Anna menyimpan minuman yang tersisa setengah gelas. Kemudian bersandar pada kursi yang berada di kantin rumah sakit. Karena tidak ada luka yang cukup parah, mereka bisa langsung pulang sekarang tanpa harus rawat inap di rumah sakit.
"Sebenernya apa yang buat lo nangis kayak tadi? Gue liat, lo bahagia abis ketemu sama Daniel lagi, mantan terindah lo itu."
Anna mendengus kesal mendengar nama laki-laki itu di telinganya. "Berhenti nyebut nama dia. Gue gak mau lagi ada urusan sama dia."
"Kenapa? Bukannya lo bahagia---,"
"Gak! Gue gak bahagia, tapi gue tersakiti!"
Rainie menatap Anna dengan dahi mengerit bingung. "Gue gak ngerti sama lo. Emang nya apa yang udah dia lakuin sama lo?"
"Dia gak ngelakuin apa-apa. Cuma gue aja yang terlalu berharap lebih setelah kembali ketemu sama dia. Gue terjebak sama harapan indah yang gue buat sendiri. Gue memang perempuan bodoh yang gak layak mendapatkan cinta." Anna segera menyeka air mata yang baru saja membasahi pipi.
"Lo ngomong apa sih? Semua orang tentu berhak mendapatkan cinta. Termasuk lo, Anna."
Anna menatap tajam pada Rainie yang duduk di hadapannya. "Tapi kenyataannya enggak. Gue selalu tersakiti sama cinta."
Rainie menggelengkan kepala dengan tegas. "Cinta itu adalah rasa yang paling bahagia. Gak ada luka dalam cinta. Hanya aja, terkadang manusia yang salah mengartikan cinta yang sebenarnya. Gak sedikit manusia yang mengharapkan rasa itu pada seseorang yang sama sekali gak menyukai nya. Lalu setelah itu, mereka akan menyalakan cinta atas luka yang mereka dapat. Padahal luka itu ada karena harapan yang terlalu besar dan gak mencapai ekspetasi yang mereka dambakan."
Anna memicingkan mata curiga. "Lo udah kayak pakar cinta aja."
Rainie tergelak. "Cita-cita yang terpendam."
Anna mengambil napas dalam sebelum memberitahu kabar yang membuatnya patah hati pada Rainie. "Daniel udah nikah."
Kedua mata Rainie membulat sempurna, shock dengan apa yang baru saja dia dengar. "Ha, apa lo bilang? Lo lagi bohongin gue kan?"
"Buat apa gue bohong sama lo? Dia memang udah nikah tiga bulan yang lalu dan gue gak tahu perempuan mana yang beruntung bisa mendapatkannya."
Rainie menatap sendu pada Anna. Dia mengusap bahu Anna. "Ck, sabar-sabar. Ini udah cukup menandakan kalo lo dan Daniel emang gak berjodoh. Lo harus bisa lupain dia, Anna. Gak seharusnya juga lo nyimpen rasa sama orang yang udah menjadi milik orang lain."
Anna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Gue gak yakin bisa ngelakuin itu. Bahkan setelah tiga tahun terlewati, rasa cinta gue sama dia masih ada."
"Lo harus yakin sama diri lo sendiri, Anna. Gue tahu ini emang gak mudah. Tapi kalau lo gak mau berusaha buat lupain dia, berarti lo harus siap untuk selalu merasakan patah hati. Emang nya lo mau?"
Anna menggelengkan kepala dengan bibir mengerucut. Patah hati itu tidak menyenangkan. Siapa yang kuat menahan rasa menyakitkan itu?
Rainie memegang kedua bahu Anna. Menatap perempuan itu dengan serius. "Fighting, Anna! Gue yakin lo bisa move on dari Daniel."
"Ya! Gue pasti bisa!" Anna mengangguk mantap.
"Bagus."
Anna menghabiskan minumannya yang tersisa tadi.
"By the way, dokter yang tadi ganteng juga. Boleh lah, lo gebet dia." Rainie tersenyum menggoda sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
Anna tersentak kaget. "Jangan ngaco!"
"Lho, memang nya ada yang salah sama omongan gue? Dokter tadi emang ganteng maksimal, bahkan lebih ganteng daripada Daniel. Apa salahnya, kalo lo kejar cinta dokter ganteng tadi?"
Anna melempar kentang goreng padanya. "Berhenti godain gue!"
Rainie tergelak. Dia seringkali menggoda Anna.
"Oh iya, soal kerusakan sama mobil lo, gue bakal menanggung semua biayanya," ucap Anna mengalihkan pembicaraan.
"Gak perlu. Gue punya banyak mobil di rumah," jawab Rainie terseyum sombong.
Anna mendengus kasar. "Dasar sombong!"
"Gue emang kaya."
"Tapi lo adalah bawahan gue di kantor, jangan lupain itu." Anna tersenyum sombong.
Rainie memutar bola mata jengah. "Baiklah, kalau begitu mari kita kembali ke kantor Bu Bos!" Setelah itu mereka tertawa bersama.
Rainie sengaja bekerja di perusahaan William Corp agar bisa selalu bersama sahabatnya, Anna. Padahal dia juga berasal dari keluarga pengusaha seperti Anna. Dan bisa saja dia menjabat di posisi yang sama seperti Anna di perusahaan keluarganya.
•••
Malam semakin larut. Mesin pewaktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Anna masih belum bisa tidur. Merasa lapar, dia berjalan menuju dapur untuk mencari makanan yang bisa mengganjal perutnya.
Anna membuka kulkas, dia hanya menemukan sayuran dan beberapa minuman kaleng yang ada di sana. Anna mengusap perutnya yang berbunyi karena lapar. "Gue lupa nyiapin stok camilan."
"Anna," panggil Kinan membuat Anna menoleh ke arah sumber suara. "Kamu sedang apa, Sayang?"
"Bun, lapar," keluhnya sambil membuat gerakan melingkar di atas perut.
"Memang nya gak ada sisa makanan?"
Anna menggelengkan kepala dengan lesu. "Gak ada."
Kinan menghela napas panjang sembari mengusap puncak kepala Anna. "Mau Bunda masakin aja?"
"Aku pergi cari makanan keluar aja ya, Bun?"
"Mau beli apa?"
"Pengen beli ayam bakar di dekat taman, Boleh ya?"
"Memang nya masih ada jam segini?"
Anna mengangguk. "Masih. Biasanya tutup jam sebelas. Banyak anak-anak yang nongkrong juga kok di sana."
Kinan terdiam sejenak, khawatir terjadi apa-apa pada Anna. Apalagi dia seorang perempuan dan ini sudah sangat malam. "Minta tolong sama Mang Dadang aja ya, Sayang. Bunda khawatir terjadi sesuatu yang buruk sama kamu."
Anna mendesah kecewa. "Ih, Bunda. Jangan khawatir, aku bisa menjaga diri baik-baik kok. Lagi pula, kalo Mang Dadang yang beliin nanti siapa yang berjaga di depan? Kalo tiba-tiba ada maling yang masuk gimana?"
Kinan menatap ragu pada Anna.
"Bun, please...."
Dengan berat hati, dia pun mengangguk. "Tapi kamu harus janji sama Bunda, cepat pulang setelah dapat ayam bakar nya."
"Siap laksanakan!"
•••
Samuel mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia baru pulang dari rumah sakit setelah membantu dokter yang berjaga malam ini di sana. Karena ada beberapa pasien yang harus menjalani operasi dadakan dan dokter bedah di rumah sakit kurang, jadi Samuel pun turut membantu.
Dari jarak dua puluh kilometer, dia menangkap beberapa pria yang sedang mengganggu seorang perempuan. Dia segera menambah kecepatan mobil untuk membantu perempuan itu.
"Ayo lah cantik, kita bersenang-senang bersama."
"Gak! Pergi kalian!"
"Jangan takut, Sayang. Kita hanya mau bersenang-senang sama kamu, Cantik."
Perempuan itu menangis karena takut saat ketiga pria di depannya tidak berhenti mengganggunya.
"Hey, jangan menangis."
Saat pria berambut gondrong tersebut hendak menyentuh perempuan itu, seseorang dari arah belakang menendang nya dengan kencang hingga pria itu jatuh tersungkur di atas aspal.
"Pergi kalian." Samuel menatap datar ketiga pria b***t yang sedang menatapnya marah.
"Kurang ajar!"
Detik berikutnya, perkelahian terjadi tiga lawan satu. Perempuan itu segera berlari menjauh untuk melindungi diri. Suara pukulan yang terdengar, membuatnya semakin takut. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Tidak butuh waktu lama untuk Samuel bisa mengalahkan ketiga pria berbadan besar itu.
"Pergi sekarang atau kalian gak akan bisa melihat dunia lagi!"
Ketiga pria tersebut langsung langsung lari terbirit-b***t. Samuel menoleh ke arah perempuan yang sedang menangis sesenggukan di sana. Dia berjalan mendekatinya.
"Jangan nangis, lo udah aman sekarang."
Perlahan perempuan itu menurunkan tangannya hingga sekarang terlihat jelas wajahnya yang semula tertutup. Dia mendongak untuk melihat dan mengucap terima kasih pada orang yang telah menolongnya.
Selanjutnya, mereka terdiam dengan mata saling menatap. Di tempat dan suasana yang berbeda, Samuel kembali bertemu dengan perempuan yang tidak sengaja bertabrakan dengannya saat di rumah sakit. Perempuan itu adalah Anna.
"Kamu?"