6. Suara Ribut-ribut

1059 Kata
Udara di sini cukup sejuk dibanding di rumah Mama di Jakarta. Mungkin karena di sini masih asri dan banyak pepohonan rindang. Pohon-pohon petai Cina tumbuh subur di dekat pagar, kadang kalau anginnya kencang, daun-daunnya yang kecil atau buahnya yang menghintam jatuh memenuhi di halaman. Aku harus sering membersihkannya dengan menyapu setiap pagi dan sore hari. Seperti sore ini, setelah Mama-Papa pulang ke rumah mereka di antar oleh Mas Fery, aku sibuk menyapu halaman, tidak Cuma halaman rumahku saja, halaman rumah kosong ikut aku sapu. Nggak enak liatnya ‘kan kalau kotor penuh sampah daun kering. Awalnya, aku dan Mas Fery ingin Papa-Mama menginap di sini, besok pagi baru diantar pulang, tapi Mama takut katanya, mungkin karena tadi siang mendengar cerita si Nenek. Mas Fery bahkan sudah membujuk berkali-kali, kalau ada hantu biar Mas Fery tangkap, katanya. Trus hantunya diikat di pohon pete. Konyol memang! Tapi Mama bersikeras ingin pulang. Selesai makan siang—makan bekal makan dan camilan yang sudah Mama siapkan tadi pagi—Mama sempat istirahat sebentar di kamar atas, adem kata Mama, jadi dia mengantuk. Bangun tidur, Mama bersiap ingin pulang. Terpaksa Papa dan Mas Fery mengikuti kemauannya. “Kapan-kapanlah Mama nginap, Mama ada kerjaan di rumah.” Mama beralasan. Papa sendiri ikut saja, sesuai perintah Mama. Begitulah, keputusan ratu nggak boleh dibantah. “Felicia, kamu jaga diri baik-baik ya, Sayang. Jangan lupa kabarin Mama atau Papa kalau ada apa-apa,” pesan Mama sebelum ia masuk mobil, diciumnya pipiku lembut dan aku mengecup punggung tangan Mama. “Feli, jaga Fery untuk Mama, ya, Nak,” bisik Mama, matanya berkaca-kaca lalu melambaikan tangan setelah masuk ke mobil. “Love you, Mama ... Papa.” Mobil Mas Fery perlahan meninggalkan pekarangan rumah, sedangkan aku berdiri di posisi sambil melambaikan tangan sampai kendaraan itu menghilang dari pandangan. Kuhembuskan napas panjang, sekarang aku sendirian, Mas Fery tak tahu nanti pulang jam berapa. “Anginnya kenceng ya, Mbak,” seru Nenek mengejutkanku. Kulihat ia tertatih berjalan menuju tempat duduknya tadi siang,semen  pembatas rumah setinggi lutut. “Iya, Nek. Lumayan dingin.” Aku menjawab, masih sambil menyapu. Sebentar lagi selesai, tinggal membuang sampah daun kering di luar pagar. Setelah beres-beres aku duduk di teras rumah sambil mengelap keringat. “Anaknya pulang kerja jam berapa, Nek?” tanyaku membuka obrolan. “Biasa, sih, sebelum Magrib sudah sampai rumah, telat-telatnya Magrib atau Isya’.” Aku ber’oh’ saja untuk merespon ucapan Nenek Laksmi, berarti hampir setiap harinya Nenek sendirian di rumah. Sri pagi-pagi berangkat kerja, sedangkan Kakek Sugiono berangkat jualan. Baru beberapa menit kami mengobrol, Kakek Sugiono pulang sambil membawa alat panggang dan gas. “Eh, sudah habis?” tanya Nenek sesampainya Kakek Sugiono di dekatnya. Baru kali ini aku melihat Kakek Sugiono secara dekat. Ia sama seperti Nenek, ramah dan mudah tertawa. “Alhamdulillah, lah. Hari ini habis.” “Syukurlaah,” timpal Nenek senang. Aku ikut senang mendengarnya. Tuhan memberinya rezeki hari ini. Masa pandemi seperti saat ini, banyak rakyat kecil menjerit karena bingung antara bekerja mencari makan, atau di rumah saja demi kesehatan. Diam di rumah kelaparan, kerja di luar resiko terpapar. “Baru pindah hari ini, ya?” tanya Kakek menyapaku, dan aku segera menjawab sekenanya. “Suamimu, mana?” tanya Kakek lagi. “Dia antar orangtuanya pulang ke Jakarta, Kek. Nanti pulang lagi ke sini.” Aku berusaha bersikap santai dan ramah. Saat bicara dengan Kakek Sugiono, kuperhatikan ia terus menatapku lekat, tatapan matanya membuatku sedikit tidak nyaman. Karena dirasa hari sudah sangat sore, aku pamit masuk ke rumah.    *** “Mas, pulang jam berapa?” tanyaku pada Mas Fery melalu chatting WA. Kebetulan Mas Fery sedang online. “Bentar lagi, Yank. Baru juga nyampe ini,” balasnya cepat, “ngopi dulu lah bentar.” Aku hanya mengirimkan stickers jempol. Lalu menutup ponsel dan beranjak ke kamar mandi. Rasanya segar membayangkan tubuhku diguyur air di bawah shower. Air di sini sangat dingin seperti air di pegunungan, sudah lama sensasi dingin seperti ini tidak kurasakan lagi semenjak tinggal di Jakarta. Dulu, semasa kecil, aku terbiasa mandi di sungai yang dingin, dan tinggal di perbukitan yang masih minim pemukiman. “Segeerrr!” Aku berseru senang. Tak sadar aku sudah lama mendekam di kamar mandi, mengguyur badan sambil nyanyi-nyanyi. Ya ... walaupun suaraku fals, tapi menyanyi di kamar mandi rasanya menyenangkan sekali. Aku tak ingin lebih lama lagi, sudah hampir tiga puluh menit aku sibuk di kamar mandi. Ya, selama itu. Selesai mandi, aku kembali membuka ponsel untuk mengecek pesan dari Mas Fery. Tidak ada pesan, ponselku sepi. Malam ini, malam pertama aku dan Mas Fery menginap di rumah baru. Rasanya senang sekaligus takut. Kusibak tirai jendela, di luar sana tak seseram yang diceritakan si Nenek, mungkin karena Mas Fery banyak memasang lampu di teras, dan di halaman. Suara azan di Masjid kompleks berkumandang, bersamaan dengan suara motor bersuara keras datang dari arah depan dan berhenti di teras rumah Kakek-Nenek. Mungkinkah itu Sri? Anak gadis Kakek dan Nenek? Aku penasaran seperti apa anak gadisnya itu. Sekilas, aku hanya melihat postur tubuhnya yang tinggi berisi. Kututup lagi tirai jendela. Kekepoan ini rupanya nggak sembuh-sembuh! Akhirnya aku memilih merebahkan diri di sofa. Perutku terasa lapar. “Mas, ntar pulang nitip martabak wijen cokelat, ya. Laper. Nih.” Aku kembali mengirim pesan ke Mas Fery, berharap dia sempat membuka ponsel dan membaca pesanku. Aku pikir, tidur sebentar lebih baik daripada lelah menunggu kepulangan Mas Fery. Baru saja memejamkan mata, kudengar suara teriakan sangat keras. Suara orang marah berkata kasar penuh cacian. Aku mencari sumber suara, darimana datangnya keributan itu? Pelan-pelan aku mendekati tembok samping yang menyatukan rumah kami dengan rumah sebelah. Pertanyaanku terjawab sudah, keributan itu ternyata berasal dari rumah Kakek dan Nenek. Aku mengurut d**a. Itu suara Sri, dia terdengar sangat marah dan meracau. Sendiri, tak kudengar suara Kakek-Nnenek menimpali. Ada apa dengan gadis itu? Jujur saja, aku merasa tak nyaman mendengarnya, jika benar Sri marah pada kedua orangtuanya, sungguh tega sekali ia. Makian itu terus terdengar. Cukup lama. “Biarin gua dibilang anak durhaka juga, biarin!” teriaknya keras-keras. Aku menarik napas dalam. Kacau! Kalau begini terus, bisa rusak mentalku bertetangga dengan tipe manusia harimau seperti Sri. Kali ini kudengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup dengan cara dibanting. Getarannya sampai ke sini. Aku bergidik, siapa yang pergi dari rumah? Ingin kuintip tirai jendela tapi takut. Dalam hati, aku berdoa semoga Mas Fery lekas kembali. God ... help me!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN