"b******k kamu, Brian!" Suara Veona pecah di tengah sunyi ruangan hotel yang megah. Ia menghamburkan setumpuk uang ke udara. Lembaran-lembaran itu melayang, jatuh berantakan di atas ranjang, lantai, hampir memenuhi ruangan. Tangisannya pecah, menggema, memenuhi setiap sudut kamar.
Cahaya pagi yang menyelinap dari tirai tipis membingkai wajahnya yang kusut. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir. Tubuhnya yang terbalut selimut tipis gemetar hebat, bukan hanya karena dinginnya udara kamar, tetapi juga karena amarah, kehancuran, dan penghinaan yang ia rasakan.
Dengan tangan gemetar, ia meraih kembali secarik kertas yang sebelumnya ia baca. Tulisan tangan kasar itu seperti pukulan telak ke wajahnya.
"Ini bayaran untukmu."
Kata-kata itu terpatri tajam dalam benaknya, menusuk hati, mencabik sisa harga dirinya yang sudah hancur sejak lama.
"Ya Tuhan," bisiknya serak. "Dari sekian banyak doa yang aku pinta, mengapa justru doa sebaliknya yang Kau kabulkan!" Tangannya meremas kertas itu dengan keras hingga kusut, lalu melemparkannya ke lantai.
Veona terisak. Tubuhnya limbung, dan ia jatuh terduduk di tepi ranjang. Kepalanya terasa berat, denyut nyeri di pelipisnya masih belum mereda. Semalam terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Ingatannya datang dalam kilasan-kilasan kabur, musik yang menggema di klub, Brian yang muncul tiba-tiba dengan tatapan tajam, tangan kuat seorang pria yang membawanya ke ruang VIP, dan sentuhan—sentuhan yang terlalu familiar.
Air matanya mengalir semakin deras saat ia mencoba menyusun potongan-potongan ingatan itu. Semuanya kabur, tapi ada satu hal yang pasti. Brian telah menghancurkannya lagi. Bukan hanya sepuluh tahun lalu, tetapi juga sekarang, saat dia sudah berusaha mati-matian untuk bertahan hidup.
“Brian,” gumamnya pelan, penuh kepedihan.
Ia mendongak, menatap bayangannya di cermin besar yang tergantung di dinding kamar. Matanya yang memerah dan wajahnya yang pucat membuatnya nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. "Lihat dirimu, Veona," ujarnya lirih kepada pantulan di cermin. "Apa kau bahagia sekarang? Apa ini hidup yang kau inginkan?"
"Kau memang b******n Brian!" lirihnya dalam tangis.
Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke hari ketika hidupnya berubah total. Sepuluh tahun lalu, dia hanyalah seorang gadis muda penuh mimpi, bersemangat mengejar karir di dunia seni. Brian, cinta pertamanya, adalah bagian dari mimpi itu. Mereka sering bertemu di ruang musik, tempat mereka berbagi tawa, ciuman, dan janji-janji manis. Tapi satu hari bodoh menghancurkan segalanya.
Hari dimana, mereka tertangkap basah di ruang musik oleh guru dan beberapa siswa lainnya sedang berbuat hubungan intim. Desas-desus segera menyebar. Nama baik Veona hancur, keluarganya dipermalukan, dan Brian? Dia melarikan diri ke luar negeri saat pihak keluarga Veona menolak untuk berdamai dan membuat pernikahan. Sejak saat itu, hidup Veona tak lagi sama.
Tangisannya semakin menjadi. “Brian, ini semua salahmu," bisiknya, meski tak ada siapa pun di ruangan itu yang bisa mendengar. "Kau mengambil semuanya dariku. Kehormatanku, keluargaku, hidupku. Kau meninggalkan aku sendirian untuk menghadapi neraka."
"Andai saja aku tidak mengikuti hasrat bodohmu itu, andai saja aku tidak lemah karena mu."
Namun, di balik amarah dan rasa sakitnya, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatnya semakin benci pada dirinya sendiri—ia masih mencintai Brian. Meski ia tahu seharusnya tidak, hatinya masih menyimpan perasaan itu, seolah-olah cinta pertamanya tak pernah benar-benar pergi.
“Aku benci kau,” Veona berbisik pelan, suara itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. “Tapi kenapa aku masih merindukanmu?”
Perasaan itu bercampur menjadi racun di dadanya, membuatnya ingin berteriak, menangis, dan menghancurkan semuanya. Brian adalah luka yang tak pernah sembuh, dan saat ia mencoba menutupnya, pria itu datang lagi, merobeknya lebih dalam.
“Kenapa kau datang lagi?” gumamnya penuh rasa sakit, namun juga kerinduan. “Kenapa kau terus menghancurkan aku?”
Tangan Veona mengepal kuat. Matanya menatapnya dengan benci, tapi juga dengan kerinduan yang menyakitkan
"Aku tidak akan membiarkan kau menghancurkan aku lagi, Brian! Tidak lagi!”
Veona kembali duduk di tepi ranjang. Napasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar hebat. Namun, di tengah kehancurannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—kemarahan yang tidak hanya diarahkan pada Brian, tetapi juga pada dirinya sendiri. Ia tahu ia harus berhenti menyalahkan takdir, berhenti menyalahkan Tuhan. Jika ia ingin bertahan, ia harus melawan.
Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan, menatap ke arah tumpukan uang yang berserakan di lantai. Hatinya sakit melihatnya, tapi ia tahu uang itu mungkin satu-satunya cara untuk melanjutkan hidupnya.
“Brian,” gumamnya lagi, kali ini lebih tenang, tapi penuh tekad. “Jika kau pikir aku lemah, kau salah. Aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bisa bangkit, tanpa kau, tanpa siapa pun.”
Namun, jauh di lubuk hatinya, Veona tahu itu tidak akan mudah. Luka lama itu masih menganga, dan cinta yang bercampur benci itu masih membelenggunya. Tapi dia berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan membiarkan Brian merusak mimpi-mimpinya.
"Aku harus pulang," gumamnya, Veona meraih tas kecilnya yang tergeletak di lantai kamar hotel. Kepalanya masih berdenyut, tetapi ia berusaha mengabaikannya. Langkahnya menuju pintu terhenti saat matanya kembali menangkap tumpukan uang yang berserakan di atas ranjang dan lantai.
Ia terdiam, memandang uang itu dengan campuran rasa jijik dan frustrasi. Hatinya menolak untuk menyentuhnya, tetapi kenyataan lain menggerogoti pikirannya.
“Aku tidak mungkin tidak membawa pulang apa pun,” gumamnya, suara itu nyaris tenggelam dalam keheningan. “Papa dan Mama pasti akan marah."
Wajah kedua orang tuanya muncul dalam benaknya. Tatapan mereka yang penuh kekecewaan, ucapan dingin mereka yang selalu menohok hati. Veona tahu betul, mereka tidak pernah benar-benar memaafkannya atas apa yang terjadi sepuluh tahun lalu.
“Andai saja kejadian di ruang musik itu tidak pernah terjadi,” lirihnya, hampir seperti doa yang terlambat. “Mungkin Papa dan Mama masih menyayangiku seperti dulu. Mungkin mereka tidak akan membenciku seperti ini.”
Ia menelan ludah, rasa pahit membakar tenggorokannya. Tangan gemetar mulai memunguti uang yang ia hamburkan sebelumnya. Setiap lembar uang yang ia sentuh terasa seperti cambukan pada harga dirinya, tetapi ia terus melakukannya, dengan gerakan mekanis dan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak melakukan ini untuk diriku sendiri," gumamnya, mencoba membenarkan tindakannya. "Ini untuk mereka, untuk membuktikan kalau aku masih berguna."
Setelah selesai, Veona memasukkan uang itu ke dalam tasnya, seolah mencoba menyembunyikan rasa malu bersama dengan uang itu. Napasnya berat saat ia berdiri dan merapikan diri seadanya. Pikirannya terus berputar, mengingat setiap penghinaan yang diterimanya dari orang tuanya selama bertahun-tahun. Semua itu berakar pada satu hari sial yang telah menghancurkan hidupnya.
“Veona, kau sudah mencoreng nama keluarga ini!”
Kalimat itu masih terngiang jelas di telinganya, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Ia menggeleng, mencoba mengusir bayang-bayang itu dari pikirannya.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Notifikasi dari aplikasi taksi online muncul di layar. Pengemudinya sudah menunggu di lobi. Dengan langkah cepat, Veona keluar dari kamar itu, meninggalkan aroma pengap dari kenangan buruk semalam.
Perjalanan pulang itu diisi dengan keheningan, hanya ditemani suara klakson kendaraan lain di jalanan pagi yang sibuk. Di dalam mobil itu, Veona duduk dengan pandangan kosong, menggenggam tasnya erat-erat, seolah-olah tas itu adalah satu-satunya yang bisa memberinya rasa aman.
Namun, di balik genggaman itu, pikirannya terus berperang. Antara kebenciannya pada Brian, penyesalannya terhadap masa lalu, dan rasa tertekan dari ekspektasi keluarganya, Veona tahu satu hal, dia terjebak dalam lingkaran yang tampaknya mustahil untuk ditembus.
Sesampainya di rumah, ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Wajah Papa dan Mamanya langsung muncul dari ruang tamu, tatapan mereka penuh penghakiman. Sebuah tatapan yang rasanya ingin Veona hindari.
"Mustahil mereka menyapaku dengan senyuman," katanya terdengar getir.