PUNISHMENT

1319 Kata
   Saat ini, seperti biasa, aku tengah berjalan santai di area SMP. Yap, saat ini adalah jam istirahat. Aku masih bingung saat ini aku harus menemui siapa, aku bingung untuk memilih Jackson atau Vikar. Dan karena aku belum menemukan jawaban pasti, aku pun hanya berjalan-jalan mengelilingi area SMP ini. Namun, langkahku terhenti ketika melihat keramaian di sana. Di tengah lapangan tepatnya. Sebagian besar murid kini ada di sana, tengah mengerubungi sesuatu di sekeliling lapangan yang aku tak tahu apa alasannya. Karena rasa penasaranku, aku pun berjalan ke tengah lapangan menghampiri kerumunan itu. Setelah semakin dekat, terdengar jelas suara riuh kerumunan tersebut yang terdengar menghina dan mengolok-olok. Aku yang semakin penasaran pun terus berjalan, hingga tiba aku di tengah lapangan dan melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri apa yang tengah terjadi.    Jackson di sana. Tengah berdiri di bawah teriknya matahari yang sungguh panas. Berdiri dengan salah satu kaki diangkat, dan dengan kedua tangan yang memegang kedua telinganya, juga dengan sebuah kertas karton berukuran sedang yang dikalungkan di lehernya dengan sebuah tali. NAMA SAYA JACKSON, DAN SAYA ADALAH SEORANG PENINDAS    Begitu kalimat yang tertulis di atas kertas karton di depan dadanya. Jackson kini hanya bisa tertunduk malu mendengar seluruh murid di sekitar sini mengolok-olok dirinya. Kurasa Jackson mungkin saat ini sungguh ingin menangis, tapi ia tak berani karena saat ini ia benar-benar tak memiliki pihak. Aku menatap Jackson dengan wajah datar seraya menyilangkan kedua tanganku di depan d**a, Jackson pun membalas tatapanku dengan wajah melas dirinya saat ini. Wajahnya sungguh terlihat lemas dan lesu kala membalas tatapanku, wajahnya juga sedikit memelas ketika mata kami saling bertemu, seakan ia berkata dalam diam "Tolong aku."    Namun aku tak peduli. Hal seperti ini kurasa sangat pantas untuk seorang penindas semacam Jackson. Aku pun memalingkan tatapanku dari wajahnya, lalu aku lanjut berjalan santai dan pergi dari keramaian lapangan itu. Aku kini berjalan memasuki sebuah kelas. Kelas yang pernah aku datangi ketika seorang gadis menarikku dan memintaku menghentikkan kerusuhan yang Jackson buat. Yap, ruang kelas Vikar. Di sini sungguh-sungguh sepi. Tak ada satu pun murid yang kulihat kini. Hanya ada kursi dan meja, papan tulis, tas-tas para murid, dan yang lainnya. Namun, meski begitu, aku tetap memasuki ruang kelas ini. Perlahan, aku menapakkan kakiku masuk ke dalam dan melihat sekeliling. Dan ternyata, aku salah. Di kelas ini masih ada seorang murid, dan dia adalah murid yang kucari, Vikar.    Dari tadi ia tak terlihat karena ia duduk di lantai tepat di sudut kelas paling belakang, terutup oleh banyaknya kursi dan meja yang ada di sini. Ia terlihat tengah melakukan sesuatu dengan selembar kertas dan sebatang pensil. Entah ia menulis atau memggambar, aku tak tau karena ketika aku datang ia segera menghentikan aktivitasnya dan melipat-lipat kertas itu sembarangan. Aku menekuk lututku menjajari posisinya, lalu aku tersenyum padanya dan ia membalas senyumanku. Aku merubah posisiku menjadi duduk selayaknya Vikar di tempat tertutup ini, dan perlahan aku mulai membuka mulut, mencoba bicara padanya.    "Lukanya masih sakit?" tanyaku, lalu menyentuh pelan luka pukulan Jackson tadi.    "Sedikit," jawabnya pelan.    "Nanti kalo kenapa-napa lagi, bilang kakak aja ya,"    Ia mengangguk.    "Kamu lagi ngapain tadi?" tanyaku lagi, dan mencoba meraih kertas yang ia genggam.    Tak sesulit yang kupikir. Vikar dengan santai melepas genggaman kertas itu dan dengan mudahnya dapat kuraih. Aku segera membuka lipatan-lipatan kertas tersebut dan kulihat. Ternyata ia menggambar. Ia menggambar sebuah sketsa perempuan lagi, sketsa ini pun persis seperti yang pernah ia gambar dan pernah kulihat beberapa waktu lalu. Dan gambarnya pun masih terlihat sungguh bagus, semua benar-benar rapi dan detail, seperti pelukis profesional.    "Gambarnya bagus, kamu berbakat loh..." pujiku.    "Makasih," jawabnya pelan.    "Ini bunda kamu kan?"    Ia mengangguk.    "Kamu kangen bunda ya?"    Lagi-lagi mengangguk. Aku kembali melipat kertas itu, lalu aku mengelus kepala Vikar yang sedikit tertunduk. Dan dengan perlahan, aku memeluk tubuhnya. Untuk beberapa saat, pelukanku tak ia balas, ia mungkin canggung atau apa, tapi, perlahan aku juga merasakan kedua tangannya melingkar di tubuhku, dan untuk beberapa saat lagi, aku menikmati kenyamanan ini.    Aku melepas pelukanku perlahan, begitupun dia, dan lagi-lagi aku tersenyum hangat padanya. "Kakak boleh minta sesuatu nggak?" tanyaku.    Ia menatapku. "Apa kak?"    "Kakak mau kamu gambarin wajah kakak."    Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Nanti aku gambarin."    "Gambar kakak harus cantik ya," ledekku. Dan ia mengangguk.    "Janji?" tanyaku lagi. Ia kembali mengangguk. "Janji!" ***    Saat ini, seisi kelasku tengah berbahagia. Sebagian besar murid di kelasku kini tengah bercanda dan tertawa, ada yang tengah bernyanyi, menonton video idola mereka di youtube, mencoret-coret papan tulis, ada juga beberapa murid wanita yang tengah berdandan, memoleskan bedak di wajah mereka, memberi warna di bibir mereka, ada juga yang tengah tertidur, sang ketua kelas bahkan kini tengah asik mengoles pomade di rambutnya dan menyisirnya hingga menjadi sebuah model rambut yang ia pikir akan membuat dirinya terlihat tampan. Bahagia bukan? Bagimana tidak?! Di kelasku kini tengah berlangsung jam kosong. Guru yang harusnya mengajar kami saat ini sedang sakit dan tak masuk, dan guru piket pun tadi hanya masuk sesaat ke dalam kelas dan berpesan "Jangan berisik!". Ya, hanya itu. Jadi kini kami semua bebas melakukan apapun yang kami mau. Dan teman sebangkuku, Melly, ia tengah asik memotret dirinya dengan berbagai gaya dari kamera handphonenya, lalu setelah itu ia posting di **, ia tadi sempat mengajakku untuk melakukan selfie bersama, tapi aku menolak. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya tengah tertidur seraya mendengarkan musik lewat earphone.     "Key? Key?"     Aku mendengar suara lirih Melly di sela musik yang masih menggema di telingaku, tapi aku mencoba tak peduli. Namun, tubuhku kini rasanya diguncang. Aku merasakan ada tangan yang tak henti-hentinya memukul tubuhku. Aku pun mengerjap dan mendongak menatap Melly.    "Apa sih Mel?"     "Lo liat nih postingan adek kelas di **!"     Melly menunjukkan handphonenya ke depan wajahku. Aku mencoba melihat postingan adik kelas yang Melly maksud. Itu foto Jackson. Foto itu diambil ketika siang hari di lapangan tadi. Terlihat jelas dalam foto itu keramaian yang ada pada siang tadi, posisi berdiri Jackson, juga kertas karton memalukan yang melingkar di lehernya dengan tali. Aku masih terus fokus melihat postingan itu. Dalam postingan tersebut, adik kelasku menulis sebuah caption: Ganteng tapi nggak tau diri. Hahaha   Aku segera menyalakan handphone milikku dan mengecek akun **. Setelah aku cek, bukan hanya satu adik kelas yang memposting foto semacam itu, namun banyak. Dari semua followers diriku yang sebagian besar murid sekolah ini telah memposting foto memalukan tersebut. Tak terhitung berapa jumlahnya, yang jelas mereka semua banyak. Aku pun mengecek satu per satu foto yang sama di akun yang berbeda, banyak sekali komentar tak sedap yang tertulis di sana. Semua mengarah pada keburukan Jackson, bahkan dalam kolom komentar tak sedikit dari mereka yang menghina Jackson sesuka hati. Aku mendecit kesal, lalu menghela napasku panjang. Setelahnya, aku beranjak dari posisiku dan berjalan keluar kelas. Aku perlahan berjalan melewati lorong-lorong kelas, dan sesekali tersenyum jika aku bertemu dengan murid lain atau guru yang tak sengaja berpapasan dengan diriku. Tak lama, aku tiba di kantin. Aku segera membeli sebotol air mineral dan sebungkus roti, lalu kembali berjalan pergi setelah aku membayarnya.    Aku berjalan pelan-pelan, berjaga-jaga jikalau ada guru lain melihatku seperti ini. Aku kini berjalan menuju area SMP, dan syukurlah, sepertinya semua guru sedang sibuk saat ini hingga aku tak menemukan satu guru pun dalam perjalananku. Aku segera berlari ke tengah lapangan. Di sana hanya ada Jackson yang masih menjalani hukumannya. Ia terlihat sungguh lelah dengan banyaknya keringat yang terus mengalir keluar dari pori-pori kulitnya. Tak pikir panjang, aku langsung memberikan air mineral dan roti yang kubeli tadi pada dirinya. Ia tak langsung menerima, ia melihat sekelilingnya terlebih dahulu, dan syukurlah, sungguh sepi. Ia pun menghentikan hukumannya sejenak dan menerima pemberianku. Dengan waktu sungguh singkat, botol air mineral itu langsung kosong setelah Jackson meminumnya. Ya ampun, kurasa adikku satu ini benar-benar kehausan.    "I'm so tired," keluhnya.    Aku mengeluarkan sebungkus tisu dari saku seragamku, aku mengambil selembar, lalu perlahan aku menyeka keringat Jackson. Dengan lembut, aku mengelap peluh-peluh keringat itu dari dahi dan lehernya, sementara ia tengah mencoba mengatur napasnya yang mungkin mulai sesak.    "I hate it!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN