^^Febiola POV^^
Aku berbaring mencoba untuk memejamkan mataku di ranjang UKS. Tapi aku langsung terduduk dan berteriak.
“Aaaa!!!” teriakanku sepertinya mengejutkan Kak Aldo yang hampir saja terlelap di kursi samping ranjang.
“Sialan, lo! Apaan sih teriak-teriak segala!” semburnya emosi.
“Bosen, Kak. Febi itu nggak ngantuk. Mau balik ke kelas aja,” jawabku sambil memasang wajah semelas mungkin.
“Nurut kenapa sih, Feb? Diajak nggak pelajaran kok susah bener. Kan enak. Kalo lo balik, lo enak, nah gue? Gue bakal dihabisin sama Nathan. Udalah tidur aja, gue juga mau tidur,” ucap Kak Aldo sambil bersiap-siap untuk tidur kembali.
“Kak! Febi bosen. Ayo ngobrol sama Febi.” Kak Aldo langsung duduk lagi dengan wajah menahan emosi.
“Apalagi sih, Feb! Kalo bukan karena lo ibu negaranya Nathan, udah gue tendang ke kutub kali. Ngeselin abis!”
“Maaf,” ucapku menunduk, merasa bersalah mengganggu tidur Kak Aldo sampai mengamuk begini.
“Jangan nunduk-nunduk gitu. Kalo Nathan lihat, gue dikira macam-macam. Sekarang lo mau ngobrol apa? Gue ladenin. Tapi cepet, mau tidur nih!” Aku mengangkat kepalaku dan menatap Kak Aldo.
“Febi mau tanya tentang Kak Adit.”
“Adit? Maksudnya Nathan?”
“Iya. Kak Nathan.”
“Apa yang lo mau tahu?”
“Kenapa tiba-tiba Kak Nathan mau Febi jadi pacarnya? Masa lalunya? Keluarganya? Ya, pokoknya semuanya.”
“Hmm. Gue bingung mulai dari mana, tapi masalah Nathan mau lo jadi pacarnya, asli! Gue nggak tahu apa-apa. Nathan tiba-tiba bilang dia suka sama elo, terus mau lo jadi pacarnya. Tapi setelah melihat cara dia memperlakukan elo, gue yakin dia nggak main-main sama perasaannya. Gue senang Nathan pacaran sama elo, seenggaknya dia bisa jadi manusia normal kalo dia lagi sama elo.”
“Manusia normal?”
“Ya lo tahu lah, Feb. Senyum, ketawa, perhatian, khawatir, nangis, dan cemburu. Itu hal-hal kecil yang nggak pernah bisa Nathan lakuin. Tapi setelah lo masuk di kehidupan Nathan, lo ngerubah segalanya. Nathan hampir nangis karena khawatir sama lo pas lo di-bully Rara. Dia ngamuk karena Wisnu pegang-pegang elo. Dia cemburu, Feb. Dia senyum dan ketawa buat hal-hal kecil yang lo lakuin, dan banyak banget yang berubah sama Nathan semenjak lo ada di hidupnya.” Aku tercengang sesaat. Sebesar itukah pengaruhku?
“Mau tahu apalagi? Masa lalu Nathan? Gue, Nathan, Kevin dan Bayu udah berteman sejak TK. Gue tahu semua masa lalu Nathan. Nathan itu anak tunggal, dia pernah pacaran sekali pas SMP kelas 3, terus pacarnya selingkuh sama sepupunya. Semenjak itu, Nathan nggak pernah pacaran lagi. Orang tuanya Nathan dua-duanya sibuk, sibuk sama bisnisnya masing-masing. Nggak pernah pulang, nggak ada yang memperhatikan Nathan sedikit pun. Oleh karena itu, hati Nathan udah beku, Feb. Dia nggak pernah sekalipun dapat kasih sayang yang layak. Dia mati rasa, dia bikin onar cuma buat pelampiasan aja.” Kak Aldo menghela napas sejenak.
“Dia pintar kok aslinya. Dia selalu peringkat satu tanpa belajar. Dia bisa aja, Feb, macarin cewek satu sekolah yang nggak ada capek-capeknya ngejar dia. Tapi dia milih elo dan gue seneng sama pilihan dia. Gue harap lo bisa terus sama Nathan. Gue ngerti lo nggak cinta sama dia, mungkin belom aja, Feb. Percaya deh sama gue, Nathan bakalan jagain elo lebih dari dia jagain dirinya sendiri. Lo udah kayak dunianya Nathan yang baru. Dan perlu elo tahu, kalo lo udah masuk ke kehidupannya Nathan, lo nggak bakalan bisa keluar. Kalo lo mau tahu efek lo ke Nathan coba aja merengek ke Nathan, itu kata ajaib buat ngeluluhin Nathan sekarang.” Kak Aldo menjelaskan dengan panjang lebar.
“Kak Adit di rumahnya sama siapa?”
“Pembantu.”
“Cuma pembantu?”
“Siapa lagi emang? Karena itu Nathan cuma pulang ke rumahnya kalo mau tidur sama mandi aja. Makan sekalipun, Nathan nggak bakalan makan di rumahnya.”
“Ke-kenapa?”
“Nathan nggak suka makan sendiri. Dia pernah ke apartemen gue tengah malam cuma buat minta ditemenin makan sandwich. Gila nggak, tuh?”
Ceklek.
Pintu terbuka dan Adit ada di sana. Berjalan menghampiriku. Saat sampai di sampingku, Adit mencium keningku. “Kok masih di sini, Sayang?”
“Kan sama Adit suruh di sini.”
“Ini sudah jam istirahat, Bi. Seharusnya kamu makan sama Aldo. Kamu nggak boleh telat makan, Sayang”
“Tapi Kak Aldo nggak ngajak Febi.” Aku mengadu pada Adit. Kulihat Kak Aldo melotot ke arahku.
“Lo mau bikin cewek gue sakit, hah!” amuk Adit ke Kak Aldo. Aduh gawat, bisa ribut lagi nih.
“Dit, perut Febi sakit. Makan, yuk,” rengekku sesuai kata Kak Aldo tadi. Rengekanku itu sebuah kata ajaib.
“Mana yang sakit, hmm? Mau makan sekarang? Kita ke kantin, ya.”
“Nggak mau. Makan di sini saja.” Aku merengek membuat Adit terlihat kebingungan dan risau. Apakah benar efeknya sehebat ini?
“Do, lo ambil bekal sama obat Febi di kelasnya sekarang. Gue tunggu di sini, nggak pakek lama.”
“What the f**k, Nath! Gue mau ke kantin!”
“Lo bisa ke kantin setelah lo ambil bekal sama obatnya Febi ke sini. Ce-pe-tan!” Kak Aldo melirikku kesal dan berlari keluar, sepertinya ke kelasku. Adit duduk di sampingku dan memelukku, mengusap punggungku pelan.
“Bentar, ya. Bentar lagi Aldo sampai. Masih sakit? Mau ke dokter, sayang?”
“Nggak. Nunggu obat di Kak Aldo saja,” jawabku membalas pelukan Adit. Aku sudah memutuskan, mungkin Kak Adit memang membutuhkan kasih sayang kecil seperti ini dariku. Aku akan mencoba sebisaku untuk menerimanya. Ini seperti hubungan timbal balik, aku memberinya kasih sayang, Adit memberiku keamanan. Mungkin kasih sayang, perhatian juga. Tunggu! Apa ini adil?
TBC