuang keras agar bisa meluluhkan hati gadis itu. Dan kini semua berantakan, tidak sesuai dengan rencana Ray untuk jujur sebelum Aluna tahu.
“Aluna, aku mohon kita bisa selesaikan baik-baik,” Ray menyambar tangan Aluna tanpa peduli dengan tatapan orang sekitar.
Aluna menghempaskan tangan Ray, “Cukup Ray! Semua sudah jelas dan aku yakin sebenarnya kamu tidak pernah mencintai aku sesuai dengan pengakuan kamu karena yang ada di hati kamu adalah Siska. Gosip yang beredar diluar sana benar kan? Sebelum kamu dekat sama aku, sebenarnya kamu dan Siska ada hubungan bahkan sampai sekarang kalian masih dekat.”
“Kenapa jadi bawa nama Siska?”
“Karena aku tahu semua ini dari Siska, Ray. Bahkan dia cerita sama teman-temannya kalau kamu datang ke rumahnya saat kamu mengaku sama aku sedang pergi dengan Mama kamu.”
“Oke oke, aku salah. Aku memang salah menjadikan kamu taruhan, aku salah karena sebenarnya aku tidak mengantar Mama tapi pergi ke rumah Siska untuk ambil buku. Tapi kalau kamu menuduh aku selingkuh atau ada hubungan dengan dia, dengan tegas aku menolak tuduhan itu,” jelas Ray.
“Cukup! Aku sudah muak dan aku nggak mau ketemu kamu lagi. Tolong berusahalah menganggap kalau kita berdua tidak pernah ada hubungan. Dan jangan pernah coba-coba mendekat atau aku akan buat kamu menyesal!” Aluna meninggalkan Ray dengan air mata terus mengalir ke pipinya.
“Aku nggak akan pernah terima kita putus dengan cara seperti ini, Aluna!” teriak Ray.