Bukan tidak ada alasan Andra membayarkan jajanan Icha, dia senang dengan kepribadian Icha. Sekilas, Icha mirip dengan Vanya, putri kesayangannya, yang manja, rajin, dan pintar. Saat minum kopi bersama Inka di café tadi, Andra sudah mengamati Icha turun dari mobil jeep mewahnya, dan berjalan menuju café. Andra menebak Icha pasti akan membeli minuman panas karena melihat Icha menenteng termos kecilnya. Andra lalu menghampiri penjaga café dan berkata bahwa berapapun Icha jajan, dia yang akan membayar.
Di café Andra mengeluhkan sikap Siska yang melabraknya di depan apartemennya kepada Inka. Siska mempersoalkan Vanya yang makan mi instan saat menginap di apartemennya. Siska sudah mengharamkan makanan itu untuk Vanya, karena dia tidak mau Vanya makan makanan yang tidak sehat.
“Lo bayangain gue dilabrak di depan pintu apartemen, lo kan tau suara Siska kalo marah. Malu gue pas ke luar dari apartemen, apalagi berpaspasan dengan tetangga gue.”
“Yah … untungnya lo tinggal di apartemen, Dra. Pasti nggak ada yang kepoan kayak ibu-ibu yang tinggal di perumahan atau gang kecil.”
Andra menghisap rokoknya dalam-dalam, tapi sepasang matanya memicing ke arah mobil Icha. Inka memperhatikan Andra yang tiba-tiba terdiam melihat Icha. Lalu Andra berjalan cepat menuju kasir dan berbicara sebentar, dan dengan cepat pula berbalik duduk di depan Inka.
“Ada apa lo? Serius amat?”
“Bayarin jajan tuh anak.”
“Lo demen?”
“Bukan. Seneng aja … dia kayak Vanya.”
Inka tersenyum tipis, mengerti perasaan Andra yang pasti setiap hari merindukan Vanya. Siska telah memutuskan untuk tidak lagi mempertemukan Vanya dengan Andra dalam waktu yang tidak ditentukan.
Inka mengangguk-angguk kecil, sebelumnya dia menyangka Andra menyukai Icha dan ingin lebih dekat seperti dengan Siska dulu, ternyata Andra menyukai Icha karena kemiripannya dengan anak perempuannya.
“Ya udah, nggak usah lagi lo nafkahin mereka, bini lo kan udah mau kawin.”
“Nggak bisa gitu, Ka. Gimanapun, Vanya tetap tanggung jawab gue.”
“Gimana bisa Siska tau kalo Vanya makan mi instan? Vanya cepu?”
Andra menggeleng. “Gua tanya Vanya, dia bilang mamanya nanya dia makan apa di apartemen gue. Awalnya Vanya nggak bilang makan mi, tapi dipaksa dan diancam Siska kalo boong. Ya udah, Vanya akhirnya ngaku makan mi di apartemen gue. Hancur dah.” Andra kembali menghisap rokoknya, menyesalkan sikap Siska yang berlebihan.
“Udah, Dra. Mending lo fokus dengan penelitian makro lo. Proyek satu T. Setelah itu lo bisa kipas kipas dengan duit lo. Cari bini baru.”
Andra mendengus tersenyum, dia bahkan belum memikirkan pasangan, dan masih memikirkan masa depan Vanya.
***
Sepulang dari kampus, Icha langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan langsung menghubungi Tesa, ingin menceritakan pertemuan tak terduganya dengan Andra di perpustakaan.
“Jadi dia bilang udah liat gue sejak turun dari mobil dan mau jalan ke café, trus dia langsung bayarin kopi dan croissant gue.” Icha menjelaskan alasan Andra yang membayarkan jajanannya kepada Tesa.
“Yaelah, tetap aja misteri, ngapain coba dia bayarin lo. Ini nggak bisa dibiarkan begitu aja, Icha. Lo mesti tau alasan yang lebih detail. Andra itu misteri lo, dan gue yakin pasti ada hubungan dengan hidup lo di masa lalu.”
“Maksudnya?” Icha mengerutkan dahinya, berpikir bahwa Tesa mengada-ada.
“Lo coba mikir, kenapa si Geo bilang kalo motornya Pak Andra adalah hasil malak, lo tanya tuh sekalian, Pak apa Bapak kenal ma Geo? Iya, kenal, kenapa, Cha? Hm … dia itu mantan Icha, Pak. Kok dia pernah bilang kalo motor Bapak hasil malak?”
“Haha. Ngaco ah.”
“Ya istilahnya, Ichaaaa. Intinya lo tanya begitu, nggak mungkin lo niru gaya gue nanya, bisa ilfil tuh duda.”
Icha tertawa karena gaya bicara Tesa yang menggelikan. Tesa memang memiliki kepribadian yang meledak-ledak, dan sangat ekspresif. Namun, dia pandai menahan emosi dan tahu sopan santun, kecuali terhadap orang yang benar-benar membuatnya kesal.
“Hm … iya deh, ntar gue tanyain pas gue ketemuan. Setelah bab tiga selesai, gue disuruh hubungi dia cepat, supaya skripsi gue cepat kelar.”
“Udah selesai, Cha?”
“Tujuh puluh per sen, Tesa. Besok mungkin udah kelar. Lo gimana?”
“Baru selesai bab dua. Ah, enak juga sama Bu Meis setelah tau celahnya. Ternyata emang baik, tapi disiplin. Minggu depan kita-kita diundang ke rumahnya di Condet. Lo mau ikut?”
“Nggak ah, emang ada acara apa?”
“Acara syukuran kecil-kecilan. Hm … yang diundang semua mahasiswa yang dia bimbing, yah … sekitar dua belas. Kita kan ada group wa, khusus mahasiswa-mahasiswa di bawah bimbingan Bu Meis. Pak Andra nggak buat group khusus?”
“Nggak kayaknya. Kalo ada pasti gue ikutlah.”
“Nggak usah ikut kalo ada, Cha. Lo buat group bedua aja ma Andra.”
“Haha … ada-ada aja ide lo, Tes.”
“Ya udah, Cha. Gue mau makan dulu, makan sedikit doang tadi siang.”
“Uang lo masih cukup?”
“Masih, kakak gue yang kerja di Singapore baru aja ngirim. Mau gue traktir besok?”
“Boleh, di mana?”
“Lo mau di mana?”
“Gue lagi kepingin es cendol.”
“Haha. Icha Ichaaaaa.” Tawa Tesa meledak-ledak karena Icha mau ditraktir es cendol saja.
***
Laksmi dengan gaya khasnya mengikuti acara di sebuah hotel, acara perkumpulan para pengusaha muda perempuan yang bergerak di bidang fashion. Para pemilik butik mewah sudah berkumpul di sana, dalam rangka menggalang dana untuk para keluarga di bawah garis kemiskinan di kota Jakarta.
Laksmi menjadi sorotan karena dia adalah penyumbang dana terbanyak dalam acara itu, dan dia sendiri tidak menyangka bahwa jumlah dana yang dia sumbangkan adalah yang terbanyak.
Tak ayal, banyak ibu-ibu muda mengerubutinya saat acara berakhir.
“Laksmiii. Duh, profitnya lagi banyak-banyaknya nih,” puji Siska, salah satu peserta acara yang juga merupakan teman Laksmi, tapi tidak dekat. Dia adalah anggota baru dalam perkumpulan pengusaha perempuan bidang fashion, baru dua bulan bergabung. Sedangkan Laksmi sudah puluhan tahun. Maklum sejak usia dua puluh satu, dia sudah merintis usaha. Bukan di bidang fashion saja, tapi juga bidang kosmetik dan resto kecil-kecilan. Dia memang banyak sekali menyediakan lapangan kerja untuk anak-anak muda.
“Hei, Siskaaa. Apa kabar. Hei, Daraaa, Ananta….” Laksmi lalu menyebut nama-nama teman-temannya yang menyalaminya setelah Siska.
“Ada gossip baru, Laksmi,” perempuan yang bernama Dara memulai.
Laksmi tentu saja jadi semangat.
“Siska mau lepas jandaaaaa.”
“Aiiiih. Sama siapa.” Laksmi menjawil lengan Siska.
“Sama pengusaha Bus antar kota.”
“Ah, syukurlah. Nggak enak lama-lama menjanda. Berapa tahun menjanda nih?”
“Hahaha, belum sampai satu tahun,” sela perempuan yang bernama Ananta.
“Wow. Pasti cepetlah. Siska masih muda dan cantik juga … kalo pengusaha perempuan kayak kita-kita nih, pasti jadi inceran,” Laksmi memelankan suaranya, tapi disambut gelak tawa ibu-ibu muda.
Sementara itu Siska hanya tersenyum malu, dengan wajah yang memerah. Tak lama lagi dia akan menjadi istri pengusaha kaya raya, penguasa bus antar kota, Jakarta dan Jawa.
Bersambung