Bab 10. Mengurai Jejak Sang Pembunuh

1873 Kata
Kabar rencana pernikahan Ezra dan Hera yang akan segera digelar sekembali mereka dari Lombok, tentu saja sempat mengagetkan mereka. Tapi, mendengar alasan kenapa terkesan buru-buru mereka pun maklum. Sama seperti Daren dan Nay dulu juga begitu. Serba mendadak, hingga resepsi pun baru digelar sekarang setelah setahun lebih ijab kabul. Urusan prewedding sudah selesai. Cuma karena menimbang alasan keamanan, Ezra dan Hera tidak jadi ikut Cello mampir ke Bali. Mereka langsung balik ke Jakarta bersama keluarga besar dan sahabat yang lain. Lagipula Ezra juga punya tanggung jawab akan studio tatto dan keselamatan para pegawainya, yang kini mulai jadi target Helmi Baskara. Tak mengulur waktu, keluarga Wijaya langsung mengurus semua persiapan pernikahan mereka. Sementara Ezra juga putar otak untuk menjaga keselamatan pegawainya. Sampai sekarang Pras dan anak buahnya masih berjaga di sana, tapi Ezra yang tahu betul segila apa Helmi Baskara tetap saja mengkhawatirkan mereka. “Sudah ada perkembangan soal kasus keluargamu?” tanya Liam yang siang itu mampir kesana. “Belum.” Ezra yang sedang menuang kopi pun menggeleng. “Kenapa kamu tidak coba tanya ke teman papamu yang jadi polisi itu? Mustahil dia tidak tahu apa-apa.” Liam menerima kopi yang diberikan Ezra. Menyeruput kopinya yang masih panas, Ezra tampak sedang menimbang usul sahabatnya itu. Dia juga sempat berpikir begitu. Masalahnya setelah kejadian dulu dia minta tolong, pria itu dan keluarganya juga menghilang entah kemana. “Aku pernah mencoba mencarinya. Maksudku ingin sekedar tanya kabar dan berterima kasih atas bantuannya dulu, tapi tidak ketemu. Dia sekeluarga menghilang. Tetangganya bilang dia sudah mengundurkan diri jadi polisi sejak beberapa tahun yang lalu.” “Mundur?!” Liam mengernyit karena merasa aneh. “Apa mungkin ada hubungannya dengan kasus Niko? Soal dia menyerahkan rekaman bukti dari kamu. Niat mundur atau dipaksa? Jelas-jelas itu mencurigakan!” “Tadinya aku berpikir mungkin ada hubungannya dengan kasus Niko, tapi sekarang makin yakin tidak sesederhana itu. Sama seperti Tante Xen, aku curiga kematian keluargaku memang janggal!” Ezra beranjak ke jendela kaca ruang kerjanya. Matanya menatap awas para anak buah Pras yang duduk berjaga di dekat gerbang masuk di halaman studionya. “Feelingku mengatakan b*****t tua itu dalang dari semua. Bisa jadi dia tahu identitas papaku, jadi menghabisinya. Aku sangat paham sebiadab apa Helmi Baskara. Baginya soal kecil kalau cuma membantai seluruh keluargaku, ketika dia kalap setelah merasa dikhianati papaku yang ketika itu adalah salah satu orang kepercayaannya.” “Kamu beneran tidak ingat, siapa yang memindahkanmu ke gudang?” tanya Liam yang juga ikut penasaran dengan teka-teki kematian keluarga Ezra. “Tidak,” gelengnya. “Aku baru terbangun ketika dengar suara ribut-ribut orang berteriak. Saat masih bingung kenapa aku bisa pindah tidur di gudang, Om Rudi teman polisi papa itu masuk dan berniat membawaku pergi dari sana. Tapi, aku tidak mau dan kembali ke rumah. Demi Tuhan, sampai detik ini aku merasa seperti mau gila ingat bagaimana mayat mereka tergeletak di lantai!” Liam mendongak mendengar suara serak Ezra. Selama kenal ini kali pertama Liam melihatnya tampak rapuh. Rahangnya sampai gemetar kaku seperti menahan tangis. Beberapa kali dia menghela nafas kasar dengan tangan terkepal di tembok. Iya, andai dia di posisi itu juga akan kena mental melihat orang tua dan kedua adiknya mati mengenaskan di depan mata. Terlebih sekarang mulai ada titik terang, yang menunjuk ke arah kejanggalan tragedi naas itu. “Aku juga yakin mereka tidak bunuh diri. Logikanya kalau memang orang tuamu ingin mengajak anak-anaknya mati, lalu kenapa kamu tidak dicekoki racun juga? Malah disembunyikan di gudang,” ucap Liam. “Mereka bukan cuma keracunan, Liam!” Ezra menoleh dengan air mata meleleh. Bahunya berguncang menahan tangis yang tak lagi terbendung. “Mereka mati dengan luka tembak. Kamu tidak akan tahu bagaimana tersiksanya aku selalu melewati tidur dengan mimpi menakutkan itu. Melihat mayat