Dikta's PoV:
Kenapa aku terima-terima saja ketika Melisha mengakhiri hubungan kami? Karena aku sadar, jika menahannya sementara tak bisa memberikan kepastian, hanya akan membuatnya kecewa juga pada akhirnya.
Sebulan ini, hidupku kacau. Tetap bekerja seolah sedang baik-baik saja. Di kantor, di ruang sidang atau ketika menemui client, aku mungkin terlihat baik. Namun, tidak ada yang tahu seberapa patahnya hatiku ditinggalkan Melisha. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan di kala rindu datang tak tertahankan. Kadang, aku masih mengiriminya pesan bertanya hal yang tidak penting seperti apa dia sudah makan atau belum atau mengingatkannya untuk tidak sering begadang. Chat-ku hanya sesekali saja dibalas. Aku tahu, dia pasti begitu kecewa padaku. Aku ingat betapa sedihnya Melisha kala itu dan penyebabnya adalah aku sendiri.
Air mataku menetes begitu saja setelah aku tahan-tahan dari tadi untuk tak menangis di hadapannya. Tentunya sakit mendengar perempuan itu mengakhiri hubungan kami. Tak lama, aku baru keluar resto. Aku melihat masih ada mobilnya Melisha terparkir di depan resto. Mengurungkan niat menuju mobilku, langkah kakiku terayun ke arah sana. Aku awalnya hendak mengetuk kaca mobil di sebelah kemudi, tetapi tidak jadi karena setelah menajamkan penglihatanku mengintip, aku melihat Melisha yang sepertinya sedang menangis.
Hatiku ikut sakit melihatnya. Namun, aku bisa apa? Menenangkan dengan cara apa, sementara aku lah penyebab tangisannya?
Aku melangkah gontai menuju mobilku. Aku diam di dalam sana—menunggu sampai kapan Melisha di sana. Hingga tak lama kemudian, mobil melesat pergi. Aku mengikutinya dari belakang untuk memastikan dia berkendara dalam keadaan hati yang tentunya tidak baik-baik saja. Aku mengernyit setelah mobilnya Melisha berhenti di sebuah tempat makan. Aku hendak parkir juga di sana setelah Melisha turun dari mobil dan masuk ke dalam resto itu. Tapi tidak jadi karena melihat mobilnya Maudy yang terparkir di dekat sana juga. Aku legah, setidaknya ada Maudy yang barangkali bisa menghibur Melisha.
Melisha dan Maudy dekat, meski awalnya Maudy adalah teman geng-ku sejak kuliah bersama Fero, Yoga serta Aya.
Tak langsung pulang, aku menunggu di seberang jalan parkir dengan sedikit memberi jarak tak di depan resto persis. Kira-kira 3 jam kemudian, Melisha keluar bersama Aya dan Maudy. Aku kembali mengikutinya, memastikan dia berkendara dengan baik. Usai memastikan dia tiba di rumah dan mobilnya memasuki garasi, aku langsung pergi dari sana.
Dari sana, aku menuju sebuah coffeshop. Baru tiba di sana, Fero menghubungiku dan bertanya di mana posisiku. Temanku sejak kuliah itu datang beberapa saat kemudian. Tidak sendiri, dia datang bersama Yoga juga.
"Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?" tanyaku pada Fero yang menatapku penuh selidik.
"Muka lo kusut banget. Lo... beneran udahan sama Melisha?"
Aku menoleh sekilas, kemudian berdehem.
"Maudy cerita?"
"Ya. Katanya si Melisha nangis-nangis tadi."
”Aya marah-marah,” sahut Yoga. “Gue ikutan kena ocehannya. Gue disuruh kasih pelajaran sama lo.
Aku tak menyahut. Kembali menyulut rokok di tanganku. Aku memang merokok jika sedang merasa tidak baik, ada masalah. Aku membuang puntung rokok ke-sekian sejak tadi berada di sini, dan sekarang mengambil yang baru hendak menyulutnya lagi.
Fero berdecak. "Emang ngerokok bisa bikin lo merasa lebih baik? Kasih paham dia, Ga!"
"Au! Lo kenapa sih, Dik?" Yoga menimpali. "Lo galau begini, berarti masih cinta. Kenapa nggak lo pertahanin aja si Melisha itu? Kalian udah lama bareng, udah 5 tahun dan itu bukan waktu yang sebentar. Ibarat cicilan mobil, udah lunas itu!"
Memang tak merasa lebih baik dengan merokok. Akan tetapi, itu ada pelampiasanku. Kacau sekali rasanya aku ini. Apa kalian tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang, ingin bersama dengannya selamanya, tapi takut menyakiti seseorang itu suatu saat?
“Ada masalah apa, Dik? Sorry, Maudy bilang, katanya perihal pembahasan menikah. Gue nggak maksud ingin ikut campur, tapi sebagai teman gue berharap semoga bisa kasih solusi buat permasalahan lo. Gue tahu gimana cintanya lo sama Melisha. Benar kata Yoga, lo dan Melisha udah bersama dalam waktu yang lama.”
“Ini yang terbaik bagi Melisha,” jawabku terkekeh.
“Tapi lo galau!” dengus Yoga. “Muka lo nggak enak banget dilihatnya.”
“Nanti seiring berjalannya waktu, gue akan baik-baik aja.”
“Gue tanya sama lo, emang apa masalahnya sampe lo nggak bisa ngasih kepastian untuk nikahin seseorang yang lo sayangi? Apa pertimbangan lo sampe biarin dia pergi begitu aja?”
“Gue nggak yakin bisa menjamin kebahagiaan selamanya bagi dia jika kami menikah.”
“Bro, ini gue bilang, menikah itu nggak melulu bahagia aja isinya. Lo pikir gue selama ini hidup berumah tangga sama Maudy, nggak pernah ada masalah? Yang namanya hidup, ada aja masalahnya. Tapi kalau udah menikah, tentunya nggak bisa menyerah begitu aja sama keadaan. Saling memahami satu sama lain, jaga komunikasi. Ada sesuatu yang mengganjal, dibicarakan baik-baik.”
“Lo nggak akan paham.”
“Gimana kita mau paham kalau lo nggak mau cerita?”
Aku menggeleng. Mereka tak mengerti apa-apa tentang apa yang aku alami. Yang tak pernah aku ceritakan kepada siapa pun. Bagaimana aku melihat kesedihan mamaku, lalu kakakku dalam tahun-tahun belakangan ini.
***
"Dik, udah lama Melisha nggak main ke sini. Lagi sibuk banget dia, ya?"
Waktu itu iya, aku dan Melisha masing-masing cukup sibuk. Namun, setelahnya saat tak begitu sibuk, hubungan kami berakhir.
"Melisha enggak akan pernah datang ke sini lagi."
"Kenapa?" tanya kakakku mengernyit. Dia duduk di sebelahku yang sedang menatap ke arah TV, akan tetapi tidak fokus pada apa yang ada di layar kaca itu. "Kalian lagi ribut?"
Aku menggeleng lemah. "Kami udah nggak bisa sama-sama lagi. Putus."
"Loh, kenapa? Kamu atau dia... udah nggak saling mencintai lagi?"
Sekali lagi, aku menggeleng. Aku masih sangat mencintainya, perasaanku padanya tak pernah berubah. Hanya saja, banyak hal yang aku pertimbangkan. Aku belum bisa berdamai dengan diriku sendiri. Mentalku belum siap untuk menikahinya. Aku takut menyakitinya semisalkan tetap menjalankan apa yang sebenarnya aku mau juga. Dan juga ada hal lain setahun belakangan ini muncul mengganggu pikiranku juga.
"Aku nggak bisa kasih dia kepastian, Kak."
"Melisha bahas perihal menikah lagi?"
Aku mengangguk.
"I guess... kamu masih dengan ketakutan itu?"
Sekali lagi, aku mengangguk. Karena aku sudah pernah membahas perihal ketakutan ini pada kakak perempuanku satu-satunya ini.
"Astaga... " Kak Fani geleng-geleng kepala. "Aku pikir kamu udah baik-baik, bisa menerima semuanya."
"Aku udah merasa lebih baik sejak beberapa tahun lalu, tapi dalam 2 tahun belakangan ini, rasa takut itu muncul kembali."
"Jangan bilang... itu karena apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggaku?"
Aku diam tak menjawab.
"Kamu diam. Berarti dugaanku benar?"
"Aku mau mandi." Aku meraih remot dan mematikan TV, lalu bangkit berdiri.
"Kamu nggak akan nyakitin seseorang yang kamu sayang. Percaya sama aku, Dik. Kamu berbeda."
Langkah kakiku yang hendak menaiki tangga menuju kamar di atas terhenti, hanya sesaat hingga kemudian lanjut melangkah lagi.
Kak Fani tak mengerti bagaimana ketakutan yang rasakan. Aku mencintai Melisha, tapi rasa takut menyakitinya suatu saat nanti muncul seketika. Lebih baik dia terluka sebelum menikah yang akan bisa sembuh seiring berjalannya waktu, dibanding setelah menikah.
"Dikta, aku belum selesai bicara!" seru Kak Fani setengah berteriak.
Tak ada mama di rumah hari ini. Beliau ada acara arisan bersama ibu-ibu komplek sini.
Aku menghentikan langkah kakiku di tangga ke sekian, lalu membalikkan badan menghadap kakakku itu.
"Aku nggak mau Melisha ngerasain seperti apa yang pernah Kakak rasain." Aku bergegas naik menuju kamar, mengabaikan suara Kak Fani.
Aku meraih sebuah figura di atas nakas di samping tempat tidurku. Foto aku dan Melisha, ketika kelulusan kami di luar negeri 3 tahun lalu. Aku membawa figura itu ke dadaku dengan mata terpejam. Menerawang, begitu banyak kenangan di antara kami. Lima tahun bukan waktu yang sebentar.
Lalu, aku bertanya-tanya, apa aku sanggup suatu saat nanti melihat Melisha bersanding bersama lelaki lain?
Melisha cantik dan kepribadiannya juga bagus. Dia juga pintar, bisa melakukan banyak hal. Siapa pun, pasti akan mudah mencintai perempuan itu. Sungguh, aku rasanya ingin mendekap perempuan itu selamanya. Tapi… aku akan sangat egois dengan menahan dirinya sementara aku sendiri belum bisa berdamai dengan kondisiku sendiri. Yang takutnya nanti malah akan menyakiti perempuan itu.
Level tertinggi mencintai seseorang adalah dengan melepaskannya karena tak yakin jika bersama kita akan hidup bahagia—merelakannya bersama dengan orang lain meski kita harus pelan-pelan membunuh rasa cinta yang menggerogoti jiwa. Mencintai tak harus memiliki, bukan?
Aku akan terus memantau, tak akan benar-benar pergi dari kehidupannya meski kami tak lagi bersama. Memastikan dia mendapatkan pasangan yang tepat, yang akan membahagiakannya.