CONSEQUENT

622 Kata
   Aku berjalan santai keluar kelasku, dengan salah satu earphone bertengger di telingaku, aku melangkahkan kakiku perlahan, tak seperti yang lain. Rusuh. Mereka berlarian keluar kelas, tak mempedulikan orang lain yang mungkin terganggu karena sifat rusuh mereka. Dan yang paling rusuh adalah Andi, dia teman sekelasku yang kerjanya selalu membuat kelas gaduh. Terlihat jelas kini, ia berlarian menerobos murid lainnya seraya berteriak-teriak tak karuan. Ia sama sekali tak mempedulika murid lain yang kini menatap sinis dirinya bahkan sudah menggerutu karenanya. Lagipula, yang ia pikirkan kini mungkin hanya kesenangan, karena ini jam favorit kami semua. Jam pulang sekolah.    "Bareng nggak?" tiba-tiba Melly menepuk pundakku dari belakang.    Aku terdiam sejenak. "Lo ada waktu nggak?"    "Ada. Kenapa?"    "Ke mall yuk. Bentar aja deh. "    Melly berpikir sejenak. "Lama juga nggak pa-pa." Aku dan dia pun lanjut berjalan.    "Si Andi ngapain sih teriak-teriak kaya gitu?! Kaya monyet tau nggak?!!!" gerutu Melly yang memperhatikan Andi yang masih rusuh. Tanpa alasan, Melly menarik tanganku dan membawaku berjalan menerobos murid lain. Ketika tiba di dekat Andi, Melly memperlambat langkahnya, dan mendorong tubuh Andi sembarang.    "Minggir! Cewek cantik mau lewat!" ketus Melly.    Andi tertawa kecil. "Cantik dari mananya? Lo mimpi ya?!!" ledeknya, lalu tertawa.    "Bacot!"    Melly lanjut menarik tanganku. Ia terus menggerutu karena kesal akan sikap Andi tadi padanya. Matanya kini sudah memicing, bibirnya pun terus bergerak menghina-hina Andi dengan kesal. "Benci banget gue sama si Andi. Mau jadi apa sih dia?! Hidupnya bikin rusuh melulu. Biang rusuh aja belagu. Berani-beraninya ngatain gue jelek. s****n emang tuh anak!!!" gerutu Melly.    Aku terkekeh. "Udahlah. Jangan bilang benci dulu, nanti jatuh cinta lohh..." ledekku. Melly mendecit kesal. Melly berhenti menggerutu, tapi wajahnya masih menunjukkan ekspresi tidak senang, ia bahkan kini menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, seraya melihat sekeliling dengan sinis.    Hening.    Pesan masuk! 12.24 Kak Nathan    Key?       Aku menatap layar handphoneku sejenak seraya berjalan. Bingung, ingin membalas atau tidak?     "Key, adek lo tuh," lagi-lagi Melly menepuk pundakku.    Aku segera mendongak, mengikuti kemana arah jari Melly menunjuk. Benar saja. Itu Jackson. Ia kini tengah berjalan sendirian seraya tertunduk. Terlihat juga, orang-orang di sekelilingnya kini membicarakan dirinya, bahkan ada yang menghinanya dengan suara lantang.    "Nama lo Jackson, dan lo adalah seorang penindas," teriak salah satu dari gerombolan anak lelaki sebayanya, lalu tertawa terbahak-bahak.    "Jackson tukang bully! Jackson tukang bully!" ejek mereka seraya menari-nari tak jelas menghina Jackson.    "Eh tuh si Jackson yang tadi gue ceritain ke elo," di saat yang sama, seorang siswi yang tak sengaja berjalan di sampingku membicarakan Jackson dengan temannya.    "Eh tuh Jackson yang tadi dihukum di lapangan," umpat yang lainnya.    "Rasain tuh sekarang dia yang di bully!" umpat yang lain lagi.    Aku dan Melly mempercepat langkah kami. Mencoba menjauh dari kebisingan cacian terhadap Jackson.    "Banyak banget yang hina Jackson," ujar Melly berbisik. .  Aku terdiam. Kini, aku dan Melly kembali menatap Jackson yang masih dihina oleh gerombolan lelaki sebayanya itu. Kini, terlihat tak hanya gerombolan anak lelaki itu yang ada di hadapannya, tapi juga seorang wanita yang masih sebaya mereka.    "Rasain! Sekarang lo yang kena bully. Enak nggak?!" teriak gadis itu. "Makannya jangan suka nge-bully. Dasar tukang tindas!" teriaknya lagi, lalu menyiram tubuh Jackson dengan sebotol air mineral, lalu pergi. Gerombolan anak lelaki itu kini tertawa terbahak-bahak melihat Jackson yang sudah basah karena siraman gadis tadi.    "Daripada jadi tukang bully, mending lo jadi tukang ager," hina mereka lagi, lalu tertawa, lantas pergi.    Melly menghentikkan langkah kakinya, membuatku juga bersikap sama.    "Kasian si Jackson," ucap Melly, lalu mencoba berjalan menghampirinya.    Aku yang paham bahwa Melly akan menolong Jackson pun menarik tangannya, membuatnya kembali berhenti melangkah dan menoleh padaku. Aku menggeleng. "Nggak usah ditolongin. Biarin aja!"    "Tapi kasian."    Aku mendecit. "Nggak perlu dikasianin!"    Aku pun menarik tangan Melly mencoba berjalan lebih cepat. Berusaha untuk tidak peduli dengan tukang tindas sekolah ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN