1.Saat keluarga memaksa untuk berpisah, tetapi waktu menyatukan kembali mereka.

1377 Kata
Lampu strobo berputar cepat, melukis keramaian klub malam dengan warna-warna neon. Musik berdentum keras, menenggelamkan suara-suara di sekitar. Di tengah kerumunan, Veona menari di atas panggung kecil. Tubuhnya bergerak luwes, gaun hitamnya mencuri perhatian. Namun, matanya kosong, seakan terpisah dari hiruk-pikuk sekitarnya. Di meja VIP, Brian duduk sambil menyesap minumannya. Malam itu awalnya hanya untuk melepas penat bersama kolega. Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tidak mungkin dilupakannya. Dia berdiri dengan gerakan tiba-tiba, menatap lekat-lekat ke arah panggung. "Tidak mungkin," gumamnya. Tanpa pikir panjang, Brian berjalan cepat melewati kerumunan, mendekati wanita yang baru saja turun dari panggung. Veona sedang menyeka keringat di lehernya dengan handuk kecil saat dia berbalik. Pandangannya bertemu langsung dengan pria itu. "Brian," suaranya pelan, tapi penuh ketegangan. Brian menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Veona. Jadi ini benar-benar kau." Dia mendekat, ekspresinya berubah menjadi tajam. "Apa ini kau sekarang? Berdansa di depan pria-pria mabuk untuk apa? Beberapa lembar uang?" Veona mendengus, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Kau punya masalah dengan itu?" Brian tertawa pendek, getir. "Aku tidak percaya. Dulu kau adalah gadis yang paling suci, punya mimpi besar. Sekarang kau di sini? Aku pikir kau menari hanya untukku." Veona menatapnya dengan tajam, matanya mulai berkaca-kaca. "Dan kau masih suka menilai orang tanpa tahu apa-apa, ya? Seperti sepuluh tahun lalu." Brian menyipitkan matanya, suaranya rendah namun menusuk. "Sepuluh tahun lalu, kau juga membuat pilihan buruk. Ingat bagaimana kita tertangkap di ruang musik? Kau menghancurkan semuanya, Veona." Veona mendekat, bibirnya bergetar menahan emosi. "Aku menghancurkan semuanya? Kau yang lari, Brian! Kau pergi, meninggalkan aku menghadapi semuanya sendirian." Brian terdiam, tetapi hanya sesaat. Dia membalas dengan nada sinis, mencoba mempertahankan kendali. "Aku tidak punya pilihan! Keluargaku memaksa aku pergi ke luar negeri, Dan bukankah keluargamu juga tidak sudi aku menjadi bagian dari keluargamu." "Kau tidak punya pilihan?!" Veona nyaris berteriak. "Kau benar-benar terlihat pecundang! Bahkan kau tidak pernah menghubungi aku, Tidak pernah bertanya bagaimana keadaanku setelah semua orang mempermalukan aku?!" Brian terdiam, mencoba menghindari tatapan tajam Veona. Veona tertawa kecil, tapi ada getir dalam suaranya. "Tahu tidak? Setelah kau pergi, aku dikeluarkan. Keluarga aku kehilangan muka. Hidup aku berubah menjadi neraka. Dan sekarang kau datang ke sini, mencemooh aku? Kau tidak tahu apa-apa, Brian." "Aku tidak mencemooh." Suara Brian melemah. "Aku hanya, tidak menyangka kau berakhir seperti ini." "Berakhir seperti ini?" Veona mendekat, hampir menantang. "Kau pikir aku memilih hidup seperti ini? Kau pikir aku punya pilihan setelah semua yang terjadi? Jangan sok tahu, Brian. Kau tidak tahu apa yang harus aku korbankan untuk bertahan." Brian menelan ludah, rasa bersalah mulai merayap ke wajahnya. Dia mencoba meraih tangan Veona, tetapi wanita itu mundur dengan kasar. "Aku tidak butuh simpati dari kau," kata Veona dingin. "Kau sudah cukup menyakiti aku sepuluh tahun lalu. Jangan pikir kau bisa datang dan memperbaiki semuanya hanya dengan kata-kata." Veona berbalik, melangkah menjauh. Namun sebelum menghilang di kerumunan, dia berhenti sejenak, menoleh, dan menatap Brian dengan tatapan yang menusuk. "Kau mungkin sudah melupakan semuanya, Brian. Tapi aku tidak, ruang musik dan kehormatanku saksi dari luka yang masih ada, bahkan setelah sepuluh tahun." Brian hanya berdiri terpaku, melihat punggung Veona menghilang di antara keramaian. Malam itu, kenangan yang ia kira telah terkubur kembali menghantui, membakar luka lama yang belum pernah sepenuhnya sembuh. Saat Brian masih terdiam, seseorang dari bayang-bayang mendekati Veona di kejauhan. Seorang pria, dengan setelan mahal dan tatapan tajam, menyentuh lengannya dengan penuh kepemilikan. Veona menoleh, berbicara sesuatu yang tidak terdengar oleh Brian. Tapi satu hal jela senyuman tipis pria itu, dan tatapan sinisnya yang terarah ke Brian, membuat darahnya mendidih. "Siapa dia?" Brian bergumam, hatinya terhantam oleh rasa penasaran dan cemburu yang tiba-tiba. Sebelum dia bisa mendekat lagi, Veona dan pria itu menghilang berjalan menuju bar. Veona duduk di bar, wajahnya tampak pucat dan terhuyung. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya tersenyum lebar, menyodorkan gelas minuman kepada Veona yang meminumnya tanpa ragu. Brian terdiam, melihat dengan hati yang tercekat. Tidak ada kebanggaan atau kemewahan dalam diri Veona saat itu, dia tampak begitu rapuh, terperangkap dalam dunia yang begitu jauh dari sosok yang Brian kenal dulu. “Ayolah sayang. Kenapa tidak kita nikmati malam ini lebih lama?” Pria itu tersenyum sinis. Veona hanya mendengus, matanya setengah terpejam, tubuhnya terhuyung-huyung. “Aku tidak mau, cukup.” Brian merasa amarahnya mendidih. Matanya tertuju pada Veona, yang kini tampak tak berdaya. Suara hatinya berbisik, membuatnya merasa seolah-olah dia tak bisa membiarkan wanita itu berada dalam situasi ini. Langkahnya semakin dekat, dan tanpa pikir panjang, Brian melangkah menuju meja itu. “Berhenti!” Suara Brian tegas, menggema di antara keramaian. Pria itu menoleh, tersenyum lebar. “Apa yang kau inginkan, bro? Ini urusan pribadi.” Brian berdiri tegak, matanya tajam menatap pria itu. “Aku akan membayar lebih. Dia pergi dengan aku sekarang.” Pria itu terdiam sejenak, lalu tertawa kasar. “Kau pikir uang bisa membeli segalanya?” Brian tidak ragu. Dia melemparkan tumpukan uang ke meja, jauh lebih banyak dari yang pria itu tawarkan. “Berapa pun itu. Aku beli dia malam ini.” Pria itu melihat tumpukan uang, lalu mengangkat bahu dan berdiri. “Baiklah, ambil saja dia." ia langsung memunguti uang tersebut. Veona terkejut, masih dalam keadaan setengah sadar, saat Brian menariknya perlahan. “Ayo, Veona, ikut aku,” katanya, suara penuh perintah dan kelembutan yang aneh. Veona yang sudah cukup mabuk, tampaknya mulai bingung dengan situasi yang terjadi. “Brian, apa yang kau lakukan?” Suaranya terdengar lebih lemah, namun ada desakan di dalamnya yang terasa emosional. Brian menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini, Veona. Kau bukan seperti ini. Aku tahu siapa kau, dan aku tahu kau tidak seharusnya di sini.” Veona menggelengkan kepalanya, setengah sadar. “Aku tidak peduli lagi, Brian. Jangan berpura-pura peduli sekarang,” ujarnya, hampir terisak. Brian terdiam sejenak, tapi rasa bersalah yang menyesakkan dadanya menggerakkan tubuhnya. Tanpa memperdulikan apapun, ia meraih tangan Veona dan menariknya berdiri Veona berjalan tertatih-tatih di sampingnya, tubuhnya hampir terjatuh jika tidak ditopang oleh Brian. “Jangan, Brian,” Veona menolak, tetapi tidak cukup kuat untuk melawan saat Brian menggenggamnya lebih erat. Dengan tubuh Veona yang sedikit terhuyung, Brian memimpin langkahnya keluar dari tempat itu dan menuju ke koridor hotel yang sepi. Tangan Veona gemetar di tangannya, dan Brian merasa seolah-olah seluruh dunia terasa menekan mereka. Sesampainya di kamar, Brian langsung menutup pintu dengan keras. Tidak ada kata-kata lagi antara mereka. Hanya napas yang terengah-engah di udara. Brian memandang Veona yang masih belum sepenuhnya sadar. Tanpa berbicara, ia mendekat, menggenggam dagunya, dan perlahan menarik wajah Veona ke arahnya. Ada perasaan rindu yang sulit di utarakan, Brian seperti merasa separuh perasaannya kembali lagi. Ciuman pertama itu tidak seperti ciuman biasa, itu adalah ciuman yang penuh dengan hasrat dan kerinduan yang terpendam. Tubuh Veona yang lemah memberi respon yang tak terduga, meski matanya masih kosong, ia membalas ciuman itu, seakan membiarkan dirinya terjebak dalam perasaan yang sangat mendalam. Tangan Brian bergerak dengan cepat, menanggalkan pakaian mereka satu per satu, seolah-olah mereka ingin menghapus segala rasa sakit yang pernah ada. Sebuah perpisahan yang dipaksakan oleh kedua orang tua mereka. Saat tubuh mereka saling berpadu, semuanya terasa seperti sebuah ledakan. Hasrat, penyesalan, dan keinginan yang tak terungkapkan selama bertahun-tahun. Brian merasa seakan-akan dia mengembalikan semua kenangan itu, kembali ke malam-malam yang dulu mereka habiskan bersama,canda tawa di sekolah dan ketulusan cinta mereka yang harus ditinggalkan. "Veona," desah Brian dalam kenikmatan, Ia terus mencumbui tiap inci tubuh yang pernah menjadi miliknya dulu. "Kau bisa menikmatinya lagi Brian," lirih Veona larut dalam keintiman. Mereka terus meluapkan rasa rindu, hasrat yang menumpuk. Memberikan bukti bahwa mereka masih saling mengharapkan, tetapi dunia seolah menyudahi kisah mereka dulu. Tetapi setelah semuanya berakhir, mereka berdua terdiam, terbaring dalam keheningan. Veona memandang langit-langit, tubuhnya masih terasa hangat setelah apa yang baru saja terjadi. Brian duduk di tepi ranjang, napasnya berat, seperti baru saja melewati badai yang luar biasa. "Apa yang baru saja kita lakukan, Brian?" Veona berbisik, suaranya hampir tak terdengar, namun penuh dengan kebingungan dan penyesalan. Brian menatapnya tanpa bisa memberikan jawaban yang pasti. “Aku tidak tahu, Veona,” katanya perlahan. “Aku hanya merasa merindukan segala sentuhanmu.” Veona menutup matanya, merasakan betapa luka lama itu terbangun kembali. Mereka berdua terjebak dalam sebuah lingkaran yang tak pernah bisa mereka hindari. "Aku harap kita tidak akan bertemu lagi setelah kejadian ini," gumamnya dengan mata terpejam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN