PART 8

1611 Kata
^^Febiola POV^^   Aku membuka mataku pelan dan mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk melalui celah tirai. Hal pertama yang aku lihat adalah Adit. Adit masih tidur, aku mengusap pipinya pelan, dia tak terganggu sama sekali. Tangannya masih memeluk tubuhku erat, hangat, aku menyukainya. Semalam hujan, aku lega karena itu bukan hujan petir. Aku tidak mau menyusahkan Adit dengan ketakutanku tanpa sebab. Tapi kepalaku benar-benar pusing dan aku mual, aku sudah muntah beberapa kali. Walaupun masih terasa sedikit mual, setelah muntah aku jadi sedikit lega. Tapi pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi seiring derasnya hujan di luar. Sampai kapan? Sampai kapan aku seperti ini? Ini memuakkan. Aku tak bisa tidur dengan kepalaku yang terus berdenyut-denyut, maka dari itu aku berjalan keluar kamar dengan sedikit limbung untuk mencari Adit. Dan menemukan Adit sedang melamun di depan televisi yang menyala. Aku melirik jam di nakas, jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku harus bersiap-siap ke sekolah. Senin ada upacara bendera, jadi harus datang lebih awal. “Dit. Bangun, udah pukul setengah enam.” Aku menggoyangkan bahunya pelan, Adit mengerjapkan matanya dan tersenyum setelah melihatku. “Pagi, Bi,” ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur. “Pagi, Dit. Bangun, yuk. Adit mandi dulu. Febi buatin sarapan, ya?” Adit mengusap pipiku pelan. “Biar bibi yang bikin sarapan, Febi mandi di sini aja. Adit mandi di kamar bawah.” “Iya,” jawabku seadanya. “Masih pusing?” tanya Adit sambil mengusap kepalaku. “Udah nggak kok.” “Kalau masih pusing kita bisa ke dokter. Febi istirahat aja hari ini, nggak usah ke sekolah. Biar Adit yang urus izinnya.” “Nggak kok, Dit. Febi udah nggak papa.” “Benar nggak papa?” “Iya,” jawabku singkat. “Iya,” ucap Adit menirukanku dengan wajah mengejek. Aku memukul lenganya pelan. “Apaan sih!” “Habisnya kamu, iya iya aja dari tadi. Iya apa, Sayang?” jawabnya menarik tubuhku mendekat. “Iya udah nggak papa, Dit. Udah nggak pusing,” jawabku menjelaskan. Adit mengecup bibirku. “Kirain iya pengin dicium.” “Ih, Adit!” Adit terkekeh dan melepaskan pelukannya lalu bangun. “Mandi, yuk. Nanti telat.” Aku bangun dan mengangguk. “Iya.” “Iya apa nih? Iya mandi bareng?” godanya. “Ih, Adit!!!” Adit tertawa pelan. “Adit ke bawah, ya. Kalau minta apa-apa tinggal panggil bibi aja.” “Iya, panggil bibi,” jawabku cari aman. Adit terkekeh lagi dan mengacak rambutku. “Gemesin banget sih pacar aku. Adit ke bawah, ya.”   ----   Aku baru saja selesai mandi dan memakai seragam, menyisir rambutku. Aku baru saja akan turun saat mengingat sesuatu, di mana kacamataku? Aku melihat ke sekeliling, aku tidak melihat kacamataku di mana-mana. Aku mengacak-acak kasur yang tadi sudah kubereskan. Tidak ada, lalu di mana? Aku membuka laci nakas, kosong. Tak ada apapun di sana. Aku mendengar Adit memanggilku dari lantai bawah. “Bi! Turun, Sayang. Sarapan, yuk!” Adit. Adit pasti tahu di mana kacamataku. Aku masih memakainya saat tidur dan aku tidur dengan Adit. Pasti Adit yang menyimpannya. Aku berlari turun ke bawah, Adit menatapku horor saat aku sudah di hadapannya. “Ngapain lari-lari sih, nanti jatuh gimana?!” Oh ayolah. Aku tak peduli itu lagi. “Dit, lihat kacamata Febi nggak?” “Kacamata apa, Bi? Udah nanti aja, ayo sarapan dulu,” jawab Adit yang terkesan mengalihkan perhatianku, aku menyentakkan tangan Adit yang baru akan menuntun tanganku untuk duduk. Adit menatapku, aku balas menatapnya sengit. “Adit yang nyembunyiin kacamata Febi, kan?” tanyaku tajam. “Aku nggak nyembunyiin apa-apa, udah ayo duduk. Sarapan dulu, Bi. Kacamatanya nanti saja.” “Bohong, mana kacamata Febi?!” “Aku nggak bohong, Sayang. Aku nggak nyembunyiin kacamata kamu, ngapain juga disembunyiin? Udah aku buang waktu kamu mandi,” jawabnya santai “Kenapa dibuang!” “Emangnya buat apa? Mata Febi nggak papa, kan? Buat apa pakai kacamata segala, udah ayo sarapan. Nanti kita telat, Sayang.” “Nggak usah sekolah sekalian!” teriakku kesal, aku baru saja akan lari ke atas saat merasakan cengkraman di tanganku, sakit. “Adit apaan sih!” “Kamu yang apa-apaan! Cuma karena kacamata yang nggak ada fungsinya kamu berani bentak aku!” “Sakit, Adit! Lepas!” Aku mulai menangis. Tanganku sakit, aku sedang kesal. Dan Adit terlihat menyeramkan saat marah, kenapa jadi begini! Tapi kurasakan perlahan cengkraman Adit melemah, tangannya beralih ke pinggangku dan menarikku mendekat, mengangkat daguku. “Dengerin aku, apa yang sebenernya kamu takutkan? Ada aku, Sayang, Percaya sama aku.” “Kamu nggak ngerti. Kamu nggak ngerti!!!” teriakku. “Apa yang aku nggak ngerti?! Bilang sama aku! Bilang sekarang!” bentak Adit di depan wajahku, aku tak pernah lihat Adit semarah ini. “Hiks.” Aku terisak pelan dan menundukkan kepalaku. Adit memelukku dan mengusap punggungku lembut. “Kecelakaan itu sama sekali bukan salah kamu, Bi,” ucapan lembut Adit membuat mataku membulat seketika. “Kamu tahu dari mana?” tanyaku cepat. “Penting aku tahu dari mana?” tanya Adit santai. “Adit!” bentakku. “Apa lagi?!” Adit balik membentakku. Aku menunduk dan diam. Aku tak mau membuat Adit lebih marah lagi. “Udahan bentak akunya? Sekarang aku tanya, apa fungsi kacamata itu? Febi minus? Silindris?” “Nggak ada,” lirihku. “Nggak ada, kan? Sekarang buat apa dicari? Kacamata yang kamu cari itu bikin kita nggak sekolah dan malah berantem hari ini.” “Maaf,” lirihku. Adit menghela napas dan mengusap rambutku pelan. “It’s okay, Bi. Maaf juga udah bentak kamu.” “Iya.” Adit terkekeh pelan dan memelukku. “Kumat iyanya.” “Yaudah nggak jadi,” kesalku. Adit terkekeh lagi dan melepaskan pelukannya. “Aku nggak mau lagi kamu sok-sok jadi nerd buat dijauhin orang. Aku nggak suka, janji sama aku.” “Iya.” “Iya apa?” “Iya, janji.” “Yaudah ayo sarapan.” Aku dan Adit duduk menikmati sarapan kami pagi ini, sampai suara Adit terdengar memecah keheningan. “Habis ini ganti baju, ya. Aku tunggu di luar.” “Mau ke mana?” “Ke mal.” “Febi nggak suka belanja.” “Cuma beli hadiah buat Aldo, Sayang.” “Kak Aldo ulang tahun?” “Iya, acaranya nanti malam. Kamu temenin aku, ya.” “Tapi Febi ‘kan nggak diundang.” “Kamu nggak perlu undangan, Bi.” “Nggak mau ah.” Adit menghela napas dan mengotak atik ponselnya, tak lama terdengar bunyi menyambungkan. Adit meletakkan ponselnya di meja, terdengarlah suara konyol yang membuatku menahan senyum. “Apaan, Nath? Mentang-mentang sekolah punya nenek moyang, seenak jidat aja nggak masuknya. Gue bilangin ibu negara tahu rasa lo!” “Bacot, lo. Orang ibu negaranya juga lagi sama gue.” “Wah wah wah. Emang lo bawa pengaruh buruk buat Febi, Nath. Putus aja sana,” ucap Kak Aldo asal ceplos. “Lo cari mati, ya? Jangan sampai hari lahir lo jadi hari kematian lo juga, Do. Bercanda lo nggak lucu.” “Iya iya. Sensitif amat, Bang.” “Bodoh.” “Eh iya sekalian, ibu negaranya diajak ya, Nath. Pesta gue asik kok nanti, gue ngundang banyak.” Adit menatapku. “Dengar, Bi? Kamu diundang VIP, Sayang.” “Wah wah, apa nih sayang sayang? Gue normal, Nath!” “Bukan buat lo, somplak!” sewot Adit, aku terkekeh pelan. Mereka lucu sekali. “Oh buat ibu negara, ya? Ibu negara, kok nggak ke sekolah sih? Abang Aldo kangen, nih.” “Ngomong apa lo barusan?” sela Adit cepat. “Bercanda, Nath.” “Nggak lucu!” “Happy birthday, Kak Aldo,” ucapku menyela pertengkaran kecil Adit. “Makasih, cantik. Nanti malam datang ya ke pestanya Abang Aldo,” ucapnya sok imut. “Gue gampar lo, Do.” “Hahaha, yaudah ya. Bang Aldo sibuk. Feb, awas ada anjing galak.” Tutt ... tutt ... sambungan terputus, Kak Aldo menutup telefonnya. “Minta dihajar itu anak,” gerutu Adit, membuat aku kembali terkekeh.  Adit tak pernah sedetikpun melepaskan tanganku saat sampai di mal. Aku membiarkannya, ini membuatku merasa aman. Aku hanya terus mengikuti langkah Adit menuju tempat-tempat yang menjual kamera. Katanya Kak Aldo lagi suka foto-foto, aku bahkan belum tahu mau beli apa.   ^^Nathan POV^^   Gue nggak ngelepasin tangan Febi sedetikpun, selain karena bunda bilang Febi takut di keramaian. Ada satu lagi alasan gue. Cowok-cowok jelalatan yang dari tadi melirik-lirik ke Febi, sumpah pengin gue colok mata cowok-cowok yang dari tadi melirik-lirik Febi terang-terangan. Nggak lihat apa itu mata kalau Febi jalan bareng pacarnya. Tapi jujur aja, Febi emang cantik pake baju itu, bajunya sederhana. Orangnya aja yang emang dari sananya penuh pesona. Nyesel gue ngelarang Febi buat nggak tampil kayak nerd. Aduh pacar gue, cantiknya. “Bi, kamu mau beli hadiah apa?” “Nggak tahu, Febi belum dapat inspirasi.” Tangan gue beralih merangkul pinggangnya. “Jam aja gimana?” “Febi nggak bawa uang banyak. Bunda belum ngasih uang bulanan,” jawab Febi cemberut, astaga gemesnya. “Aku yang ngajak. Ya aku yang bayar.” “Kok gitu?” “Uang aku ‘kan uang kamu juga, Bi.” “Emangnya udah nikah? Nggak ah.” “Nanti juga kamu nikahnya sama aku.” “Ih pede.” “Ya terserah kamu sih, kalau kamu nikah sama yang lain. Aku penggal orangnya.” “Ih, Adit. Seram ah.” “Makanya nikahnya sama aku aja.” “Nggak mau. Adit serem, nanti Febi yang dipenggal,” jawabnya bergidik ngeri. “Ngapain dipenggal? Istri sendiri mah enaknya di ena-ena, Bi. Bukan dipenggal,” balas gue menggodanya. “Ih, Adit!” Aku terkekeh geli, sumpah pacar gue gemesin parah. Jadi makin sayang. TBC    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN