Bab 1. Ternyata Duda

1296 Kata
“Papa ….” Panggilan dari bocah perempuan itu seketika membuat mereka yang tengah duduk menikmati sore di pantai pun menoleh. Senyum bahagia di wajah mereka langsung lenyap, berganti kejut bukan kepalang. Tadinya mereka pikir bocah itu salah panggil, tapi ternyata tidak. Kaki kecilnya berlarian menghambur ke arah Ezra yang berdiri mematung dengan wajah kaku. “Papa!” panggil bocah itu girang seperti anak yang telah lama tidak bertemu papanya. Dia terus berlari menuju bibir pantai. Ezra hanya diam menatap bocah cantik yang begitu mendekat langsung menghempas lepas genggaman tangannya dengan Hera. Hera? Seolah baru ingat telah melupakan sesuatu yang penting, Ezra pun menoleh. Dadanya mencelos mendapati gadis kesayangan yang baru saja hendak dilamarnya itu terlihat syok. “Ra, dia bukan ….” “Papa! Lala kangen, Pa!” seru bocah kecil itu memeluk kaki Ezra erat. “Om Ezra sudah punya anak?” geram Hera dengan mata menguar marah. Merasa dibohongi karena selama ini Ezra tidak pernah mengatakan apapun. “Aku bisa jelasin, Ra! Tunggu aku selesaikan masalah ini dulu!” Ezra menyambar tangan Hera yang berbalik hendak pergi. Sedikit ribet karena kakinya juga dipeluk bocah itu. “Lepas!” desis Hera menepis kasar cekalan tangan Ezra, tapi sia-sia saja. “Nggak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan pikiran ngawurmu itu!” tegas Ezra kembali menarik Hera ke sampingnya. “Papa ….” Bocah itu kembali merengek memanggil papa, tapi seperti tadi Ezra tetap bungkam tidak menggubrisnya. Ini bukan perkara tega atau tidak tega, tapi sebuah kesalahan yang harus diluruskan. Mata Ezra menatap nyalang sosok perempuan bersama pria paruh baya yang sedang mendekat. Apa yang dia berusaha tutupi selama ini, sialnya malah menyeruak datang di saat yang tidak tepat. Dia sedang menghadiri pernikahan sahabatnya di resort Lombok. Sengaja Ezra memilih momen dimana ada teman-temannya dan keluarga besar Hera, dia ingin melamarnya di pantai dengan suasana romantis. Sialnya malah semua kacau, karena kehadiran orang-orang tidak tahu diri ini. “Ada apa ini, Zra?” tanya papa Hera yang mendekat bersama istrinya. Wajah mereka terlihat tidak suka dengan suasana tidak mengenakkan ini. “Maaf, Om, ada sedikit masalah. Tapi, akan segera saya bereskan,” terangnya. “Ma! Papa jahat. Dia nggak sayang Lala!” Sambil menangis bocah itu pun berlari mengadu ke mamanya yang kini berdiri berhadapan dengan Ezra. “Papa Lala nggak jahat kok! Cuma masih kaget ketemu kita disini. Kan sudah Mama bilang, kita kesini mau kasih kejutan buat papa,” bujuk perempuan itu menunduk menenangkan anaknya yang sesenggukan setelah dicuekin Ezra. Tangan Hera mengepal gemetar. Masih menatap nanar perempuan dan bocah kecil di hadapan mereka. Hatinya sakit bukan main menyadari sudah terjebak dalam hubungan yang salah. Dia kembali berusaha berontak, tapi tetap saja tidak bisa lepas dari cekalan tangan si om. "Lepas!" geramnya makin menjadi. "Tidak! Kamu akan tetap di sini sampai masalahnya jelas dan tuntas, biar tidak salah paham!" tegas Ezra mengeratkan cekalan tangannya. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan bagaimana tanggapan para sahabatnya di belakang sana. Terlalu marah, karena dua orang tidak tahu malu ini masih punya muka muncul di hadapannya. Terlebih meracuni otak bocah kecil yang tidak tahu apa-apa, dengan memberi pemahaman kalau dia lah papanya. “Mau apa kalian kesini?” lontar Ezra tanpa basa basi. “Apa seperti itu caramu memperlakukan anak istrimu setelah bertahun-tahun menghilang?!” bentak pria paruh baya yang datang bersama perempuan dan bocah kecil itu. Mereka semua seketika melongo. Sekian lama berteman, Ezra yang orangnya sangat tertutup tidak pernah bercerita apapun tentang kehidupan pribadinya maupun keluarga. Jadi wajar mereka cengo tahu sahabatnya ternyata sudah punya anak istri. “Mantan istri! Jangan pura-pura pikun! Kami sudah sejak lama bercerai!” sahut Ezra mengoreksi perkataan pria tua itu, sebelum makin membuat kacau semua. “Kamu menceraikan Hanum secara sepihak, bahkan juga tidak peduli dengan nasib Lala. Aku pikir kamu akan menyesal setelah pergi, lalu balik lagi ke anak istrimu. Ternyata malah sinting kepincut ke bocah ingusan! Keterlaluan kamu, Ezra!” “Keterlaluan?!” ulang Ezra terkekeh sinis melempar pandang ke perempuan yang ternyata adalah mantan istrinya. “Keterlaluan itu seperti kalian yang tidak tahu malu, masih berani datang mencariku!” geramnya. “Lala terus menanyakan papanya.” Dengan suara lirih Hanum menatap memohon, tapi, Ezra malah menertawakannya. “Papa yang mana?” cibirnya. “Zra ….” “Cukup! Hentikan drama memuakkan ini!” bentak Ezra hilang kesabaran. “Ezra, ada tamu kenapa tidak dipersilahkan mampir?” Herman Wijaya, kakek Hera yang sudah menyimak sejak tadi akhirnya datang menengahi. Dia tidak ingin cucu kesayangannya dipermalukan seperti ini. “Pantas saja lupa daratan, karena yang kamu kejar cucu konglomerat!” cibir mantan mertua Ezra begitu mengenali siapa kakek Hera. “Tidak perlu koar-koar menjatuhkan Ezra di depan kami, karena sejak awal saya sudah tahu latar belakangnya. Kalau tidak mana mungkin membiarkan mereka dekat. Bicara baik-baik atau silahkan pergi!” tegas Herman tak urung membuat nyali mereka ciut. Hanum menatap Ezra yang masih menggandeng erat gadis belia di sampingnya itu. Tampak terluka mendapati mantan suami yang dia harap suatu saat akan kembali, justru telah memiliki tambatan hati. Lucunya Ezra menjatuhkan pilihan ke bocah ingusan. Iya, memangnya siapa yang tidak akan tertarik ke daun muda. Apalagi pewaris dari keluarga kaya. Salah, dia telah membuang waktu percuma dengan berharap mereka bisa bertemu dan kembali rujuk. “Antar mereka ke vila, Zra! Kalian selesaikan masalah ini sampai tuntas. Jangan sampai jadi kerikil yang akan melukai cucuku!” titah Herman berbalik menghampiri istrinya dan mengajaknya pulang. Ezra menghela nafas kasar. Cekalan tangannya meremas pelan. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi juga. Masa lalunya kini jadi batu sandungan hubungannya dengan Hera. “Hera biar sama aku dulu. Kamu bawa mereka ke vila!” ucap mama Hera meraih tangan anaknya. “Tapi, Tante ….” “Aku tidak akan mempertaruhkan kebahagiaan anakku, ke pria yang belum selesai dengan masa lalunya. Selesaikan urusanmu dengan mereka, atau jauhi anakku!” tegas wanita yang tangannya dipenuhi tato itu dengan tatapan nanar. Cekalan Ezra mengendor. Hera melengos menolak membalas tatapan pria yang setahun terakhir selalu ada untuknya itu. Sejak awal Ezra memang sudah jujur kalau pernah menikah, tapi berakhir cerai. Namun, Hera sama sekali tidak tahu kalau dari pernikahan itu ternyata mereka punya anak. Dia merasa dibohongi. “Maaf, tapi semua tidak seperti yang kamu bayangkan itu, Ra.” Hera menepis lepas cekalan Ezra, lalu pergi begitu saja tanpa menoleh sedikitpun. Xena, mama Hera beranjak menyusul putrinya. Sementara Johan, papa Hera menepuk bahu Ezra memintanya mengajak mereka ke vila. “Hera biar sama mamanya dulu. Nanti juga menyusul. Kamu selesaikan masalahmu dengan mereka. Sudah ditunggu kakeknya Hera di vila!” ucap Johan sebelum kemudian meninggalkan mereka. “Jangan salahkan aku, kalau nanti justru anakmu yang terluka! Kamu sendiri yang memulai permainan ini!” geram Ezra menatap muak mantan istrinya. Lihat saja betapa menjijikkan seringai puasnya itu, setelah berhasil mengacaukan semua. “Lala anakmu. Ingat, itu!” ucapnya tersenyum sembari menunduk. “Yuk, Lala bukannya mau digendong papa!” bujuk Hanum ke anaknya yang masih merajuk dengan mata sembab. Bocah kecil berusia enam tahun itu menoleh takut menatap Ezra yang menggeram marah. Namun, karena saking ingin dia merasakan digendong pria yang pernah jadi papanya itu, Lala pun melepas genggaman tangan mamanya. Sayang, baru selangkah dia mendekat Ezra justru berbalik dan pergi tak peduli. Menulikan telinganya dari suara tangis memelas bocah itu, dia melangkah meninggalkan bibir pantai. Ezra tahu teman-temannya pasti syok disuguhi drama murahan yang memalukan seperti ini. Kenapa dia selalu menutupi kehidupan pribadinya? Padahal mereka sudah seperti saudara baginya. Karena kisah hidupnya terlalu b*****t untuk diceritakan. Dia pernah hancur, tanpa ada yang peduli. Dan perempuan sialan itu punya andil besar mengorat-arit hidupnya. Bertahun-tahun dia sendirian bergelut dengan rasa sakit. Bangsatnya lagi setelah sekarang dia mulai menggenggam bahagia, mereka datang seenaknya ingin menghancurkan dirinya lagi. Tidak, kali ini Ezra tidak akan lagi mengalah. Karena ada Hera yang harus dia perjuangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN