Icha mengirim dokumen berisi tiga bab dari skripsinya dengan percaya diri melalui pesan singkat ke nomor kontak Andra, juga melalui email. Tak lama berselang, dia langsung mendapat balasan bahwa Andra sudah menerima skripsinya dan akan menindaklanjuti dalam waktu singkat. Icha diharapkan untuk menunggu saja dan boleh melanjutkan penelitiannya di lapangan.
Icha pun menyibukkan diri terjun ke lapangan, sebuah kantor usaha milik relasi bisnis papanya, yang bergerak di bidang keuangan di daerah Tangerang, sambil menunggu kabar dari dospemnya. Putus hubungan dari Geo merupakan berkah dalam hidup Icha, bahwa ada hal-hal yang lebih penting yang harus dia pikirkan, bukan sekadar pacaran. Apalagi setelah serius melakukan penelitiannya, Icha jadi banyak belajar dan mendapat hal-hal yang baru yang ternyata jauh lebih penting.
Seminggu berlalu, tanpa disadari, Icha sudah mendapat banyak data dan bahan untuk laporan penelitiannya, dia juga mendapat balasan dari Andra, tidak hanya berupa perbaikan laporannya, tapi juga sebuah undangan untuk berkunjung ke apartemennya. Dalam hal ini, Icha tidak mengajak Tesa, dia ingin dekat dengan Andra dengan usahanya sendiri tanpa melibatkan Tesa.
Icha pun berdandan cantik, dengan memakai pakaian terbaik dan make up tipis di wajah. Ada sekitar sepuluh mahasiswa yang diundang ke apartemen sederhana Pak Andra, dan ternyata Pak Andra mengadakan acara syukuran karena jurnal yang sedang dia garap diterima di salah satu penerbit internasional. Pak Andra ingin berbagi pengalaman agar mahasiswa yang sedang mengerjakan laporan akhir bisa semangat dan lebih cepat selesai.
Icha ternyata termasuk mahasiswa yang datang lebih awal, dan disambut langsung oleh Andra di apartemen. Ada tiga perempuan yang sudah datang dan mereka membantu mempersiapkan makanan di atas karpet yang terbentang.
“Eh, Icha. Langsung duduk aja, Cha,” ujar seorang mahasiswi yang sedang menata rapi makanan dan minuman. Icha tampaknya masih berdiri dan hendak membantu. Akan tetapi dapur apartemen Pak Andra sangat sempit dan dia disarankan untuk langsung duduk dan menikmati makanan saja.
Setelah kedatangan Icha, barulah beberapa orang datang, dan mereka menyalami Pak Andra bergantian.
“Pak, Opie katanya nggak bisa datang, ini ada titipan dari dia, lagi liburan di Kendari.” Salah satu mahasiswi yang baru datang menyampaikan pesan dari salah satu mahasiswa yang terundang.
“Oh, makasih. Langsung saja letak di atas karpet,” suruh Andra.
Setelah semua berkumpul, Andra pun langsung menyampaikan rasa terima kasihnya, dan dia tidak lupa menyemangati semua yang hadir untuk menyelesaikan laporan akhir mereka.
“Saya senang, ini sudah ada empat orang yang dipastikan wisuda tahun ini, Emi, Okta, Opie, Hisyam, dan satu lagi Fuad, kamu tinggal bab akhir ya?”
Mahasiswa yang bernama Fuad mengangguk mengiyakan. Duh, padahal sebelumnya Fuad adalah mahasiswa yang hampir putus asa tidak bisa menyelesaikan skripsinya, tapi ternyata dia bisa menyelesaikannya juga dan bahkan bisa ikut wisuda tahun ini.
Ternyata Pak Andra sosok yang baik dan perhatian. Icha sempat mendengar bisik-bisik dari para gadis yang mengatakan bahwa sebelumnya Pak Andra tidak sebaik ini, dan gadis lain mengatakan bahwa mungkin saja Pak Andra telah mendapatkan yang dia inginkan dari karirnya, seperti diterimanya tulisannya di jurnal internasional, dan Pak Andra ingin berbagi kebahagiaannya dengan beberapa mahasiswa pilihannya.
“Udah berapa bab, Icha?” tanya seorang gadis yang duduk di samping Icha.
“Oh, tiga, Kak.”
“Cepet diselesain, mumpung Pak Andra lagi hepi tuh.”
“Oh, oke, Kak. Makasih sarannya.”
Acara syukuran berlangsung ramai dan penuh canda. Para mahasiswi tidak tinggal diam dan langsung membersihkan apartemen Pak Andra, meskipun Pak Andra berulang kali melarang. Icha ikut membantu mereka, dia merasa hal yang baru bisa bertemu orang-orang yang belum dia kenal dan berbagi informasi.
Tak lama kemudian, satu persatu pamit pulang, dan Icha tampak menyengajakan diri untuk pamit paling akhir. Hingga tiba giliran Icha,
“Pak, sebenarnya ada yang Icha ingin omongin,” ujar Icha pelan.
Andra mendelik, “Ya? Soal apa, Cha?”
“Soal Geo.”
“Geo? Oh.” Andra terlihat gelisah. “Hm … penelitian kamu gimana?” Dia seperti ingin mengalihkan pembicaraan dan enggan membahas hal-hal di luar bimbingan.
“Ini sedang jalan … ada satu informan lagi yang harus Icha wawancara.”
“Oke, baiklah.”
Andra mengulurkan tangan kanannya ke arah luar apartemen, mempersilakan Icha untuk pergi pulang.
Icha mendadak kecewa di dalam hatinya, berpikir bahwa Andra yang tampaknya tidak mau diajak bicara tentang Geo, atau juga hal-hal yang bersifat pribadi.
Icha pulang dengan langkah gontai.
Sesampainya di parkiran, dia iseng mengambil ponsel dari dalam tasnya, kaget, ternyata ada pesan dari Andra.
Andra : Icha, kita ketemuan di perpustakaan, tempat biasa kamu duduk. Jam sepuluh pagi.
Icha tersenyum senang, dia akhirnya mengerti bahwa Andra merasa segan berbicara tentang hal-hal berbau pribadi berduaan di apartemennya. Icha tersadar, dia bukan berhadapan dengan Geo, yang bisa dengan semaunya dia ajak bicara berduaan.
Icha : Baik, Pak Andra.
Icha pulang ke rumah dengan perasaan senangnya.
***
Keesokan harinya,
Icha melirik arloji kecilnya, sepuluh menit menuju jam sepuluh. Dia sudah berada di dalam perpustakaan dan berjalan ke tempat duduk di mana dia dan Andra bertemu saat pertama kali.
Icha sedikit kaget, ternyata Andra sudah duduk di sana dengan posisi membelakanginya. Andra terlihat sedang memeriksa beberapa tulisan mahasiswa.
“Selamat pagi, Pak Andra,” sapa Icha pelan. Suara lembutnya sontak membuat Andra menoleh. Andra langsung menyuruh Icha duduk di hadapannya dengan isyarat wajahnya.
Icha lalu duduk dengan pelan, sambil diam-diam memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Andra.
"Ini saya kembalikan bab tiga kamu. Ada banyak hal yang harus perbaiki, terutama dalam melakukan paraphrasing sebuah kutipan. Dipelajari ya.” Andra menyerahkan dokumen yang dia print hasil laporan Icha, dan Icha menyambutnya dengan senyum senangnya.
“Terima kasih, Pak,” ucap Icha.
“Nggak beli kopi hari ini, Cha?” tanya Andra, dia tidak melihat Icha membawa termosnya.
Icha diam-diam bersorak dalam hati, ternyata Pak Andra cukup memperhatikannya. “Termos Icha hilang, Pak. Nggak tau di mana, pas cari di dapur nggak ketemu.”
“Ini.”
“Ha?” Icha menutup mulutnya yang menganga, tak menyangka bahwa termosnya malah ditemukan Andra.
“Saya menemukannya di sini kemarin, saya cuci … saya tahu kamu suka beli kopi di kampus, dan saya suruh baristanya mencucinya lagi dan mengisinya dengan kopi yang biasa kamu pesan.”
“Pak Andra. Icha jadi nggak enak.” Icha masih menutup mulutnya, masih saja tidak menyangka apa yang dia alami pagi ini.
Bersambung