Menatap lurus ke depan dengan kedua tangan bersadekap, netranya mengamati beberapa burung yang berkicau hinggap dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Membayangkan andai ia menjadi burung yang bisa terbang bebas ke sana ke mari, sungguh akan sangat bahagia sekali kehidupan yang ia rasakan. Tidak terkekang oleh hidup yang selama beberapa tahun ini ia jalani. Kerinduan akan sosok kedua orangtuanya begitu saja menyeruak ke dalam hati seorang gadis bernama Evelyn Dion. Andai masih ada Papa dan Mamanya, mungkin di usianya yang sekarang Eve masih mengenyam bangku Universitas. Tidak seperti sekarang yang keberadaannya saja terdampar entah di mana. Paman dan Bibi, satu-satunya keluarga yang ia punya justru tega menjualnya demi mendapatkan sejumlah uang. Mereka sengaja membuangnya demi mendapat keuntungan yang berlipat. Sudah mendapat uang, dan juga tak perlu lagi repot-repot mengurus dirinya. Sangat mengenaskan hidup sebatang kara tanpa hadirnya kedua orangtua. Andai Papa dan mamanya tahu bagaimana sulit kehidupan yang ia jalani kini, mungkin saja mereka tak akan tega meninggalkannya. Namun, hidup dan mati tak ada yang bisa memprediksinya. Dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya, meninggalkan Evelyn remaja yang harus terpaksa tinggal bersama Paman dan Bibinya.
"Kenapa berada di sini seorang diri? Bukankah teman-temanmu yang lain sedang mendengarkan briefing," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri Eve.
Eve tersentak akan lamunan. Gadis itu terkejut mendapati seorang pria dengan kaos loreng khas tentara telah berdiri di samping tubuhnya. Sampai tangan yang tadi bersadekap, harus terlepas begitu saja. Ia gugup sekaligus takut karena telah kedapatan menghindar lebih tepatnya pergi dari acara yang seharusnya tak boleh ia lewatkan. Bagaimanapun juga keberadaannya di sini menumpang untuk sementara. Menjadi hal wajar jika ia harus mematuhi semua peraturan yang telah diterapkan. Namun, apa yang sekarang sedang ia lakukan justru meninggalkan teman-temannya untuk menyendiri di sini.
Eve menunduk tak berani menatap seorang tentara yang mendelik kepadanya.
"Maaf," ucapnya takut-takut.
Al menghela napas, lalu membuang pandangannya. Tak ingin menakut-nakuti gadis itu. Ya, pria itu adalah Aldrick Harico.
"Seharusnya kau berada di antara mereka. Mendengarkan semua arahan yang disampaikan. Karena itu semua sangat penting sebagai bekal kalian kelak ketika kami-- pihak militer akan mengembalikan kalian semua pada keluarga. Jadi, semua strategi dan apa saja yang harus kalian semua lakukan andai kawanan gengster kembali menangkap, setidaknya kalian sudah ada wacana bagaimana cara untuk membela diri."
"Tapi saya tidak membutuhkan itu semua," ucap Eve tanpa ekspresi. Bahkan gadis itu tak lagi menunduk. Tatapan matanya terlempar pada tanah lapang di hadapan mereka.
"Apa yang kau katakan itu. Jangan menyombongkan diri tidak membutuhkan bantuan kami."
"Saya tidak berkata demikian. Bukan maksud menyombongkan diri. Tapi ... saya memang tidak ingin kembali. Saya akan tetap berada di kota ini."
Al tentu saja terkejut mendengar perkatana gadis itu yang terkesan sangat berani. Menyerongkan tubuhnya, Al menatap lurus pada Eve.
"Apa maksud perkataanmu itu? Tolong jelaskan."
"Saya tidak ada keluarga."
Al diam menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya. Namun, hanya keheningan yang terjadi setelahnya.
Lagi-lagi Al membuang napas kasar. Lalu memasukkan kedua tangan pada saku celana.
"Kau tidak tahu bagaimana Kota Graha. Jadi sebaiknya kau tetap harus kembali ke kota asalmu. Sesuai dengan perintah komandan militer. Kami telah berhasil menyelamatkan kalian sehingga tidak perlu dijual ke negara luar. Dan kami juga tidak bisa berlama-lama menahan kalian di sini. Ada kekuarga yang kalian tinggalkan menunggu kepulabgan kalian semua."
"Itu mereka. Bukan saya. Sudah saya katakan jika saya tidak mempunyai keluarga."
"Sekalipun kau tidak punya keluarga, tapi kau ada kota tempat tinggal. Kau harus kembali karena kota ini tidak aman untukmu."
"Saya tidak bisa. Bairkan saya tetap di sini."
Eve tetap berpedirian teguh pada keinginannya. Memang Eve rasa ia tidak perlu kembali ke kota di mana selama ini ia tingal jika ujung-ujungnya Paman dan Bibinya lah yang akan ia temui. Hal yang sangat ia hindari. Apapun yang akan terjadi pada dirinya, Eve tetap akan bertahan di kota Graha. Entah apa yang akan dia lakukan nantinya, mungkin akan mulai mencari tempat tinggal juga pekerjaan karena di sini Eve tak memliki keluarga juga sanak saudara yang ia kenali.
Bahkan menjejakkan kaki di kota ini saja baru pertama kalinya. Eve tak paham jika tempatnya berdiri saat ini kota apa namanya. Yang ia tahu pihak gengster yang membawanya waktu itu hanya mengatakan jika ia dan kawan-kawannya akan di tampung di sebuah tempat untuk sementara waktu sambil menunggu hari keberangkatan ke luar negara tiba.
"Dasar gadis keras kepala!" geram Al. Telinga Eve sangat tajam demi mendengar kata yang Al lontarkan, membuatnya tak terima dan menoleh pada Al begitu saja. Nmaun, mana berani Eve membantah jika tatapan Al tampak tajam dengan kilat amarah menyeramkan. Eve menelan ludah susah payah merasa telah membangunkan singa jantan di hadapannya.
Perlahan tatapan Al melembut seketika. Bahkan matanya kini memicing dengan kedua alis saling bertaut. "Tunggu! Bukankah ... kau gadis yang kemarin pingsan itu?" tunjuk Al sembari menelisik wajah Eve. Mencoba mengingat-ingat bahwa tebakannya tidak salah.
Mulut Eve ternganga. Kenapa dia bisa tidak mengenali pria bernama Al yang kemarin menyebabkannya jatuh pingsan tak sadarkan diri. Wajah Eve memucat seketika mengingat kembali masa lalu kelam pria di hadapannya ini. Al, tentu saja kebingungan melihat perubahan raut wajah gadis yang tak ia tahu siapa namanya. Bahkan gadis itu menunduk sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hei, kau ini kenapa? jangan katakan jika kau ingin pingsan lagi!"
Eve mendongak. Enak saja mengatainya ingin pingsan lagi. Ingin sekali Eve berteriak di depan wajah Al, 'Aku pingsan juga karenamu, Al!'
Namun, mulutnya masih terkatub rapat menatap Al penuh kengerian. Bagaimana mungkin lelaki tampan di hadapanya ini menyimpan masa lalu kelam. Ya, tak Eve pungkiri jika Al memiliki wajah yang kadar ketampanannya di atas rata-rata. Wajah dengan rahang tegas, kulit kecoklatan akibat seringnya terkena cahaya matahari juga mata setajam elang yang membuat siapapun melihatnya merasa ikut terbuai akan arus yang ia bawa.
"Kenapa diam! Gawat, kau pasti akan pingsan lagi."
Al tampak panik, akan tetapi Eve segera menjawab. "Saya tidak apa-apa. Kau jangan khawatir, Al!"
Aldrick Harico, pria itu membeku untuk sesaat. Mencoba mengingat nama yang gadis itu baru saja ucapkan.
"Bagaimana kau bisa tahu namaku? Sepertinya aku dan kau belum pernah berkenalan sebelumnya?" tampak bingung Al berkata demikian.
Mampus kau Eve. Gadis itu sampai menutup mulutnya karena tersadar jika ia telah keceplosan. Berusaha mencari cara beralasan karena pria di hadapannya ini menatapnya semakin tajam.
"Katakan padaku, apakah kau mengenalku sebelumnya. Bagaimana mungkin kau bisa mengetahui namaku sementara aku merasa belum pernah bertemu atau kenal denganmu sebelumnya."
Ya, terus saja kau desak Al. Yang ada Eve semakin pusing mencari alasan untuk memberikan jawaban.
"Ah, itu ... itu saya tahu namamu dari seragam yang kau pakai kemarin. Bukankah pada seragam tentaramu itu ada nama yang tertera di bagian dadaa."
Al diam. Ia merasa janggal. Tidak mungkin. Gadis itu setelah menabraknya kemarin langsung pingsan begitu saja. Kapan coba ia sempat melihat name tag di bajunya. Sungguh tidak masuk akal sama sekali. Terlebih melihat kegugupan dan menghindari tatapan matanya, menandakan kebohongan yang sangat jelas terlihat. Al diam tidak melanjutkan mendensak gadis itu agar mengatakan hal yang sesungguhnya. Hanya saja tiba-tiba ia mencurigai sesuatu. Jangan sampai gadis ini adalah salah satu anggota gengster yang menyamar. Oh, tidak. Al harus tetap waspada dan berhati-hati jangan sampai kecolongan dan ada penyusup yang berhasil masuk dalam kawasannya. Baiklah kali ini Al akan kembali mengatur strategi, mencari tahu siapa gadis di hadapannya ini. Tentu saja Al akan menggunakan caranya sendiri.
"Siapa namamu?" Al bertanya.
Eve tampak berpikir. Perlukah ia mengenalkan dirinya. Sepertinya tak ada salahnya. Apalah arti sebuah nama. Siapa tahu saja suatu saat nanti ia akan membutuhkan bantuan tentara di hadapannya ini.
"Evelyn Dion. Panggil saja Eve."
"Dari mana kau berasal?"
"Jauh dari kota ini. Bahkan saya mengetahui kota ini juga baru kali ini." Eve berusaha berkata jujur.
"Jadi ini pertama kalinya kau menginjakkan kaki di Kota Graha?"
Eve mengangguk. Al tahu jika Eve jujur. Tak ada raut kebohongan di wajah gadis itu. Jadi, kemungkinan jika gadis itu seorang penyusup, sangatlah mustahil.
"Lantas, kenapa kau bisa ngotot tak mau kembali ke kota asalmu dan justru ingin bertahan di kota ini?'
Al terus memburu Eve dengan pertanyaan karena Al rasa gadis ini menyimpan banyak misteri dan rahasia yang tersimpan rapat.
"Saya tidak boleh kembali ke kota asal. Saya akan memulai kehidupan baru di kota yang baru. Yaitu kota ini."
"Tapi kota ini tidak layak kau tinggali. Kota ini tidak aman. Apakah kau akan sanggup nantinya tinggal di kota yang penuh dengan kengerian."
"Apa maksudmu? Jangan pernah menakut-nakutiku."
Al rasa ia perlu memberitahu sedikit mengenai Kota Graha pada gadis keras kepala di hadapannya ini. Bukan tanpa sebab. Ia hanya ingin memancing saja kenapa sampai Eve begitu ngotot ingin tetap tinggal di kota ini. Jika Eve bukanlah salah satu kawanan gengster, untuk apa gadis itu bersikukuh untuk tetap tinggal di sini.
"Kota Graha biasa disebut sebagai kota mati. Di sini tidak ada kehidupan yang layak untuk gadis sepertimu. Karena di kota ini keamanan tidak ada yang menjamin, banyak perusuh dan perusak yang ingin menghancurkan negara. Jika kau menetap di sini, aku rasa kau akan banyak menemukan kesulitan. Kau tak akan tahan berada di sini."
"Apakah karena keberadaan kawanan gengster itu?"
"Itu kau tahu."
"Aku hanya tahu sedikit mengenai keberadaan para gengster yang kemarin membawa kami semua ke kota ini. Namun, aku tidak menyangka jika yang mereka lakukan sepatah itu."
"Tugasku hanya memberitahumu. Keputusan tetap ada pada dirimu. Mau tetap tinggal atau kembali ke kota asalmu."
"Aku akan tetap tinggal di kota ini. Aku tidak akan pernah takut dengan keberadaan mereka. Selagi ada kamu, kurasa semua akan aman. Dan satu hal lagi, jika aku mengalami kesulitan di kota ini, ada kamu yang akan membantuku, Al."
"Apa?"