PART 7

1195 Kata
^^Nathan POV^^   Jam dua belas malam, gue lagi duduk di sofa depan televisi. Gue nggak lihat televisinya, mungkin itu televisinya yang lihat gue. Gue terlalu fokus mikirin kejadian tiga hari lalu yang bikin gue insomnia sampai sekarang.   ^^FLASHBACK ON^^   Gue lagi begadang main PS sama Kevin, tiba-tiba ponsel gue bunyi. Gue senyum melihat siapa yang telefon gue malam-malam begini. Febi. Tanpa menunggu Febi ngomong gue udah nyerocos duluan. “Kenapa, Yang? Kok belum tidur?” “Nak Nathan, ini Tante.” Gue langsung nepok kening gue, mampus! Malu b**o! “Oh iya Tante, kenapa?” Gue melihat Kevin langsung ketawa tanpa suara. Gue melirik dia tajam dan Kevin langsung membentuk jarinya menjadi sebuah huruf berbentuk V sambil menahan tawanya dengan berdeham, dasar! “Tante mau ngomong sesuatu sama Nak Nathan. Bisa ke rumah sebentar?” “Bisa, Tante. Nathan ke sana sekarang” “Hati-hati ya, Nak.” “Iya, Tante.” Begitu telefon ditutup gue langsung berdiri mengambil jaket dan merapikan rambut gue sedikit. “Mau ke mana lo?” tanya Kevin masih serius sama layar televisi. “Mau ke rumah bunda mertua. Lo mau main PS, tidur, atau pulang sekalian, terserah elo. Gue pergi dulu.” “Yaelah, b*****t! Tadi lo nyuruh gue ke sini, sekarang lo ninggalin gue!” “Gue buru-buru, Vin. Serah elo deh. Besok gue traktir.” Gue berlari ke lantai bawah gue denger teriakan Kevin. “GUE TAGIH LO BESOK! MAKANAN ITALY, NATH!” Gue terkekeh, bisa aja tuh anak masalah morotin gue. Gue ke garasi dan memilih naik mobil, udah malam ditambah dingin. Gue ngebut, bodoh amat lah. Jalanan sepi juga, sekarang jam sepuluh. Kok gue g****k ya tadi? Jam tidur Febi gue yang manis kayak kismis ‘kan jam sembilan, kenapa juga tadi gue asal nyerocos aja? Ya ‘kan gue nggak tahu kalau bundanya yang telefon, terus kenapa gue disuruh ke rumah? Mau ngomong sesuatu? Apa, ya? Gue ribet sama pikiran gue sendiri sampai nggak kerasa gue udah sampe di depan gerbang rumah Febi. Gue parkir dan mengetok pintu, baru dua kali gue mengetok, udah keluar bundanya Febi. “Nak Nathan, ayo masuk.” “Iya, Tan.” Gue masuk dan duduk di kursi depan Bundanya Febi. “Maaf, Tante ganggu kamu malam-malam gini.” “Nggak kok, Tan. Tante mau ngomong apa ya?” “Hmm, begini. Masalah Febi, Tante mau tanya sama Nak Nathan. Apa Nak Nathan serius sama anak Tante?” “Saya serius, Tan. Saya nggak pernah seserius ini. Saya sayang sama Febi.” “Kamu nggak akan ninggalin anak Tante setelah apapun yang akan Tante bicarakan setelah ini? Kamu yakin?” “Saya yakin seratus persen, Tan. Karena saya bisa menerima semua kekurangan Febi dengan senang hati, saya udah terlanjur cinta sama Febi,” ucap gue mantap. “Bagus kalau begitu. Tante mau ceritain semua rahasia anak Tante ke kamu, kamu berhak tahu ini.” Gue mulai menajamkan pendengaran gue, apalagi saat melihat ekspresi Bundanya Febi yang mulai serius, matanya berkaca-kaca. “Febi, dia punya trauma. Trauma masa kecil yang sampai sekarang masih menghantui dia. Dia dulu anak yang manis, manja, anak yang ceria. Dia juga cengeng dan cerewet. Febi sering mengajak teman-temannya ke rumah. Dia punya banyak teman main. Tapi sekarang dia pendiam, penyendiri, dia nggak mau bergaul sama siapa-siapa, dia sering murung, dia gak ceria seperti Febi yang dulu. Febi, mata dia sehat, Nak. Dia pakai kacamata cuma biar dia kelihatan culun, biar nggak ada yang mau berteman sama dia. Biar orang-orang nggak mau deketin dia. Bukannya Tante nggak tahu kalau Febi di-bully di sekolahnya, Tante tahu. Tapi Tante nggak bisa ngapa-ngapain. Febi ....” Akhirnya air mata Bundanya Febi turun, gue ngambilin tisu di meja dan memberikannya. “Maaf, Tan. Tapi trauma Febi apa?” tanyaku to the point, Bundanya Febi nyeritain akibatnya aja dari tadi, gue penasaran banget sebabnya apa? Pacar gue punya trauma apa? “Febi bukan anak Tante. Tante cuma bibinya Febi. Tapi Febi emang biasa manggil Tante dengan sebutan ‘bunda’ dari kecil. Papanya Febi meninggal dan mamanya Febi ada di rumah sakit jiwa.” “Maksud Tante ...? Tunggu, gimana bisa?” “Waktu itu hujan deras banget, Febi masih kelas 4 SD. Dia merengek minta pergi ke Dufan, mama papanya sayang banget sama Febi. Mereka selalu manjain Febi, mereka tetap pergi meskipun hujan petir kayak waktu itu. Tapi sebelum mereka sampai di Dufan, mobil mereka mengalami kecelakaan. Febi sama mamanya berhasil selamat karena papanya mendorong mereka keluar dari mobil sebelum mobil itu meledak. Papanya Febi meninggal di tempat kejadian. Mamanya depresi karena suaminya meninggal dan perusahaan mereka bangkrut. Sejak saat itu Febi selalu menyalahkan dirinya sendiri sebagai pembawa sial bagi orang tuanya. Sampai sekarang setiap turun hujan, Febi pasti pusing dan mual. Apalagi saat hujan dan petir, dia pasti sangat ketakutan. Tante nggak tahu kenapa, tapi tiap Tante bawa ke dokter. Dokter bilang dia baik-baik saja, dia juga nggak akan mau kalau diajak ke Dufan. Dia juga takut kalau di tengah keramaian, dia nggak suka tempat ramai. Trauma Febi aneh, tapi itu merubah banyak hal buat Febi, kamu mau ninggalin Febi setelah dengar cerita Tante?” Gue terkekeh pelan. “Saya udah bilang kalau saya cinta sama Febi. Saya akan jaga Febi sebisa saya, Tan. Yang Tante ceritain tadi bukan apa-apa buat saya.” Gue tersenyum. “Tante mau kamu janji sesuatu, Nak.” “Janji apa, Tan?” “Tolong kembalikan Febi yang dulu. Febi tanpa kacamata, yang ceria, cerewet, manja, Febi yang manis. Hilangin semua trauma dia, Tante mau Febi kembali, dan jangan bikin dia nangis.” “Saya janji, Tante.” Gue melihat Bundanya Febi terkekeh pelan. “Pertama kali kamu dateng nganterin Febi yang ketiduran, Tante udah bisa melihat kalau kamu sayang sama Febi. Tante semakin yakin sekarang, terima kasih sudah menerima Febi.” “Kehormatan buat saya bisa bersama Febi.” Gue menatap Bundanya Febi dengan senyuman lembut.   ^^FLASHBACK OFF^^   Gue melamun sampai suara lembut menyapa telinga gue. “Dit.” Gue senyum dan menyuruhnya duduk di pangkuan gue. Yap, Febi menginap di rumah gue sesuai perintah bunda. “Kenapa belum tidur? Jam tidur kamu udah lewat, Sayang.” Gue menarik pinggangnya untuk mendekatkan tubuhnya ke arah gue. “Febi nggak bisa tidur. “ “Kenapa? Kamarnya nggak enak?” Febi tidur di kamar tamu, itu permintaanya sendiri. Gue nggak bisa nolak, daripada minta pulang. “Pusing.” Febi meluk gue, gue ngelus punggungnya pelan dan nggak sengaja melihat ke arah jendela. Sialan! Hujan! Kok gue nggak sadar sih? “Tidur sama Adit, ya?” Gue coba ngebujuk Febi lembut. “Nggak mau, Dit.” Febi merengek. “Adit nggak akan macam-macam, Sayang. Trust me.” “Janji, ya?” “Promise.” Gue gendong Febi ala bridal style dan menurunkannya di ranjang, gue juga ikut tiduran di samping dia. “Dit, Febi takut.” “Takut apa, Sayang? Aku di sini. Sekarang tutup mata kamu, tidur, ya. Adit peluk,” ucapku sambil menarik Febi ke pelukanku dan menyelimutinya bersamaku. Gue mengelus punggung dia lembut sampai dia tidur, mukanya unyu banget kalau lagi tidur. Gue ngecup bibirnya yang agak terbuka lembut. Gue lepas kacamatanya dan menyimpannya di laci nakas. “Nice dream, Bi.”   TBC  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN