"s**t! Bagaimana mungkin kita bisa kembali kecolongan. Dan bagaimana kita tidak ada yang tahu jika para wanita yang susah payah kita kumpulkan sudah dikembalikan ke kota asalnya."
Zena menggeram kesal. Pasalnya ini sudah beberapa hari berlalu dan tiba-tiba saja dia mendapat kabar dari salah satu anak buahnya jika usaha mereka telah sia-sia akibat penggagalan yang dilakukan oleh pihak militer. Padahal selama ini pihak militer tidak pernah punya nyali melawan mereka sampai sejauh ini. Tidak bisa dibiarkan. Zena akan bertindak sekalipun militer lawannya.
Meraih jaket kulit yang tersampir di atas kursi lalu memakainya cepat. Semua anak buahnya yang berada di sekitar hanya menunduk tak berani membantah ataupun bertanya ke mana Zena akan pergi. Ia hanya ingin pergi sendiri melihat situasi. Apakah ada yang salah dengan kondisi kota Graha sehingga anak buahnya tak becus lagi bekerja.
Fredo juga tidak bisa diandalkan terlalu banyak. Pria itu berkali-kali diberi tugas nyatanya tak ada hasilnya juga. Zena akan bergerak sendiri. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Motor besar yang ada di halaman markas segera ia tunggangi. Jangan lupakan helm yang menutupi semua wajahnya. Tatkala motor itu mulai berjalan suara raungan dari knalpot sungguh memekakkan telinga. Melesat meninggalkan markas dan wanita itu pun berniat berkeliling kota.
Sebagai seorang ketua gengster tak ada yang tak bisa Zena lakukan. Semua tak tik serta trik jitu melemahkan musuh sudah ia pelajari sejak dirinya remaja. Siapa lagi jika bukan dari ayahnya semua ilmu itu ia dapatkan. Meskipun dia adalah seorang perempuan, akan tetapi jiwa brutal serta tak adanya perasaan dalam hatinya membuat Zena tumbuh tidak seperti layaknya perempuan pada umumnya. Ia tak mengenal apa itu cinta dan kasih sayang. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana cara melawan orang yang tidak tunduk dan taat padanya. Menjadi penguasa dunia adalah doktrin yang ayahnya berikan.
Menyusuri kota Graha dengan motor besar yang langsung menjadi pusat perhatian. Jika biasanya ia akan dikawal oleh anak buahnya, sekarang Zena seorang diri tanpa kawalan siapapun juga. Sengaja ia melewati markas besar militer yang penjagaannya sangat ketat. Zena tak ada niat untuk masuk. Menyerahkan diri namanya jika dia sampai berani memasuki kawasan terlarang yang selama ini tak pernah ia jamah. Namun, sekarang pihak militer sudah berani berulah.
Kecepatan laju motor ia pelankan. Demi hanya bisa mengamati suasana sekitar di dalam markas besar militer. Ia hanya bisa melihat pagar tinggi yang menjulang. Tak ada hal mencurigakan yang ia temui.
Meninggalkan area tersebut masih dengan hati yang bertanya-tanya sampai ia kembali ke tengah kota. Di sanalah suatu kejadian langka ia dapatkan.
Matanya memicing mendapati seorang pria sedang membantu seorang bapak tua mengangkut dagangan yang mungkin saja akan dibawa ke pasar. Meskipun di Kota Graha hampir tak ada tanda-tanda kehidupan, akan tetapi masyarakat yang masih tinggal di kota ini mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Bedanya adalah mereka memang terpaksa harus mau membayar pajak yang ditetapkan oleh sekelompok preman yang berada di bawah naungan Mobogangs. Seperti halnya pasar yang ada di kota Graha. Meski tak terlihat ramai oleh penjual dan pembeli, akan tetapi mereka dengan terpaksa tetap harus membayar pajak dengan sejumlah uang pada kawanan preman demi bisa tetap bertahan mengais rejeki dengan berjualan.
Entah kenapa Zena jadi ingin tahu dengan pria muda yang sempat membantu mendorong gerobak jualan pria tua itu. Dua pria beda usia yang tampak berbeda di matanya. Baru kali ini Zena melihat pria itu. Tampan dan terlihat lebih rapi dalam berpenampilan. Siapa dia? Penasaran. Tentu saja. Memilih memutar balik motornya dan mengikuti pria itu yang kini mulai memasuki kawasan pasar.
***
Bukan kurang kerjaan namanya jika Al harus berada di dalam pasar. Sebenarnya tujuannya tadi ingin membeli sesuatu yang ia rasa bisa di beli di pasar yang lokasinya tak seberapa jauh dari markas besar militer. Namun, miris kala ia melihatnya ketika pasar saat jaman ia kecil dulu sering dikunjungi bersama asisten rumah tangganya begitu besar, megah dan sangat ramai. Dulu Al sering sekali membeli banyak jajanan yang membuatnya merasa senang. Namun, kini yang ia lihat adalah sebuah pasar kumuh tak terawat. Penjual dan pembeli juga tidak banyak. Sepertinya hanya mereka yang terpaksa saja yang masih mau berkunjung ke tempat ini.
Melihat seorang pria berumur yang kesusahan mendorong gerobak dagangannya. Aneka kebutuhan rumah tangga seperti beras, gula juga minyak pria itu bawa untuk dijual. Tanpa diminta Al gegas membantu pria itu.
"Terima kasih," ucap pria itu dijawab Al dengan senyuman.
"Boleh saya bertanya. Kenapa pasar ini tampak sepi dan lengang sekali."
Pria tersebut tersenyum masam. "Mereka para penjual tak lagi sanggup berdagang karena tingginya pajak yang dikenakan."
"Pajak?" Al bertanya yang langsung diangguki kepala oleh pria tua itu.
"Iya. Para preman selalu memalak kami para pedagang dengan dalih bayar pajak."
Al mengerti sekarang kenapa pasar ini sangat sepi sekali dan tidak terawat. Benar-benar kurang ajar sekali mereka. Tak ada belas kasihan sama sekali pada rakyat yang hidup kesusahan. Pemerintah juga hanya tinggal diam jika tahu rakyatnya di tekan oleh para preman. Seharusnya mereka ditumpas karena telah merugikan banyak orang. Jika begini lama-lama mereka juga tak akan sanggup berdagang lagi karena pajak yang dikenakan pastilah cukup tinggi.
Setelah selesai membantu pria tersebut Al meninggalkan tempat dan mulai berkeliling area pasar. Saat itulah ia melihat sendiri bagaimana para preman memalak tanpa ada rasa belas kasihan dan rasa kemanusiaan. Tak segan mereka memukul jika ada yang berani melawan atau mengelak tak mau memberikan sejumlah uang yang mereka minta.
"Ini tak bisa dibiarkan." Al bergumam, berjalan dengan derap langkah tegab menghampiri mereka.
"Hentikan! Apa yang kalian lakukan!" Hardik Al tak tahu rasa takut meski yang dia hadapi adalah beberapa lelaki berbadan besar. Jauh lebih besar daripada dirinya. Tak akan gentar jika dia harus melawan para perusuh negara. Jika hanya preman saja Al merasa mampu mengalahkan. Berapa orang, satu, dua, tiga empat, lima. Al mulai menghitung satu per satu pria bertato dengan baju urakan yang kini menyeringai ke arahnya.
"Rupanya kau lagi, b*****h!" salah seorang dari mereka menggertak Al. Ah, Al mengamati wajah pria berkumis menyeramkan itu. Rupanya Al pernah bertemu bahkan adu jotos dengan preman itu.
"Apa yang kalian lakukan itu tidak benar. Kenapa kalian harus memalak para pedagang. Mereka itu sedang mengais rejeki karena ada keluarga yang menanti di rumah untuk dihidupi. Kenapa kalian ini tega sekali memperlakukan mereka seperti itu."
"Hei! jangan banyak omong dan jangan ikut campur. Jika mereka ingin aman berdagang di sini maka mereka harus membayar pada kami. Karena kami ini petugas keamanan yang menjamin keselamatan mereka."
"Apa aku tak salah mendengar. Menjamin keselamatan mereka. Justru yang aku lihat sekarang ini kebalikannya. Kalian ini bukan menjamin keselamatan tapi mengancam jiwa mereka. Jika mereka tak mau membayar maka kalian akan memukulinya. Apa itu yang namanya menjamin keselamatan."
"Itu adalah konsekuensi yang harys mereka terima karena berani melawan dan membantah."
"Jika mereka melawan itu artinya kalian sudah keterlaluan. Jika kalian memperlakukan mereka secara manusiawi tidak mungkin mereka akan melawan. Dengan dalih membayar pajak tapi kalian mencekik mereka. Itu perbuatan yang tidak dapat di benarkan."
"Hei! jangan banyak omong kau. Apa urusanmu dengan kami. Sebaiknya kau pergi saja dan jangan ikut campur."
"Tapi sepertinya aku tetap akan ikut campur. Aku tak akan membiarkan kalian membuat onar dengan mengacau apalagi meresahkan warga. Tak akan aku biarkan."
"Oh, cari mati rupanya kau!"
Salah satu preman mendekat dan langsung memberikan satu pukulan pada wajah Al. Tentu Al yang gesit segera mengelak sehingga pukulan itu meleset tak mengenai seinci pun wajah Al.
Para pedagang di dalam pasar katakutan. Mereka antara takut dan terharu karena ada orang yang mau membela mereka dari kekejaman dan penjajahan oleh para preman. Betapa tidak menhajah jika mereka menerapkan pajak yang sangat tinggi. Untuk mencari laba saja susahnya setengah mati. Belum lagi para oreman yang harus meminta sejumlah uang dan jika tidak dituruti maka sama halnya cari mati. Mereka dipukul dan dirampas dagangannya. Satu tanya yang terlintas untuk mereka. Jika sudah tahu seperti itu keadaannya kenapa mereka masih saja bertahan? Banyak hal yang menjadi jawaban. Salah satunya karena kota ini adalah tanah kelahiran mereka. Tempat mereka besar dan hidup sampai tua. Kedua, mereka lama-lama sudah kebal juga dengan aksi Mobogengs, asal tidak melawan maka mereka juga tak akan menyakiti. Meski harus hidup di garis kemiskinan namun mereka masih harus bersyukur karena masih bisa bertahan hidup sampai sekarang. Jikalaupun mereka meninggalkan Kita Graha, belum tentu di kota lain mereka masih bisa menjalani hari dengan nyaman. Oleh sebab itulah mereka masih memutuskan untuk tetap bertahan. Berdagang demi memenuhi kehidupan ekonomi juga demi memenuhi kebutuhan orang orang yang masih mau menjadi pembeli.
Pertarungan antara Aldrick dengan para preman masih saja bertahan. Orang-orang di sekitar hanya menjadi penonton dengan bersembunyi di balik tembok sambil ketakutan. Ada secercah harapan ketika Al berhasil mengalahkan satu per satu preman. Namun, rupanya di saat Al lengah, salah satu diantara preman itu berhasil memukul membuat Al terpelanting dan jatuh di atas tanah. Merasakan sakit karena pukulan itu. Mencoba bangun tapi satu pukulan berhasil mendarat lagi. Membuat Al tak mampu bangun. Merasa perutnya sedikit nyeri.
Morgan Zena. Wanita itu sejak tadi mengikuti Al karena penasaran. Masih bertengger di atas motor besarnya sembari memperhatikan Al yang sedang berkelahi melawan anak buahnya. Sempat merintis saat Al terkena pukulan beberapa kali.
Namun, tiba-tiba saja mata Zena membelalak. Ia melihat secercah cahaya menguar dari tubuh pria itu.
Bangkit berdiri dan memukul dengan penuh kekuatan hingga satu per satu anak buahnya terpental. Gila. Zena hampir saja berteriak tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Pria itu sungguh luar biasa. Bagaimana bisa hanya dengan satu pukulan mampu melemparkan salah satu preman yang merupakan anak buahnya sampai terpental beberapa meter jauhnya.
Zena berpikir. Apakah pria ini yang dulu pernah anggotanya ceritakan dan pria ini juga yang telah mengalahkan mereka. Sial. Ia harus mencari tahu. Siapa pria itu. Gegas Zena beranjak menjalankan motornya meninggalkan area pasar sebelum ada yang melihat keberadaannya di tempat ini.