^^Febiola POV^^
Sudah satu minggu sejak kejadian keningku terluka, semua hariku bejalan dengan penuh lika-liku. Posesifnya Adit rasanya semakin menjadi-jadi. Aku tidak berani melawan, mengingat apa yang Adit lakukan ke Reisa kemarin. Kak Adit menampar Reisa sampai keningnya terantuk meja, sama sepertiku. Memukul tengkuknya dengan tongkat baseball, dan yang terakhir menggores panjang betis mulus Reisa. Aku sempat marah dan tak ingin bicara dengan Adit setelah tahu kejadian itu. Tapi setelah Adit mengucapkan sepenggal kalimat yang menurutku benar-benar menakutkan.
“Aku tahu kamu marah sama aku. Tapi kamu nggak bisa nyuekin aku kayak gini, Bi. Semakin lama kamu nyuekin aku, kita lihat nanti. Cowok yang pegang kamu waktu itu siapa? Wisnu? Aku bisa melakukan hal yang lebih parah dari yang aku lakukan ke Reisa. Dia cowok, sama kayak aku. Nggak ada toleransi buat dia, Bi. Aku bisa hajar dia, sampai mati, Sayang.”
Aku tentu saja takut setengah mati, nggak ada yang mustahil buat Adit. Dia bisa ngelakuin apa saja, dia punya uang, dia punya koneksi, and he’s king! Jadi, aku menurut saja apa yang dia bilang.
Tapi ada beberapa keuntungan yang aku dapatkan, ah bukan beberapa, tapi banyak keuntungan yang aku dapatkan selama jadi pacarnya Adit.
Satu, keamanan. Adit benar-benar membuktikan ucapannya tentang hal itu, kemarin aku hampir saja tertabrak mobil karena tidak berhati-hati saat menyebrang jalan raya. Adit menyelamatkanku dengan mengorbankan dirinya. Adit masuk rumah sakit dengan banyak luka di tubuhnya. Aku benar-benar berterima kasih untuk itu.
Dua, kenyamanan, Adit benar-benar membuatku nyaman dengan segala kelembutan dan perhatian yang dia berikan kepadaku. Ya, walaupun kalau lagi marah serem banget, tapi aku nyaman sama dia.
Ketiga, tak ada satu orang pun yang berani mem-bully-ku di sekolah. Aku benar-benar bersyukur karena bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan dari mereka lagi. Dan keempat, kak Aldo, kak Kevin dan kak Bayu yang sangat suka menggodaku dan menjahiliku. Tapi dengan memasang wajah jengkel ataupun sedih, Adit akan memberikan ancaman-ancaman yang semakin kreatif setiap harinya untuk membuat ketiga kakak-kakak jahil itu tidak berkutik lagi. Kehidupanku benar-benar berubah dengan adanya Adit. Terima kasih Tuhan, aku akan berusaha untuk bisa mencintainya dengan segenap hatiku.
Dan mungkin ada yang keempat, aku mulai bisa menghalau trauma akan masa laluku.
^^Nathan POV^^
Hari ini gue, Kevin, Bayu dan Aldo lagi berdiri di depan kelas princess gue, Febi.
“Yaelah, Nath. Mau sampai kapan kita nungguin cewek lo? Lagian sih yang lain udah keluar, kenapa cewek lo masih di dalam?” gerutu Bayu.
“Mata lo katarak? Febi lagi diajak ngomong sama Bu Mita. Ya bentar napa, sih!”
“Susah punya cewek kesayangan guru!”
“Bacot lo pada!”
Tak lama keuarlah seorang wanita paruh baya dengan buku-buku di tangannya, dia menatapku heran dan bertanya,”Loh! Nathan kok ada di sini?”
“Ya terserah saya kali, Bu,” jawabku malas.
“Kamu biasanya kalau hari senin ‘kan selalu absen? Tumben sekali.” Gue mendecih pelan, ada suara lembut yang berasal dari punggung Bu Mita. Gue senyum melihat seseorang yang berbicara di sana
“Kak Nathan nggak bakalan bolos lagi kok, Bu. Iya, kan?” Senyum gue makin lebar, gue menghampiri dan mengacak rambutnya pelan.
“Udah nggak boleh bolos sama ibu negara, Adit bisa apa?” jawab gue menggodanya. Febi tersipu malu
“Apaan sih, Dit.” Gue terkekeh pelan, pacar gue manis banget kalau lagi malu.
“Terserah kalian lah. Ibu mau ke kantor dulu.” Gue melihat Bu Mita berjalan menjauh, gue beralih menatap Febi lagi.
“Mau makan di mana, hmm? Kantin? Kelas? Apa taman belakang?”
“Rooftop ya, Dit? Febi bawa bekal banyak kok. Buat Kak Aldo, Kak Kevin sama Kak Bayu juga ada,” ucapnya dengan senyum mengembang, senyumnya Febi menghipnotis gue. Mau nggak mau gue ikut senyum juga. Gue beralih ke tiga semprul yang kelihatannya girang banget.
“Sumpah ada makanan buat kita-kita? Gini dong, baru ibu negara kita.”
“Yaudah ayo ke rooftop, kotak bekalnya biar Bayu yang bawa,” ujar gue sambil menggenggam tangan Febi.
Sampai di rooftop, gue duduk di salah satu bangku kayu dan menarik Febi buat duduk di pangkuan gue. Di sini memang ada empat bangku kayu yang Bayu bawa buat kita biasa nongkrong, dan ibu negara belum pernah minta ke sini. Jadi belum sempat ambil bangku lagi, kesempatan juga sih buat deket-deket sama dia, lucky me!
“Adit suapin, ya. Aaa ....”
“Febi bisa sendiri kok.”
“Tapi aku mau suapin kamu.” Febi menghela napas dan membuka mulutnya, aku suka Febi akhir-akhir ini. Nurut.
Setelah makanannya habis, gue ngelus punggungnya dan menarik pelan tubuhnya biar lebih deket lagi sama gue.
“Adit sayang banget sama Febi. Kamu segala-galanya, Bi. Jangan pernah tinggalin aku.”
“Iya.”
“Promise, Bi?”
“I can’t promise.”
“Kenapa? Kamu punya rencana buat ninggalin aku?” tanyaku kesal.
“Bukan begitu ...” ucapan Febi terhenti, tiga semprul berdiri.
“Bapak sama ibu negara mau perang, kita makan di halaman belakang aja. Thank’s makanannya.” Gue nggak peduli sama mereka, gue tetap menatap Febi.
“Bi?”
“Nggak begitu, Dit. Kita ‘kan nggak tahu apa yang bakal terjadi nanti. Febi nggak mau ingkar janji sama Adit.”
Gue menatap Febi serius. “Aku nggak peduli sama yang terjadi nanti, aku nggak bakal biarin kamu pergi dari aku. Kamu dunia aku sekarang, Bi.”
“Adit. Febi cuma mikir realistis. Adit nanti juga pasti bosen sama Febi, kita pasti putus nanti. Febi nggak bisa janji sesuatu yang nggak mungkin, janji itu dit- ha, hmpp ....”
Gue melumat bibir Febi rakus, atas bawah bergantian. Posisi Febi yang lagi buka mulut memudahkan gue buat masukin lidah gue, mengabsen deretan gigi dia. Febi melawan, dia mendorong d**a gue.Tapi gue menahan tengkuknya buat melanjutkan ciuman ini, bibir Febi manis banget. Gue nggak bisa lepasin gitu aja, lagian gue kesel. Gue nggak suka Febi ngelawan gue. Gue nggak peduli asumsi dia, gue cuma pengen dia janji, just promise!
Febi memukul d**a gue keras, sepertinya kehabisan napas. Gue melepas ciuman gue, Febi langsung menarik napas dalam-dalam dan berdiri dari pangkuan gue. She’s angry.
“Apaan sih, Dit! Febi nggak bisa napas, Adit mau bunuh Febi, ya?” Gue ikut berdiri dan langsung memeluk dia.
“Aku hampir mati buat ngelindungin kamu kemarin, gimana mungkin aku mau bunuh kamu sekarang?” Febi terdiam dan membalas pelukanku, samar-samar gue dengar bisikan kecil.
“Ibu negara mah salah mulu!” Gue terkekeh dan mengusap rambutnya.
“Gemesin banget sih pacar aku. Makasih buat ciumannya, nggak bakalan aku lupain ciumannya ibu negara. Manis banget, Sayang,” ucap gue menggodanya.
“Ih, Adit!” Gue terkekeh pelan.
“ I love you, Bi.”
TBC