Berakhir

1720 Kata
Aku dan kedua orang tengah berkumpul di ruang keluarga saat ini. Family time. Dalam seminggu bisa beberapa kali berkumpul di ruang keluarga ini mengobrol, jika semuanya ada di rumah. Papa bertanya tentang kerjaanku. Meski papa masih jadi pimpinan di sana, tapi beliau tak selalu datang ke kantor. Lagi juga, ada banyak yang harus papa kerjakan. Sementara, mama sibuk dengan butik sehari-harinya. "Kamu udah ngobrol-ngobrol lagi sama Dikta?" tanya papa setelah pembicaraan kami mengenai pekerjaan selesai. Aku mengangguk, paham apa maksud ucapan papa. "Udah, Pa." "Lalu? Apa kata Dikta? Kapan dia rencananya mau menikahi kamu?" Aku menggeleng lemah. "Dikta serius, pengen nikahin aku. Tapi untuk waktunya, dia belum bisa memastikan." Terdengar helaan napas dari papa. "Apa kendalanya?" "Dikta nggak bilang apa-apa. Dia cuma bilang kalau belum siap dalam waktu dekat. Tahun depan pun, dia belum bisa mastiin juga,” jawabku jujur tanpa ada yang disembunyikan, sesuai dengan apa yang Dikta bilang. Jujur, aku kecewa dengan jawaban Dikta 2 hari yang lalu. Aku akan sabar menunggu jika dia memberikan alasan yang tepat. Paling tidak sampai memasuki awal kepala tiga. Nyatanya, Dikta tidak bisa memberikan jawaban yang membuatku yakin jika aku harus menunggu. Dia hanya berkata jika belum siap untuk menikah. Aku benar-benar tak mengerti, apa yang membuatnya belum begitu yakin untuk menikah. Pekerjaannya sebagai pengacara pada salah satu firma hukum swasta, sedang naik-naiknya saat ini. Dikta juga telah membeli rumah tahun kemarin. Rumah yang cukup besar, meski dia masih akan membayar cicilan selama 10 tahun. Perihal finansial, aku rasa bukan masalah bagi Dikta. "Menurutmu gimana? Apa kamu mau menunggu sesuatu yang tidak pasti begitu? Coba kamu pikir-pikir lagi." "Benar kata papamu." Mama ikut bersuara. Aku menghela napas. Kedua orang tuaku benar. "Mama dan papa enggak memaksa kamu untuk segera menikah. Tapi sebagai orang tua, kami nggak ingin kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti. Kami nggak ingin suatu saat nanti kamu kecewa." "Aku mengerti, Ma." Aku tersenyum tipis. "Aku akan bicara lagi dengan Dikta nanti. Aku akan memutuskan tindakan yang akan aku ambil ke depannya setelah bicara sama dia." Di dalam hatiku, masih ada harapan semoga Dikta bisa memberikanku sebuah kepastian. Setelah berbicara dengan kedua orang tuaku, aku menuju kamar. Aku meraih ponselku dan tersenyum getir saat tak mendapati pesan atau telepon masuk dari Dikta. Sejak 2 hari lalu terakhir bertemu, kami saling diam. Dikta tetap mengantarkanku pulang hari itu dan langsung melajukan mobilnya kembali saat aku sudah turun. Aku beralih pada beberapa pesan tak terbaca di salah satu grupku. Isinya ada aku dan kedua orang perempuan yang merupakan geng-nya Dikta waktu kuliah, Maudy dan Aya namanya (re; Bukan Pacar Pura-Pura, Playboy vs Cewek Manja). Aku dekat dengan kedua orang teman satu geng Dikta sejak kuliah itu. Dulu, aku tak mengenal mereka kecuali Fero si paling hits di kampus karena ketampanannya dan Yoga si paling playboy. Aku berbeda jurusan dengan mereka dulu. Aku anak manajemen, sementara mereka jurusan hukum semua. Yang berarti aku mengambil jurusan S-2 tidak linear dengan S-1. Aku belajar lebih keras untuk memperlajari dasar-dasarnya hukum. Syukurnya, ada Dikta juga yang banyak membantu. Dan aku sendiri pun tipe orang yang fast learner. Maudy telah menikah dengan Fero dan telah dikaruniai dua orang anak. Sementara Aya menikah dengan Yoga dan baru memiliki satu orang anak. Judulnya, teman tapi menikah. Hanya Dikta yang tersisih di sana. Aku mendengar jika Dikta sempat menyukai Maudy dan pernah ribut dengan Fero, namun setelahnya hubungan mereka telah membaik. Apa aku cemburu kepada Maudy? Jawabannya adalah tidak. Aku tidak cemburu kepada seseorang seperti Maudy yang saling mencintai dengan Fero, suaminya. Hal lain adalah karena aku yakin jika Dikta benar-benar sudah tak memiliki perasaan apa pun kepada Maudy. Aku bisa merasakan sendiri bagaimana lelaki itu yang tulus mencintaiku. Power Puffs Aya Mel, Dy... Meet up yuk! Long time no see, kangen kalian Lo lg sibuk ga, Mel? @Melisha Maudy Ayo ktmu Mau kapan? Biar gue ttip bocils d rmh nyokap Aya Tunggu Melisha nyahut dlu Dia biasanya weekdays atau weekend? Kita menyesuaikan Maudy Oke Melisha Ayo meet up Mau kapan? Gue jg bs hari biasa, bisa di atur. Aya Klo besok, pada bisa nggak? Yg dadakan biasanya jadi Klo ga, keseringan cm wacana doang Wkwkkwkwk Maudy Oke2 aja gue mah Lo gmna, Mel? @Melisha Melisha Gass!! Lo bawa Zenita, Ay? @Aya Kangennnnnn Aya Yaa… Zee gue titip Mau me time kan ceritanya sm lo berdua hehe Hr minggu deh, lo k rmh gue sm Dikta Zenita adalah anak Aya dan Yoga yang berusia 2,5 tahun. Dia begitu menggemaskan. *** "Cuma aku yang excited sendirian, nggak dengan kamu. Aku tahu, kamu cinta sama aku. Tapi, saat ini aku nggak butuh hanya sekedar cinta doang, Dik." Aku mengajak Dikta bertemu setelah hari itu di mana pembicaraan kami masih tergantung. Aku ingin memastikan kali ini untuk terakhir kalinya. Mama dan papa benar, untuk apa lama-lama aku bertahan dengan seseorang yang bahkan tak bisa memberiku sebuah kepastian? Lalu, bagaimana jika aku telah menunggu lama dan pada akhirnya yang aku dapatkan sebuah kekecewaan? "Aku yang menggebu-gebu pengen dinikahin sama kamu, sementara kamu kayaknya biasa aja." “Nggak gitu, Mel. A-ku… “ “Nggak gitu, gimana? Kamu sering ngalihin ke hal lain atau iya-iya aja tapi sama sekali nggak kelihatan bersemangat.” “Maaf.” Aku mengatupkan bibirku dengan mata terpejam. Apa arti dari kata 'maaf' maksudnya itu adalah benar-benar tak bisa memberikanku sebuah kepastian? "Kenapa, Dik? Kenapa?" Akhirnya menetes sudah air mataku setelah aku tahan-tahan dari tadi. "Alasan kamu apa? Apa aku salah menduga selama ini? Apa kamu nggak benar-benar mencintai aku? Banyak orang bilang jika seseorang yang mencintai, dia akan memperjuangkan orang yang dicintainya itu. Mengusahakan apa pun agar tetap bersama. Tapi kamu— “ "Aku mencintai kamu… “ sela Dikta cepat. “Sangat.” Tangannya terulur hendak menyeka air mataku, akan tetapi aku menepisnya. Aku tertawa sumbang. "Apa arti 'mencintai' yang kamu maksud itu?" tanyaku nanar. Aku rasanya ingin berteriak jika aku tak butuh hanya sekedar cinta saja saat ini. Dikta diam. Tapi, lelaki itu tampak cukup tenang. "Aku benar-benar nggak ngerti sama kamu. Kalau memang benar kamu itu cinta aku, kenapa sesulit itu hanya untuk memberikan sebuah kepastian? Aku juga nggak meminta untuk segera menikah di tahun ini juga, setidaknya beritahu aku sampai kapan aku harus menunggu. Targetnya kapan? Meski kita tahu kadang target itu bisa aja meleset. Setidaknya kamu telah memikirkan dan berusaha untuk menuju ke arah situ." "Aku nggak bisa." "Apa yang bikin kamu nggak bisa?” Aku geleng-geleng kepala, miris. “Demi Tuhan, Dik, bilang sama aku alasan yang bisa aku terima dengan logikaku." "Aku nggak bisa kasih kamu kepastian tentang sebuah pernikahan, meski menikah dengan kamu adalah salah satu impianku." “Impian kata kamu? Lucu banget, ya? Impianmu menikah dengan aku tapi sikap yang kamu tunjukkin malah sebaliknya.” Aku terkekeh sembari menyeka sudut mataku yang berair. "Maaf, tapi aku nggak bisa menunggu lebih lama lagi untuk sesuatu yang tidak pasti." "Ya... aku mengerti." Aku terperangah mendengar jawaban pasrah Dikta. Begitu saja jawabannya? Aku memejamkan mata dan tangisku kembali pecah seketika. Berat untuk mengatakan apa keputusan yang akan aku ambil, setelah memikirkan selama beberapa hari ini. Namun, aku sepertinya terpaksa harus mengambil keputusan itu. Aku harus merelakan rasa cinta ini, semua selesai sampai di sini saja. "Hubungan kita cukup sampai di sini aja, ya?" Dikta masih tampak tenang, wajahnya tenang nyaris tanpa ekspresi. Sama sekali tak terkejut mendengar kalimat yang meluncur dari mulutku. Aku sempat berharap, Dikta akan protes tak terima. Dan akan menahanku untuk tetap bersamanya. Meyakinkan untuk menunggunya, tapi... ternyata semua hanya anganku saja. Dikta menganggukkan kepala. "Baik lah, jika itu memang terbaik untuk kita. Terutama untuk kamu, biar kamu nggak tersiksa menunggu sesuatu yang tidak pasti. Yang takutnya akan mengecewakan kamu nantinya." Semudah itu dia mengatakan itu? Benar-benar tak mau mempertahankan dengan meyakinkanku? Aku terkekeh miris. Sialnya, air mata ini terus menetes membasahi pipiku. “Maafin aku. Jangan nangis… “ Aku menggeleng lemah. “Terima kasih untuk waktu 5 tahun ini. Bukan waktu yang sebentar kebersamaan kita, tapi aku harus ambil keputusan untuk masa depan.” Aku kembali menyeka sudut mataku yang berair. “Kamu laki-laki yang baik dan aku sangat beruntung memiliki kamu. Hanya saja, seperti yang aku bilang tadi, aku harap kamu mengerti kenapa aku mengambil keputusan itu.” “Melisha… “ Aku mengangkat tanganku. “Jangan bicara apa-apa dulu! Aku belum selesai.” Dikta mengangguk. “Tadinya aku masih berharap kalau kamu bakalan yakinin aku, pertahanin aku. Karena aku tahu, kamu mencintai aku. Ternyata, rasa cinta aja nggak cukup membuat kamu yakin untuk memberikanku sebuah kepastian.” Aku menggigit bibir bawahku, menahan agar tak lagi air mata itu menetes. “Aku minta maaf atas keputusan ini, ya?” “Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Maafin aku yang telah membuat kamu menunggu lama dalam sebuah ketidakpastian.” Aku tersenyum. Setelahnya meraih tasku hendak bangkit berdiri. “Udah nggak ada yang harus kita bicarain lagi, ‘kan? Aku balik duluan.” Aku berdiri. Saat baru saja melangkah, Dikta meraih pergelangan tanganku. “Kita masih bisa berteman?” Aku menoleh dan mendapati tatapan mata lelaki itu yang menatapku dengan raut wajah sendu. “Aku enggak janji.” Aku menipiskan bibirku sembari melepas cekalan tangannya pada pergelangan tanganku. Tangisku pecah di dalam mobil. Keningku bersandar pada kemudi, menumpahkan tangis di sana. Ini sungguh masih mencintainya, tapi aku juga tak bisa bertahan tanpa adanya sebuah kepastian. Dan juga, aku paham jika orang tuaku ingin aku segera menikah, meski tak harus buru-buru juga tahun ini. Usia mereka yang tak lagi muda, ingin melihatku menikah sebelum meninggalkan dunia ini. Aku pernah tak sengaja menguping pembicaraan kedua orang tuaku. Ponselku berdering. Aku mengangkat wajahku dan meraih tisu menghapus air mataku sebelum menyentuh tanda hijau pada layar ponselku. Nama Maudy tertera pada layar ponselku itu. “Ya, Dy? Gue baru mau jalan. Lo di mana?” “Gue udah jalan. Nanti di ruangan yang ada karoekenya, oke? See you soon.” “Oke. See you.” Aku melajukan mobilku ke tempat aku, Maudy dan Aya janjian. Tiba di sana, aku melihat mobilnya Maudy yang sudah terparkir. Aku meraih kaca dari dalam tas, merapihkan penampilanku sebelum turun dengan sedikit touch up. Aku menuju ke ruangan yang dimaksud oleh Maudy di dalam group chat. Maudy tersenyum ketika aku baru saja membuka pintu ruangan. Aku ingin terlihat baik-baik saja, tapi tidak bisa. Aku memeluk Maudy dan tangisku tumpah di sana. “Gue udah nggak bisa bareng-bareng sama Dikta lagi, Dy.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN