Anna meringis pelan begitu melihat siapa orang yang telah menolongnya dari para p****************g tadi.
"Kamu yang tadi siang di rumah sakit 'kan?" Samuel bertanya hanya sekedar memastikan, jika ia tidak salah duga.
"Iya, Pak Dokter. Soal kejadian tadi siang di rumah sakit saya minta maaf. Dan terima kasih juga telah membantu saya, kalau gak ada Pak Dokter saya gak tahu nasib saya selanjutnya," ujar Anna.
Samuel mengangguk-anggukan kepala. "Iya, gak apa. Lagi pula saya gak mungkin diam saja, saat ada kejahatan di depan mata saya."
Anna tersenyum seraya mengusap jejak air mata di pipi. Perkelahian antar Samuel dan ketiga pria tadi sangat membuatnya ketakutan.
"By the way, kamu lagi apa sendiri di jalan malam-malam seperti ini?"
"Saya berniat membeli ayam bakar di dekat taman, Pak Dokter."
"Sendiri?"
Anna tersenyum mengangguk.
"Harusnya kamu gak pergi keluar sendiri di malam hari. Gak baik. Seperti tadi misalnya."
Sekali lagi Anna mengangguk mendengar ucapan Samuel. Dia menyesal karena tidak mau menuruti ucapan Kinan untuk meminta tolong pada Mang Dadang saja.
KRUYUKK....
Oh My God! Anna memejamkan mata sambil meringis malu saat perutnya berbunyi.
Samuel menahan diri untuk tidak menertawakan bunyi perut perempuan di depannya yang meminta segera di manjakan.
"Sepertinya kamu sudah sangat lapar. Bagaimana kalau saya antar kamu untuk membeli ayam bakar?"
Anna terbelalak kaget. "Eh, gak perlu, Dok. Saya bisa sendiri."
"Gak apa-apa, saya antar ke sana. Memang nya kamu mau kalau kejadian seperti tadi kembali terulang?"
Anna bergidik ngeri mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Dia menggelengkan kepala beberapa kali. "Gak mau."
"Ya sudah, ayo masuk ke dalam mobil saya."
Anna menatap wajah tampan dokter di hadapannya. Walau bagaimana pun, mereka tidak saling mengenal, dia harus tetap berhati-hati saat melakukan komunikasi dengan orang asing.
Melihat wajah Anna yang sedang menatapnya dengan tatapan menyelidik, Samuel terkekeh pelan. "Gak usah khawatir, saya gak akan melakukan kejahatan apapun sama kamu."
"Janji?"
Samuel tersenyum lalu mengangguk. "Saya janji. Gimana? Mau gak?"
Anna menarik napas dalam-dalam, kemudian dia mengangguk. "Iya, saya mau."
Mereka pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel mengemudikan mobilnya ke arah taman. Sepanjang perjalanan, Anna terlihat tegang dengan tangan yang terus memegang sabuk pengaman. Dia harus tetap tetap berjaga agar jika dokter tampan yang sedang mengemudi itu melakukan sesuatu yang tidak senonoh padanya, dia akan lebih sigap untuk melakukan perlawanan.
Samuel melirik pada Anna sekilas, senyum miring tercetak di wajah tampan nya. "Saya udah berjanji bukan, kalo saya gak akan melakukan apa-apa sama kamu? Jadi kamu gak perlu khawatir."
Anna cengengesan malu saat kewaspadaan nya tertangkap basah oleh Samuel. Dia pun melepaskan cengkeraman tangannya pada sabuk pengaman.
"Saya hanya berjaga dari kemungkinan buruk yang akan terjadi. Gak salahkan?"
Samuel tersenyum tipis mendengar ucapan perempuan itu, kemudian dia menghentikan mobilnya setelah sampai di kawasan taman. "Sudah sampai, ayo turun."
Anna mengangguk. Dia berjalan memimpin diikuti oleh Samuel. Beruntung penjual ayam bakar di sana masih buka. Suasana taman pun ramai dikunjungi oleh anak-anak muda. Dan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak berandalan yang hobi nongkrong.
Keduanya duduk di bangku panjang yang berada di bawah tenda.
"Selamat malam, mau pesan berapa porsi, Mas, Mbak?" tanya penjual ayam bakar tersebut dengan ramah.
Anna menoleh menatap pada Samuel. "Pak Dokter mau sekalian beli ayamnya gak?"
Samuel menggelengkan kepala. "Enggak. Kamu aja."
Anna mengangguk, lalu menoleh pada penjual ayam bakar tersebut. "Saya pesan satu porsi ayam bakar ya, Mang."
"Baik, Mbak. Mau dimakan di sini atau di bawa pulang?"
"Makan di sini saja," jawab Samuel membuat Anna menatapnya. "Kamu sudah sangat lapar bukan? Makan di sini saja. Tenang, saya akan menemani kamu sampai selesai makan."
Anna menatap ragu. Sebenarnya dia memang sudah sangat lapar. Tapi tidak enak juga kalau merepotkan Samuel. Terlebih mereka baru bertemu hari ini. "Saya takut merepotkan. Ini juga sudah malam, Dok. Kasihan nanti istri dan anak Pak Dokter yang menunggu di rumah."
Istri dan anak? Yang benar saja! Samuel belum menikah, mau dapat istri dan anak darimana?
Samuel menatap datar pada Anna sesaat, kemudian mendongak pada penjual ayam bakar yang masih berdiri menunggu pesanan. "Satu porsi ayam bakar dimakan di sini ya, Mang."
"Baik, Mas. Di tunggu sebentar ya." Kemudian penjual tersebut beranjak untuk menyiapkan pesanan pelanggan nya.
Samuel menghela napas pelan. "Saya belum menikah kalau itu yang kamu khawatirkan."
"Eh? Serius, Dok? Masa sih?" Anna menatap terkejut padanya.
"Memang nya wajah saya sudah sangat tua, sampai kamu mengira saya sudah menikah bahkan sudah memiliki anak?"
Anna cengengesan bodoh sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya pikir iya, Dok. Sudah pantas punya anak dua bahkan."
Samuel berdecak pelan sambil menggelengkan kepala. Memang tidak heran jika Anna beranggapan seperti itu, karena memang di usia Samuel yang sudah memasuki kepala tiga dia sudah pantas membangun rumah tangga.
Tidak lama menunggu, pesanan Anna siap disajikan. Perempuan itu memakan ayam bakar tersebut dengan lahap. Sembari menunggu Anna menyelesaikan makannya, Samuel memilih untuk bermain game di handphone. Terkadang memang dia mengisi waktu luang nya dengan bermain game.
"Ahh, kenyang banget." Anna tersenyum lebar sambil mengusap perutnya yang sudah terisi.
Samuel menatap takjub pada perempuan itu. "Sudah selesai? Cepat sekali. Kamu lapar atau rakus?"
Anna mendengus kesal. "Jangan mencoba untuk mengejek saya ya, Dok." Lantas dia berdiri dan membayar makanan yang telah di santap nya.
Samuel pun mengakhiri permainan game di handphone lalu memasukkan nya ke dalam saku celana.
"Ayo, Dok. Kita pulang sekarang," ucap Anna sambil mendongakkan kepala menatap Samuel. Lelaki itu mengangguk, lantas mereka berjalan ke arah mobil. Namun, tiba-tiba Anna menghentikan langkahnya saat melihat seseorang yang tidak asing.
Kedua mata Anna memanas melihat dua orang yang sedang bermesraan di bangku taman. Daniel dan seorang perempuan yang Anna pikir dia adalah istri Daniel, terlihat sedang tertawa bahagia. Namun kebahagiaan mereka adalah kesedihan bagi Anna.
"Kamu kenapa?" Samuel bertanya bingung.
Anna mengalihkan pandangannya, lalu dia menggelengkan kepala. "Saya gak apa-apa."
Meski ragu, Samuel hanya diam karena tidak pantas juga jika dia terus bertanya pada Anna. Bukan urusannya juga.
Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan di antara keduanya. Anna hanya memberitahu kemana arah rumahnya. Perempuan itu mengumpat kesal karena masih saja merasa sakit saat melihat kebahagiaan Daniel bersama perempuan lain. Ini tidak boleh di biarkan. Anna harus move on secepatnya atau dia akan terus merasa patah hati atas kenyataan yang terjadi antara dirinya dan Daniel.
Anna berpikir, apa semua orang akan merasakan hal yang sama dengannya? Yaitu sulit untuk melupakan seseorang yang menjadi cinta pertamanya?
Tersadar dari lamunan, Anna tersentak kaget karena rumahnya sudah terlewati. "Berhenti, Dok!"
Samuel segera menginjak rem mobil. "Ada apa?"
"Rumah saya sudah terlewati," cengir Anna menjawab.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Samuel. "Makanya kamu jangan melamun."
Anna mengerucut kan bibir. "Maaf, Dok."
Samuel pun segera memutar balik arah. "Yang mana rumah kamu?"
"Pagar hitam nomor 22, Dok."
Mobil terhenti tepat di depan sebuah pagar rumah yang menjulang tinggi. Anna melepaskan sabuk pengaman, tersenyum pada Samuel yang juga sedang menatapnya.
"Terima kasih atas bantuan dan tumpangan nya. Pak Dokter sangat baik sama saya, semoga cepat dipertemukan dengan jodoh nya."
Mendengar kata 'jodoh' Samuel jadi menatap datar pada perempuan di sampingnya. "Jangan meledek saya."
"Lho, siapa yang meledek? Saya gak meledek tapi mendoakan Pak Dokter agar cepat bertemu dengan jodoh nya."
Samuel mendengus pelan. "Ya, ya, ya, terima kasih atas doanya. Mau apa lagi, sekarang keluar dari mobil saya."
"Ck, iya saya keluar sekarang." Anna pun segera keluar dari dalam mobil. Samuel menurunkan kaca mobil dan Anna sedikit menunduk untuk melihat nya. "Sekali lagi saya ucapkan terima kasih ya, Dok. Karena Pak Dokter sudah menjadi pahlawan saya hari ini." Anna berucap sambil tersenyum tulus.
Darah Samuel terasa berdesir melihat senyuman Anna yang terasa hangat dan damai.
Menyadari keterdiaman lelaki itu, Anna mengerit bingung. "Dok, ada apa? Kenapa diam saja?"
Samuel mengerjap kan mata beberapa kali, kemudian dia menggeleng. "Saya pulang sekarang."
"Iya. Hati-hati di jalan ya, Pak Dokter." Anna melambaikan tangan dan Samuel pun segera melaju pergi meninggalkan perempuan itu.
"Ganteng," lanjut Anna berucap melihat kepergian mobil tersebut.
Detik selanjutnya, dia uang yang tersadar dengan apa yang baru saja diucapkannya melotot tajam. "Eh, tadi gue bilang apa? Ganteng? Tapi dia memang ganteng sih."
Anna menghela napas panjang, memutar tubuh lantas berjalan memasuki kawasan rumahnya yang besar. Teringat bayangan Daniel dan perempuan itu di tampan tadi, membuat Anna mencebik kesal.
Sampai di kamar, Anna menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Memainkan ponsel sambil scroll beranda di salah satu sosial media miliknya.
"Argh!"
Handphone Anna melayangkan di udara saat dia melihat satu postingan baru yang Daniel unggah. Dalam foto tersebut memperlihatkan Daniel yang sedang mengecup pipi perempuan yang tadi dia lihat di taman. Tiba-tiba Anna merasa kegerahan, padahal di kamarnya menggunakan AC.
"Mantan meresahkan."