Miranda membawanya ke arah belakang, tepatnya di samping dapur di dekat gudang ada kamar yang sudah lama tidak terpakai. Miranda memberikan kamar itu untuk Embun. Bumi sudah memasrahkan semuanya kepada Miranda. Jadi, jangan salahkan dirinya jika ia akan membuat Embun sebagai pelayan sukarela.
Miranda berhenti di sebuah ruangan yang sudah jelas lama tidak di tempati. "Ini, di dalamnya masih ada lemari bekas, bisa kamu gunakan untuk menyimpan barang dan itu tempat tidurnya bisa kamu gunakan. Tapi sebelum itu, kamu bersihin dulu. Ini kunci kamarnya."
Embun mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Embun memandang seisi ruangan itu. Memang terlihat banyak debu dan kotoran. Ia meletakkan tas yang ia bawa di atas meja kecil. Embun terduduk di ranjang yang terlihat sudah usang. Ia merindukan ayahnya. Ia menunduk menangis, mengapa ia malah berakhir di rumah orang asing. Dan orang asing itu adalah suaminya. Air mata Embun luruh begitu saja, tempat ini sangat layak baginya, mengingat kamar Embun di kampung hanya berdindingkan kayu. Sementara di sini, meskipun kotor, ini cukup layak untuknya. Seseorang mendekatinya sambil membawa sapu dan pel serta ember membuat Embun terkejut dan mengusap air matanya cepat. Embun langsung berdiri tersenyum ke arah wanita paruh baya di hadapannya.
"Maaf Mbak, tadi saya keluar sebentar. Nona Miranda tadi bilang, ada yang mau di beresin. Sebentar saya beresin dulu ya Mbak, Mbak keluar saja dulu!" Embun menggeleng cepat ke arah wanita yang sudah terlihat tua itu.
"Gak usah, Buk, aku saja. Lagian ini bisa aku kerjakan sendiri." Wanita tua itu tampak menilai Embun lalu tersenyum.
"Ya udah, gini aja. Kamu yang pel lantainya, saya yang sapu. Gimana?" Embun tersenyum lebar, lalu mengangguk antusias.
"Iya, Buk. Ibuk ini siapa, ya?" Wanita yang hendak melakukan pekerjaannya itu berhenti dan memandang Embun.
"Saya Ratna Mbak, asisten rumah tangga di sini." Embun mengangguk mengerti.
"Mbak ini siapa namanya?"
"Embun, Buk!" jawab Embun dengan wajah tersenyum.
Cantik, Embun memang cantik, wajahnya cantik natural. Alisnya tebal, hidungnya kecil, bibirnya kecil dan penuh, berwarna merah muda. Embun memiliki kulit putih bersih. Rambutnya hitam panjang dan selalu mengikatnya. Badannya pun tidak terlalu kurus dan tidak gemuk. Embun memiliki ginsul yang membuatnya saat tersenyum makin cantik.
"Nak Embun usia berapa? Ibuk punya anak, dia bekerja di sini juga, tapi anak Ibuk masih awal masuk kuliah. Dia tidak tinggal disini. Dia tinggal di kontrakan, tidak jauh dari rumah ini!"
"Saya 22, Buk."
"Wahh, masih muda, toh.Ya udah, ayo, kita beresin. Ibuk seneng loh ada temennya, kata Non Miranda kamu bakalan kerja jagain orang tuanya Den Bumi, ya?" Ibu Ratna bertanya sambil bekerja membereskan barang-barang yang ada di ruangan itu.
Embun terdiam beberapa saat, ia berpikir, Mengapa Miranda mengatakan itu? Apa aku akan di pekerjakan dirumah suaminya sendiri?
"Saya gak tahu Buk!" jawab Embun lirih. Ratna menghentikan pekerjaannya lalu memandang Embun.
"Loh, kok gak tahu? Nak Embun ini sebenernya mau kerja apa? Kok bisa di sini?" tanya Ratih lagi membuat Embun bingung, apa Miranda sengaja menyembunyikan statusnya.
Ia menghela napas sambil memandang Ratna yang masih setia menatapnya. "Saya kesini bersama Tuan Bumi, dari kampung," ucap Embun tanpa memperjelas keadaannya.
Ibu Ratih tidak melanjutkan pertanyaannya, ia melanjutkan pekerjaannya kembali.
Setelah satu jam membersihkan ruangan itu, akhirnya tempat itu layak untuk Embun tempati. Ia meregangkan ototnya saat selesai menyusun barang bawaan yang tidak terlalu banyak. Embun baru saja selesai mandi dan ingin rebahan di kasur. Namun, pintu kamarnya di ketuk, membuat gadis itu berjalan membuka pintu tersebut. Wajah tersenyum Bu Ratna menyambut tatapan Embun.
"Nak Embun disuruh keluar makan malam," ucap Ratna membuat Embun sedikit terkejut. Embun mengangguk kaku lalu tersenyum.
"Oh, iya Buk, sebentar lagi aku ke sana."
Ibu Ratna mengangguk lalu menjauhi kamar Embun. Wanita paruh baya itu sedikit janggal, mengapa pekerja malah disuruh makan malam bersama di meja makan? Bukankah Embun itu pekerja, sama seperti dirinya? Wanita paruh baya tidak ingin ambil pusing, ia melanjutkan langkahnya melayani majikannya yang sedang menikmati makan malamnya.
Embun bergabung di meja makan itu. Suasana menjadi diam seketika. Meja makan hanya dihuni oleh Bumi, Miranda dan satu anak kecil, putri Bumi. Embun mengangguk menghormati Bumi dan Miranda. Bumi hanya melirik sekilas Embun yang duduk di dekat Miranda. Miranda tampak sedang menikmati makanannya begitu juga putrinya. Wanita itu tidak menyapa maupun melihat ke arah Embun. Gadis itu canggung karena suasana yang tampak mencekam.
"Papa, Mbak ini siapa?" anak kecil berusia 8 tahun itu bernama Seina. Putri Bumi yang baru sekolah di sekolah dasar. Bumi terdiam sesaat mendengar pertanyaan putrinya.
"Namanya Mbak Embun, Sayang. Dia yang mau jagain Kakek nanti."
Gadis kecil itu tersenyum kearah Embun, begitu juga sebaliknya.
Putri yang cantik, batin Embun.
Mereka makan dalam diam, sesekali Bumi berbicara dengan Miranda, tetapi tidak dengan Embun. Embun merasa tidak nyaman makan di sana. Mungkin, bersama Ibu Ratna lebih nyaman daripada di tempatnya saat ini.
Pagi hari Bumi sudah siap dengan setelan jasnya. Ia menggunakan jam tangan, lalu mengambil tas laptop dan bersiap turun ke bawah. Miranda masuk ke kamar mereka, membuat Bumi tersenyum.
"Sudah siap, Mas?" tanya Miranda saat melihat suaminya sudah hendak keluar.
"Sudah. Seina sudah selesai?" Miranda mengangguk sambil merapikan dasi suaminya.
"Sudah, Mas, ayo!" Miranda menggandeng lengan sang suami mengajaknya keluar bersama.
"Oh iya, Mas lupa. Ini berikan kepada Embun!" Bumi mengeluarkan amplop cukup tebal dari tasnya ke arah Miranda. Miranda menerima dengan dahi berkerut dalam.
"Apa ini?" tanya Miranda bingung sambil mengintip isinya.
"Itu jatah bulanan untuk Embun, sepertinya segitu cukup, Mas sudah memikirkannya."
Miranda cukup terkejut melihat isinya, dua puluh juta. "Mas, ini kebanyakan. Untuk apa uang sebanyak ini sama dia, paling juga dia gak ke mana-mana, Mas!" Miranda melipat lengannya di d**a sambil menatap suaminya marah.
"Mas sudah memikirkannya sayang, ini gak ada seperempat dari uang bulanan kamu. Jadi, menurut Mas, ini sudah sangat cocok. Kamu suruh saja dia belanja perlengkapandan baju baru. Lihatlah, dia sangat merusak pemandangan dengan baju lusuhnya itu. Ya sudah, Mas pergi dulu ya, takutnya Seina terlambat nanti!" Bumi mencium kening istrinya lalu berjalan lebih dulu keluar kamar. Miranda memandang kepergian suaminya.
"Enak banget. Gak kerja, cuma numpang hidup dapet jatah bulanan dua puluh juta. Bisa besar kepala, tuh, gadis kampung!" Miranda berjalan menuju lemarinya, mengambil uang dari dalam amplop itu dan menyisakan 2 juta untuk Embun.
Embun sedang membantu ibu Ratih mencuci piring saat Miranda memanggilnya. Gadis itu langsung mencuci tangannya, lalu menemui Miranda yang tengah bersantai duduk di halaman samping kolam renang.
"Mbak manggil saya?" tanya Embun saat mendekati Miranda.
Miranda melirik Embun yang terlihat sangat kampungan. Embun menggunakan rok sepanjang kaki dan menggunakan kaos berlengan pendek dengan warna yang sudah pudar.
"Nih, uang buat kamu, jatah bulanan dari suami saya. Beli perlengkapan dan baju baru, jangan buat mata saya sakit dengan tampilan kamu yang kampungan!" Embun menunduk meraih amplop yang Miranda berikan dengan tangan ragu.
"Terima kasih, Mbak!" jawab Embun dengan menunduk, Miranda mengibaskan tangannya menandakan Embun harus pergi.
"Oh iya, satu lagi." Embun menghentikan langkahnya mendengar suara Miranda. "Kamu urus ayah Mas Bumi, tanyakan semuanya pada Bik Ratna, dia akan memberitahu kamu semuanya." Embun mengangguk, lalu beranjak pergi dari sana.
"Embun!" panggil Miranda kembali. Langkah Embun kembali terhenti, menghadap ke Miranda.
"Gunakan uang itu untuk membeli baju baru dan perlengkapanmu, ajak Bik Ratna pergi, jika aku masih melihatmu menggunakan baju jelek itu, aku akan membakar semua bajumu. Kamu mengerti?" Embun mengangguk kaku. "Sudah sana pergi!"
Embun merasa hatinya sesak. Ia tak mengerti, mengapa baju yang ia kenakan membuat Miranda dan Bumi malu. Ia melihat bajunya di depan cermin kamarnya, toh semua terlihat biasa saja. Embun terduduk merasakan bulir air mata jatuh membasahi pipinya.
"Pak, Embun rindu." lirihnya dalam tangis pilu.