orang-orang tersayang bergelimpangan bersimbah darah. Aku benar-benar hampir gila. Di sini! Sakit!” Ezra terisak memukul-mukul dadanya yang terasa seperti ditikam. "Papaku yang begitu sayang ke anak istri mana mungkin segila itu membunuh mereka, lalu bunuh diri. Itu tidak mungkin!" gelengnya. Liam beranjak bangun menghampiri Ezra, lalu menepuk bahunya. Sahabatnya yang selama ini paling terlihat tenang dan sabar, nyatanya menyimpan trauma sesakit itu. “Mereka sedang mengusahakan mengungkap kasus ini. Opa Bimo masih melobi temannya yang jadi petinggi di kepolisian, supaya mau memberikan data rahasia soal kasus papamu. Aku berani bertaruh ini pasti ada hubungannya dengan Helmi Baskara. Sekarang masuk akal kenapa dia justru mengadopsimu, tapi selalu dijadikan tameng untuk anaknya. Karena sejak awal niatnya hanya untuk balas dendam ke papamu yang dianggap pengkhianat!” Ezra menjotos tembok di depannya. Kalau sampai terbukti Helmi Baskara dalang pembantaian keluarganya, maka dia bersumpah akan menguliti bangsatt tua itu hidup-hidup. “Dulu aku pernah menanyakan soal ini ke Baskara. Dia bilang kemungkinan papa jadi korban balas dendam musuh mereka yang digrebek saat sedang melakukan transaksi. Baskara beralasan mereka curiga itu ulah papa yang sengaja melaporkan mereka ke polisi,” geram Ezra merasa sudah dibodohi. “Kenapa tidak kamu cari dan bertanya langsung ke orangnya? Kalau kita bisa mengorek mulutnya, maka sudah dipastikan ketemu kunci jawabannya! Sanggahan mereka berarti sudah tepat pelakunya adalah Helmi Baskara sendiri. Sedang kalau benar mereka pelakunya, tinggal kita tebas habis. Selesai perkara!” usul Liam. Mata Ezra menyipit menimang usulan Liam. Dia melangkah ke meja kerjanya dan berdiri menyandar di sana dengan tangan bersedekap. “Siapa orangnya?” tanya Liam. “Juan Sanjaya,” jawabnya menatap sahabatnya sedikit ragu. Bukan takut, hanya tak ingin gegabah. Kondisinya sekarang sedang terhimpit masalah dan keselamatan Hera juga para anak buahnya yang jadi taruhan. Kalau ditambah melebar ke Juan, Ezra khawatir akan makin rumit dan merepotkan banyak orang. “Juan Sanjaya, masih bisa diatasi! Jadi gimana? Mau kesana, tidak? Kalau iya, aku telpon Om Ibra untuk minta izin?” Liam tampak begitu yakin dengan ajakannya. “Aku cuma tidak enak kalau nanti malah akan menambah masalah bagi mereka,” tanggap Ezra. “Apapun selama itu bisa menjadi jalan penyelesaian, mereka tidak akan mempermasalahkannya.” Liam menyeringai merogoh ponselnya untuk menghubungi om sekaligus bosnya itu. “Kamu tidak balik ke kantor?” tanya Ezra. “Gampang, bisa diatur. Ada istriku,” jawabnya menjauh bicara dengan Ibra yang mengangkat teleponnya. Beranjak duduk di kursinya, Ezra membuka laci mejanya. Matanya kembali memburam panas menatap foto keluarganya yang tersimpan disana. Selama ini dia bahkan jarang punya keberanian berlama-lama menatap wajah-wajah mereka. Masih belum sanggup menghapus ingatannya, ketika melihat mayat mereka bergelimpangan bersimbah darah. Ibunya seorang perempuan penyabar berhati lembut. Sedang kedua adiknya bahkan masih berusia lima dan tiga tahun ketika itu. Bagaimana bisa setega itu membunuh mereka yang bahkan tidak tahu apa-apa dengan cara begitu biadab. “Bangsattt!” umpatnya dengan air mata meleleh. “Om …” Ezra mendongak, lalu melengos menyeka air matanya begitu mendapati Hera yang baru saja datang bersama Jingga dan Gala. Tanpa bertanya apapun Hera mendekat, lalu memeluk Ezra yang mati-matian menelan amarahnya. Di laci itu tanpa sengaja Hera melihat selembar foto. Cukup untuk membuatnya paham alasan kenapa Ezra seperti ini. Setahun lebih sejak kenal, ini kali pertama dia melihat pria yang selalu anteng dan tenang ini menunjukkan sisi rapuhnya. “Kan sudah dibilangin jangan keluyuran!” tegur Ezra sudah kembali ke setelan awal. Tangannya melingkar mendekap pinggang calon istrinya yang memeluk lehernya. “Suntuk di rumah terus. Tadi Comel datang, jadi aku ajak kesini.” “Tempat ini sekarang tidak aman, Beb! Kan sore aku cari kamu ke rumah!” Ezra menarik Hera duduk di pangkuannya. Jingga yang di sofa bersama tunangannya mendecih sebal. Tiap hari disuguhi kelakuan bucin si om, juga oneng yang jadi manjanya tidak ketulungan kalau ke Ezra. “Nunggu sore kelamaan. Biasanya kan bisa basket di sekolah, atau nongkrong cari teman di tempat biasanya. Sekarang mama melotot terus. Lihat orang ganti baju saja sudah ribut ditanya mau kemana sambil ngomel-ngomel!” gerutu gadis itu merengut jengkel. Mendengar itu Gala dan Jingga tertawa tergelak. Ya jelas Hera kelicatan dikurung di rumah, karena biasa keluyuran. “Itu foto keluarganya Om Ezra?” tanya Hera hati-hati menunjuk ke foto di laci. “Hm,” angguk Ezra meraihnya dan diberikan ke Hera. “Mamanya Om cantik banget. Kelihatan kalem. Adiknya juga ganteng, mirip sama Om Ezra.” Penasaran Gala dan Jingga pun beranjak mendekat. Hera kemudian menunjukkan foto itu ke mereka. Begitupun Liam yang selesai menelpon, ikut melihat foto keluarga Ezra. “Iya, adiknya mirip Bang Ezra. Umur berapa mereka waktu itu?” tanya Gala. “Tiga dan lima tahun,” jawab Ezra. Hera mengusap lembut bahu Ezra yang terasa kaku. Hebatnya setelah didera ujian hidup yang begitu menyakitkan, dan tumbuh di bawah tekanan keluarga Baskara, pria ini masih bisa tetap waras. Pantas saja Ezra nekat mengambil job sebagai bodyguard khusus yang taruhannya nyawa di medan berbahaya. Ternyata karena dia sudah hampir menyerah menghadapi hidupnya yang sudah terlanjur hancur tak bersisa. Ibarat meski dia sewaktu-waktu mati pun tidak akan ada yang peduli, apalagi menangisinya. “Ayo! Sudah dapat ijin dari Om Ibra. Pras dan Nova juga sudah memanggil orang untuk menyusul kita kesana!” ajak Liam. “Kalian mau kemana?” tanya Jingga sebelum Hera buka mulut menanyakan hal yang sama. “Ke tempat Juan Sanjaya. Aku menyuruh Nova merebut gudangnya. Itu memudahkan kita untuk mengorek mulut Juan nanti!” terang Liam meletakkan foto itu di atas meja. “Juan, siapa? Ada urusan apalagi memangnya?” tanya Hera. “Helmi Baskara pernah bilang kematian keluargaku ada hubungannya dengan Juan. Dia bilang karena beberapa anak buahnya ditangkap saat sedang transaksi. Mereka mengira itu adalah ulah papaku.” “Kami cuma mau memastikan benar tidaknya tuduhan Helmi Baskara itu! Kalau ternyata hanya fitnah, berarti benar pembunuhan keluarga Ezra justru dia lah dalangnya!” timpal Liam. “Ayo!” Hera sudah hendak melompat, tapi lebih dulu didekap oleh Ezra. “Nggak! Kamu pulang dulu! Nanti selesai urusan dengan Juan, aku langsung ke rumah!” tegasnya melarang calon istrinya ikut. “Mana bisa gitu! Biasanya juga tidak apa-apa aku ikut!” protes Hera mendelik berusaha melepas tangan Ezra dari pinggangnya. Liam dan Jingga tertawa terkekeh. Inilah sebenarnya alasan kakek dan orang tua Hera menyetujui hubungannya mereka. Karena hanya pria seperti Ezra yang bisa mengendalikan sisi liar Hera. Mereka bukan tidak mampu mendidiknya, tapi ingin mengubah arah hidup Hera tanpa paksaan. Karena gadis dengan watak keras seperti dia tidak bisa dikasari. Cinta Ezra akan mengubah hidup Hera. Itu yang keluarga Wijaya harapkan “Kami bukan mau main!” ucap Ezra gemas. “Iya, tahu kok! Pokoknya ikut. Berangkat bareng atau aku nanti menyusul kalian?!” sahut gadis itu ngotot. “Haish! Susah dibilangin!” Mau tidak mau Ezra pun mengalah. Dia menunduk membuka laci mejanya paling bawah, lalu meraih pisau lipat kecil. “Jangan pecicilan! Tidak boleh jauh dari aku atau Liam!” ucapnya memasukkan pisau itu ke saku jaket calon istrinya. “Siap, Om!” Hera nyengir melompat turun dari pangkuan Ezra. Mereka berangkat untuk memastikan apakah benar yang Helmi Baskara katakan ketika itu. Gala pulang lebih dulu, karena Jingga juga memutuskan ikut pergi bersama Liam dan Ezra ke tempat Juan Sanjaya. Dadaa Ezra bergemuruh menatap sekali lagi foto keluarganya, lalu merogoh sepucuk pistol yang tersembunyi di bawah mejanya dan diselipkan di balik jaket. Iya, siapapun yang terlibat pembunuhan orang tua dan kedua adiknya, maka jangan harap akan selamat! Dia akan membalas beribu kali lipat lebih sadis dari yang dilakukan ke keluarganya. "Tunggu! Aku pasti akan membalas kematian kalian!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN