3.Embun

1208 Kata
Embun keluar dari kamarnya setelah menyimpan uang yang diberikan oleh Miranda, sebenarnya ia juga masih memiliki uang mahar yang Bumi berikan kepadanya. Karena merasa segan untuk menolak, akhinya ia menerima saja uang pemberian itu. Ia berjalan mendekati dapur dan melihat Ratna, asisten rumah tangga Miranda, tengah melanjutkan cucian piringnya tadi. Embun mendekati wanita paruh baya itu, sehingga membuat Ratna menoleh menatap Embun. "Sini Buk, biar Embun saja!" Ratna tersenyum tipis tapi tidak menghentikan pekerjaannya. "Udah gak apa-apa, kamu bantu bersihin sayuran saja, ini juga udah mau selesai!" ucap Ratna memberitahu Embun. Ratna mencuci tangannya setelah menyelesaikan pekerjaannya lalu mendekati Embun. "Non Miranda ngomong apa?" bisik Ratna membuat Embun teringat sesuatu. Ia lupa kalau ia harus belanja dengan uang yang Miranda berikan. "Oh itu, Mbak Miranda kasih uang buat beli baju dan perlengkapan aku Buk, katanya suruh minta temenin Ibuk," jelas Embun membuat Ratna mengangguk mengerti. "Saya ndak bisa temenin kamu, Nduk. Nanti siapa yang bakalan siapin makan siang kalau ibuk pergi sama kamu, kalau kamu pergi dengan anak ibuk gimana? Mau, kan? Sebentar lagi juga dia bakalan ke sini." Embun tampak terdiam lalu mengangguk, siapa pun yang mengantar tidak masalah baginya. Selang beberapa menit terdengar seseorang mengucapkan salam masuk ke dapur melalui pintu belakang. Embun yang tengah membantu Ibu Ratna menyiapkan makan siang nanti menoleh, menatap siapa yang datang. Seorang anak muda bertubuh tinggi, berwajah manis, Embun menatapnya sekilas lalu menunduk melakukan pekerjaannya lagi. Pria itu mendekati Ratna lalu mencium tangan wanita paruh baya tersebut. Embun mengerti sekarang, ternyata anak Ibu Ratna adalah seorang laki- laki. "Embun, kenalin ini Aska, anak ibuk." Embun tersenyum mengusap tangannya ke baju yang ia kenakan lalu menyambut uluran tangan Aska untuk berkenalan dengannya. "Embun." "Aska." Senyum manis Aska menyambut uluran tangan Embun membuat Embun menunduk detik itu juga. Ia merasa malu karena baru kali ini berpegangan tangan dengan seorang laki- laki. Meskipun sudah menikah dengan Bumi, tetapi Bumi sama sekali tidak pernah menyentuhnya, bahkan berbicara dengannya saja bisa di hitung dengan jari. Apalagi sekarang Embun sudah tinggal di rumah keluarga Bumi, sehingga membuat intensitas pertemuan mereka sangat sedikit. Bumi sudah pasti menghabiskan waktu dengan istri dan anaknya. Sementara Embun, tetap di dapur bersama Ratna. Embun tak masalah, selagi itu nyaman untuknya. "Aska, kamu temani saja Embun mencari perlengkapannya. Dia baru datang dari kampung, gak punya banyak baju ganti. Jadi, kamu temani, ya, Nak. Kamu sudah sarapan?" tanya Ratna kepada putranya. Aska mengangguk sebagai jawaban atas ucapan sang ibu. "Sudah Buk, tapi kalau nanti aku kenak marah Mas Bumi gimana? Soalnya dia kemaren pesan halaman depan rumputnya sudah mulai tinggi jadi harus dipotong dan dirapikan lagi!" Aska menatap ibunya yang tampak berpikir dan menghela napasnya. Aska memang dekat dengan Bumi, bahkan Bumi menyuruh Aska melanjutkan kuliah, meskipun Aska kini sudah menginjak usia 23 tahun. Ia bekerja di rumah Bumi dengan ibunya sedari Aska remaja. Aska selalu membantu sang ibu hingga ia selesai sekolah menengah atas. Aska tidak melanjutkan kuliahnya dan memilih bekerja di rumah Bumi sebagai tukang kebun. Bumi merasa tak suka jika Aska tidak melanjutkan kuliah. Ia membujuk Aska untuk melanjutkan kuliah dan berjanji akan membiayai kuliah Aska hingga tamat. Karena memang terkendala masalah biaya, Aska akhirnya menyetujui permintaan Bumi untuk melanjutkan kuliah. "Kamu antar Embun cepat, baru selesai dari sana kamu beresin halaman depan, " ucap Ratna memberi solusi, Aska tampak menghela napas. "Gak bisa lah Buk. Sore Aska sudah harus ngampus, mana selesai?" Aska menarik kursi di dapur itu lalu duduk dan menyugar rambutnya. Embun memperhatikan kedua orang di hadapannya yang tampak bingung memikirkan dirinya. "Nanti aku bantu kalau selesai belanja, motongin rumput aku bisa, kok," jawab Embun dengan wajah polosnya membuat anak dan ibu itu menatap Embun. "Nah, iya, nanti kalau kamu sore harus balik ngampus, biar ibuk sama Embun yang selesaikan," jawab Ratna dengan wajah semringah karena menemukan solusinya. Aska mengangguk lalu menatap Embun yang juga menatapnya. "Ya sudah, ayo!" ajak Aska bergegas bangkit mengajak Embun yang ada di hadapannya. "Sebentar aku ganti baju dulu sama ambil uang." Aska mengangguk mengerti, Aska berkata kepada Ratna jika ia menunggu Embun di luar dengan motornya. "Buk, kenapa gak bilang kalau anak ibuk laki- laki?" Embun yang baru saja keluar dari kamarnya bertanya pada Ratna, wanita paruh baya itu tersenyum mendengar ucapan Embun. "Kenapa? Kamu malu, sudah sana jangan malu- malu. Aska sudah menunggu kamu di luar itu," jelas Ratna kepada Embun yang mengangguk cepat. Ia berjalan keluar melihat Aska sudah menunggu dengan sepeda motor didekatnya. "Bang Aska, ayo!" Aska yang mendengar itu langsung berbalik menatap Embun yang sudah siap dengan baju sederhananya, Aska menatapnya dari atas hingga bawah lalu tersenyum. "Ayo." Keduanya menghabiskan hampir tiga jam berbelanja apa saja. Embun membeli keperluan, dari baju, dalaman, make up, sabun dan juga sandal yang ditunjukkan oleh Aska untuk berjaga- jaga ketika Embun akan keluar rumah nanti. Belanjaan yang banyak membuat Aska cukup kesulitan membawanya saat menaiki sepeda motor. Aska dan Embun kembali saat sudah mendekati sore. Keduanya menjadi dekat dengan sikap ramah dan ceria Aska. Embun yang pendiam akhirnya mulai suka buka suara. Mereka memasuki rumah berpagar itu dengan wajah ceria. Meskipun lelah seharian, tetapi Aska cukup menikmati pergi berbelanja bersama Embun. "Embun!" suara itu membuat keduanya menoleh, menatap dari mana asal suara tersebut. Bumi menatap keduanya yang berdiri di pintu pagar, sementara Aska memasukkan sepeda motornya. Embun menunduk melihat tatapan tajam Bumi kepadanya. Bumi mendekati keduanya melihat apa yang mereka bawa. "Dari mana?" Aska melihat Embun menunduk tampak takut, sehingga ia menjawab pertanyaan Bumi. "Kami dari pasar belanja perlengkapan Embun, Mas." Bumi menatap datar Aska lalu menatap Embun kembali. "Masuk lah, aku ingin bicara!" Iaberjalan masuk ke rumah meninggalkan keduanya. "Terima kasih Bang, aku masuk dulu, ya." Embun mengambil barang bawaannya lalu berjalan cepat masuk ke rumah mengekori Bumi. Aska menatap Embun yang berjalan dengan terburu- buru. Sebenarnya siapa Embun? Mengapa tatapan mas Bumi tampak marah menatap kami? pikir Aska. "Di mana Miranda, Bik?" tanya Bumi kepada Ratna yang menyuguhkan kopi. Bumi duduk santai tanpa mengalihkan tatapannya dari gadget. "Non Miranda pergi ke rumah orang tuanya, Tuan," jawab Ratna sebelum pergi dari ruangan itu. Bumi mengangguk lalu menyuruh Ratna pergi. Embun berdiri di dekat Bumi membuat pria itu meliriknya sekilas. "Duduklah!" ucap Bumi tanpa mengalihkan tatapannya dari ponselnya. Selang beberapa saat, Bumi meletakkan ponselnya dan menyesap secangkir kopi dihadapannya. "Kamu tahu, kamu siapa?" Bumi menatap Embun yang menunduk di hadapannya dengan meremas ujung bajunya. Bumi menghela napas kasar,ia berpikir apakah ia terlihat seseram itu hingga Embun tampak takut setiap dekat dengannya. "Saya Embun, Tuan!" jawab Embun dengan nada pelan dan polosnya. Bumi menarik sudut bibirnya mendengar ucapan Embun. "Embun." Embun mengangkat wajahnya karena merasa di panggil. Ia menatap Bumi yang tengah menatapnya. Tatapan Bumi mengunci pandangan Embun, gadis itu tak berani mengalihkan tatapannya dari pria yang sudah menikahinya. "Jangan panggil aku Tuan, aku suamimu dan lagi, jaga sikapmu dengan seorang pria. Kamu itu istriku. Kamu tidak baik pergi berdua dengan Aska begitu saja. Jika kamu mau pergi dan keluar rumah, ijin dengan aku lebih dulu. Kamu mengerti?" Embun mengangguk kaku, ia tidak tahu jika Bumi juga akan marah ketika ia pergi tanpa ijinnya dan pergi dengan pria lain. Embun kira Bumi tak menganggapnya istri. Namun nyatanya, Bumi seperti seorang pria yang tengah cemburu. Bisakah itu Embun simpulkan sebagai rasa cemburu? Mengapa Embun merasakan hatinya menghangat melihat sikap Bumi kepadanya?

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN