Laki-laki itu sering menggunakan masker wajah, bahkan jauh sebelum pandemi virus Covid-19 menyerang Indonesia. Ia memang kerap keluyuran di perkampungan ini, biasanya mengamati orang-orang sekitar entah apa yang ia pikirkan. Pekerjaannya pun tidak jelas.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan itu bertemu dengan Kakek Sugiono, melihat Kakek sering mengeluh dagangannya sering tidak laku dan kebingungan mencari biaya untuk kebutuhan sehari-hari akhirnya laki-laki bermasker itu menawari Kakek bisnis jual beli burung—menurut ceritanya, bisnis jual beli burung sangat menjanjikan. Kakek yang kebetulan memang senang berbisnis sejak dulu tertarik untuk ikut.
“Kalau mau, besok kita temui orang yang akan kita jual burung-burungnya. Kita bisa mendapatkan komisi lumayan kalau kita berhasil menjual dengan harga tinggi,” terang laki-laki bermasker.
Kakek menyetujui. Sepakatlah keduanya di hari esok menemui juragan burung. Kakek sudah membayangkan bisa menjual burung-burung itu, mendapatkan komisi dan untung yang tidak sedikit. Untuk terus berjualan sosis rasanya ia malas-malasan.
Laki-laki bermasker itu mengaku bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Kakek pernah diajak ke kontrakannya, dan beberapa kali bertemu di suatu tempat menceritak bisnis yang akan mereka geluti. Si laki-laki bermasker yang mengaku bernama Hipni itu mengatakan motornya sedang rusak, jadi di hari yang dijanjikan si Kakek disuruh untuk meminjam motor orang yang dikenalnya sebentar, katakanlah menyewa motor barang sehari. Lagi lagi Kakek Sugiono menyetujui, demi bisnis yang menguntungkan itu.
Motor seorang pedagang ayam bakar akhirnya berhasil Kakek pinjam hari itu. Ia berjanji akan mengembalikannya sore hari sepulang ia dari tempat juragan burung. Tanpa ada perasaan curiga, penjual ayam bakar yang memang sudah kenal baik dengan kakek begitu saja meminjamkan motornya. Kemudian, pergilah Kakek Sugiono bersama Hipni menggunakan motor tersebut.
Di tengah perjalanan, Hipni menghentikan motor di depan sebuah warung makan, warteg.
“Sugi, kita makan dulu aja, ya. Biar nanti sampai di sana kita nggak sibuk cari makan.” Hipni mengajak Kakek Sugiono masuk warteg, dan meminta si Kakek memesan makan untuknya sendiri.
“Kamu nggak pesan?” tanya Kakek, sepiring nasi sudah ada di hadapannya.
Hipni mengatakan ia akan ikut makan, tapi sebelumnya ia pamit ingin menemui temannya dulu yang tinggal tak jauh dari warteg tersebut, alasannya ingin menanyakan alamat juragan burung, sebab ia agak-agak lupa. Sedangkan temannya tidak memiliki alat komunikasi.
“Makannya udah saya bayarin ya, Gi,” pesan Hipni ketika ia akan pergi, tidak hanya itu, ia memberikan sebungkus rokok kepada Kakek.
Kakek Sugiono merasa senang karena sudah ditraktir makan Hipni, ia makan dengan lahap, kebetulan sejak pagi ia belum sarapan. Ditambah sebungkus rokok yang menggodanya untuk dihisap setelah makan. Sedangkan Hipni sudah pergi ke rumah temannya meninggalkan si Kakek sendirian.
Sudah satu jam lebih Hipni belum kembali, Kakek nunggunya dengan sabar sambil mengepulkan asap rokok dengan nikmat. Siapa yang tidak senang, ditraktir makan sekaligus dikasih rokok gratis? Kakek Sugiono merasa Hipni adalah teman yang sangat baik. Belum apa-apa, laki-laki itu sudah memberinya kesenangan dengan cara membuat perutnya kenyang.
Kakek mencoba menghubungi Hipni, sayangnya ponsel laki-laki itu mendadak tidak aktif. Kakek mengerutkan dahi, katanya hanya sebentar, nyatanya sudah berjam-jam Hipni belum juga muncul batang hidungnya. Setelah berpikir panjang, dan direnungkannya lagi, barulah ia sadar kalau ia sudah ditipu.
Hipni melarikan motor penjual ayam bakar yang ia pinjam!
“kurang ajar!” maki Kakek kesal, ia mulai emosi memikirkan Hipni. Kalau benar motor itu dilarikan, harus bicara apa ia pada penjual ayam bakar nanti? Motornya hilang, dilarikan, atau apa? Kakek memaki dirinya sendiri, ia merasa jadi orang paling bodoh sedunia.
Benar saja, hingga sore Hipni masih tidak ada kabar. Di rumah, Kakek menceritakan keapesannya pada Nenek Laksmi, lalu hingga Sri pulang dengan kondisi lelah, meledaklah gadis itu mendengar kebodohan orantuanya.
“Sudah gue bilang berapa kali, berhentilah bisnis-bisnis nggak jelas itu! Dari dulu nggak pernah berubah, pikirannya ingin untung tapi kenyataannya selalu buntung. Sekarang apa? Lo harus ganti motor orang, lo urus tuh! Gue udah capek, dikasih modal buat jualan amalah males-malesan. Maksud gueee ... lo jualan aja yang bener, bukannya modal jualan lo jadiin modal bisnis. Payah banget!” Begitulah Sri meluapkan emosinya pada Kakek Sugiono.
Aku yang mendengar cerita itu dari Nenek Laksmi ikut merasa kasihan pada Kakek Sugiono. Sekarang, kulihat si Kakek sibuk mondar-mandir dengan ekspresi serius di wajahnya mengurus perihal motor hilang. Penjual mie ayam meminta ganti rugi, jika motornya dalam beberapa minggu ke depan tidak berhasil ditemukan.
“Trus gimana, Nek. Sudah lapor polisi kah?” tanyaku mengingatkan, siapa tahu proses pencarian akan lebih mudah dengan bantuan polisi.
“Sudah, tapi belum diproses. Ribet juga ternyata ngurusnya. Ngurus begituan juga perlu uang. Uang dari mana?” Nenek tertawa getir. Melihat matanya, wanita tua yang duduk tak jauh dariku itu terlihat begitu banyak menyimpan luka.
Sekarang aku melihat Sri keluar rumah. Baru kali ini aku melihat gadis itu dengan jelas. Ia berparas cantik, sangat mirip dengan ibunya. Kulitnya putih, dan memiliki postur tinggi berisi. Hari ini gadis itu tidak berangkat bekerja karena weekend.
“Mau ke mana?” tanya Nenek pada putrinya.
“Gue mau nyamperin rumahnya si Hipni itu, penasaran gue, lari ke mana dia!” lantang Sri mengatakannya, ia masih terlihat kesal. “Mau ikut?” tanyanya.
“Ikut, deh,” jawab Nenek, sekilas ia melirik ke arahku, “Mbak Feli, saya tinggal dulu. Nemenin si Kakak sebentar.”
Aku menganggukkan kepala dan tersenyum tipis. Setelah Nenek susah payang naik motor dan duduk di belakang Sri, motor itu meraung keras melaju kencang.
“Hati-hati!” Aku berteriak, ngeri melihat Sri melajukan motornya seperti orang kesurupan.
***
Aku kaget Mas Fery sudah pulang sore ini, lebih cepat dari perkiraan. “Kangen kamu, Yank. Ternyata si Dilan bener, rindu itu berat. Hehe,” gombalnya sambil terkekeh. Dikecupnya keningku lembut.
Aku membantu Mas Fery membawakan barang-barangnya di bagasi mobil, Mas fery membawa koper pakaian dan tas kerja, dan aku sibuk mengangkut plastik oleh-oleh.
“Ini isinya apa, Mas?” Aku meraba luar plastik.
“Jajanan khas Yogya, nanti kamu bagi tetangga sebelah, ya.”
“Siap, Bos.”
Aku membongkar oleh-oleh dari Mas Fery. Ada tahu s**u bakso, aku tahu ini tuh makanan favorit Mas Fery kalau di Yogya. Dan dia juga tidak melupakan makanan kesukaanku, keripik belalang. Hemm, aroma jajanan ini sangat khas dan rasanya gurih dan renyah. Aku menelan ludah sudah tak sabar ingin memakannya. Banyak lagi jajanan lainnya, seperti peyek, bakpia, bahkan Mas Fery membeli sekotak gudeg kering.
“Banyak banget belinya, Mas.” Aku sibuk membuka bungkus keripik belalang. Mas Fery tidak menjawab pertanyaanku, dia buru-buru naik ke atas, mungkin ia ingin mandi.
***
“Nek,” panggilku, sembari mengetuk pintu rumah Nenek Laksmi. Tirai jendela rumahnya teoat di samping pintu sedikit tersingkat. Tak sengaja aku melihat Sri duduk di sofa, mengenakan tengtop putih dan hotpants.
Mendengar aku mengetuk pintu, gadis itu segera beranjak di sofa dan membukakanku pintu.
“Maaf, Mbak Sri, ini ada sedikit oleh-oleh dari Yogya.” Aku menyodorkan plastik putih kepadanya. Senyum Sri mengembang, ia mengucapa terima kasih dengan nada ringan.
“Nenek lagi apa?” tanyaku basa-basi.
“Lagi di kamar mandi, Mbak, wudhu mungkin.” Wajahnya menoleh sebentar ke dalam.
“Oh.” Aku bingung mau menjawab apa, “Yasudah, semoga suka oleh-olehnya, ya. Saya pamit dulu,” akhirnya aku pulang.
“Iya, Mbak, pasti suka. Terima kasih, ya, Mbak Feli.”
Sri, dia terlihat ramah, baik, dan sepertinya ia gadis periang. Rasanya tak mungkin ia bicara sekasar itu kepada orangtuanya, setiap kali mendengar teriakannya, ia seperti ingin meluapkan semua rasa sakit, dan himpitan-himpitan di rongga dadanya. Ada apa dengan Sri sebenarnya?
Entahlah, aku sendiri meyakini bahwa seseorang tidak mungkin bertindak jahat begitu saja. Seperti halnya penjahat, terkadang, mereka melakukan karena adanya kesempatan, keterpaksaan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang berpikir ingin menjadi orang jahat. Tapi kondisi dan situasi lah yang mendorong mereka berpikir menjadi jahat.