CARE

1154 Kata
   Pagi ini, hariku terasa hampa. Tak ada lagi sarapan yang tertata rapi di atas meja makan, tak ada lagi ucapan singkat itu, tak ada lagi dirinya. Aku mencuci wajahku dan menatap diriku di cermin sejenak.    "Kenapa lo t***l banget sih? Kenapa lo lakuin itu kemarin? Kenapa lo bilang lo benci dia? Hah?! Dasar gadis munafik!" omelku pada diriku di dalam cermin.    Untuk beberapa saat, aku hanya berdiri di hadapan cermin itu, menatap diriku sendiri dengan sejuta amarah untuk bayangan cermin yang kulihat kini. Dan untuk beberapa saat selanjutnya, aku menangis. Satu per satu tetesan bening itu mengalir bebas di pipiku, dan lagi, aku hanya menatap diriku tanpa berbuat apapun.    "Kenapa lo nangis? Hah?! Lo yang udah ngelakuin itu dan sekarang lo yang ngerasa bersalah?" omelku lagi. "Pengecut lo Keyrina!!!"    Lagi, untuk beberapa saat, aku kembali menatap bayangan cermin di hadapanku itu. Aku memutar bola mata dan menghela napas bersamaan, lalu aku mendecit kesal.    "It's useless!"    Aku berjalan keluar kamar mandi dan duduk di atas kursi meja makan dengan segelas air di tanganku. Kursi ini, kursi yang ia gunakan kemarin untuk sarapan pagi bersamaku. Namun, tak ada yang spesial. Rasa kesepian tetap ada menemaniku. Ting Tong... Ting Tong...    Aku berjalan menghampiri pintu. Dan dengan sedikit perasaan malas, aku membukanya. FREE HUG   Mataku terbelalak lebar kala melihat tulisan di papan kecil yang dipegang oleh seseorang di baliknya. Papan itu dipegang di depan wajah seseorang yang menggenggamnya. Aku hanya bisa mengernyit, tak mengerti apapun. Aku mematung dalam posisiku. Siapa orang di balik papan kecil itu?    Perlahan, papan itu turun dan wajah tampan pun hadir di hadapanku. Ia tersenyum, begitupun aku.    Siapa?    Leo.    Aku mendekat kepadanya, dan di lorong apartemen sepi itu, kami berpelukan. Pelukannya sungguh nyaman. Tubuhnya yang ideal dan hangat sungguh membuatku merasa damai dan ingin berlama-lama seperti ini. "Key, masuk aja yuk, nggak enak kalo ada yang lewat," ujar Leo lirih.    Aku melepas pelukanku dan menggenggam tangannya, lantas menariknya masuk ke apartemenku. Setelah di dalam, kami tak melanjutkan hal tadi. Kami saling canggung satu sama lain, hanya bisa tersenyum kecil tanpa arti.    "Duduk," ujarku, dan Leo pun duduk di atas kursi meja makan.    Aku duduk di hadapannya, dan lagi, kami hanya bisa bersikap canggung satu sama lain. "Gua kemaren liat lo nangis, gua tau lo pasti banyak masalah sama kakak lo yang kemaren itu, jadi gua rasa yang gua lakuin tadi nggak salah," ujar Leo pelan, lalu terkekeh.    Aku tertawa kecil. "Bisa aja lo."    "Ini tuh papan mainan si Carla, buat dia belajar nulis," ujar Leo lagi.    Kami saling tertawa untuk beberapa saat, menertawai hal yang entah lucu atau tidak. "Makasih ya," ujarku pelan.    "Nggak usah bilang makasih, kan gua yang pernah janjiin, kalo lo kesepian lo dateng aja ke gua."    Aku mengernyit. "Bukannya waktu itu lo bilang dateng ke apartemen lo ya?"    Leo tertawa kecil. "Ya sama aja lah," ia mengambil jeda. "Ehm... ayo ke apartemen gua, lo belum sarapan kan? Makan bareng aja sama keluarga gua, hari ini Mama masak enak," ujarnya, lalu berdiri dan menggenggam tanganku    Aku tak mampu menolak hal itu. Aku pun beranjak, mengambil handphoneku dan berjalan menuju apartemen milik keluarganya. Clak!    Aku dan Leo masuk ke dalam, sesampainya kami di ruang makan, aku bisa melihat dan merasakan suasana keluarga yang harmonis, yang tak pernah bisa kutemukan di rumah. Aku canggung. Di tatap oleh ayah Leo yang duduk seraya menunggu sang istri yang masih di dapur. Ia tak menatapku tajam, ia justru tersenyum hangat padaku, namun entah kenapa aku tetap canggung.    "Biasa aja sih," ujar Leo seraya menyenggol sikuku.    Aku hanya tersenyum kecil.    Tak lama, sang Mama datang dengan beberapa piring di tangannya yang lalu ia letakkan di atas meja makan. Ia yang melihat kami pun lantas tersenyum dan menghampiri. "Leo bawa siapa?" tanya Mama Leo lembut. Dan aku hanya bisa terdiam ragu.    "Ini Keyrina Mah, tetangga sebelah," balas Leo.    "Pacalnya kakak Mah," timpal Carla yang tiba-tiba datang dan menggaet s**u cokelat di atas meja.    Mama Leo kini menatapku seraya tersenyum sehangat mungkin. Aku yang merasa ditatap pun lagi-lagi hanya bisa bertingkah canggung, sungguh malu dengan semua orang yang bahkan tak akrab denganku.    "Eh... enggak... Carla... kita nggak... anu...    Leo memotong pembicaraan dengan menyenggol sikuku lagi. "Udah iyain aja," ujarnya singkat.    "Keyrina ikut sarapan di sini ya Mah, boleh kan?" tanya Leo.    "Boleh dong, kenapa enggak? Ajak duduk dong sayang," jawab sang Mama.    "Yuk."    Tangan itu perlahan menggenggam tanganku, menariknya, dan membawaku duduk di tengah keluarga yang sungguh asing. Namun, aku tak menyangka, keluarganya menerimaku sungguh leluasa, mereka tak keberatan sama sekali aku hadir menjadi bagian dari mereka, tak ada rasa benci atau perasaan tak suka yang kulihat, hanya ada senyuman dan kehangatan yang dapat kurasakan.    Aku menatap Leo yang kini sibuk dengan Carla memperebutkan roti lapis selai stroberi, dia sungguh lucu berdebat dengan bocah tiga tahun seperti Carla. Aku hanya bisa tertawa kecil selama perdebatan itu terjadi, namun sang ayah buru-buru melerainya dan tentu saja membela Carla. Namun, bukan itu yang kupikirkan kini. Bukan sama sekali. Aku hanya terpikir pada Leo. Otakku kini penuh dengan dirinya. Lelaki tampan di sampingku ini, mengapa dia selalu bisa memberi kejutan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya?    Kupikir pagiku akan hampa hari ini, namun ia datang dengan cara uniknya dan entah kenapa berhasil membuatku bahagia. Dan aku tak mengerti, mengapa ia menyerah begitu saja pada Carla yang dengan entengnya mengatakan bahwa aku pacar dari dirinya. Mengapa ia mengiyakan itu? Mengapa ia tak mengelak? Mengapa ia tak mengatakan yang sejujurnya? Sadarkah dia, secara tidak resmi, aku dan dia kini sudah berada dalam hubungan yang spesial.    "Keyrina jangan ragu-ragu, anggep aja kayak keluarga sendiri," ujar ayah Leo membuyarkan lamunanku.    "Eh? I-iya, Om," balasku terbata-bata.    "Keyrina maaf ya kalo makanannya nggak kamu suka, Leo nggak bilang kalo mau ajak kamu, jadi Tante nggak masak spesial," timpal sang Mama.    "Ng-nggak papa Tante, suka kok, makanannya keliatan enak."    "Masakan Mama yang telbaik," pekik Carla, membuat suasana menjadi pecah dengan tawa.    "Gua udah bilang kan, keluarga gua nggak akan keberatan kalo ada cewek cantik di tempat tinggal kita," bisik Leo padaku, dan lagi-lagi membuatku bahagia. Entah sudah ada berapa kejutan yang telah Leo buat untukku. Kini, aku hadir di tengah keluarganya yang semakin lama semakin akrab dengan diriku. Entah kenapa aku damai di tengah keluarga kecil ini, aku bisa merasakan kebahagiaan yang sudah lama sekali tak kutemukan, dan kini kembali hadir untukku, karenanya. Ngungg...    Aku jeda dari tawaku dengan keluarga Leo yang kini tengah mendengarkan Carla bercerita tentang kartun kesukaannya. Aku menunduk dan melihat tampilan layar handphoneku. Nomor tidak kukenal meneleponku. Nomor yang sungguh asing. Apakah Melly menelponku dengan nomor baru? Atau mungkin ini kak Nathan?    Berpikir tentang kak Nathan, entah kenapa aku segera menerima panggilan itu.    "Halo?"    "Kak? Kakak dimana?"    Nihil. Hanya terdengar suara rintih yang rapuh dari seberang sana.    "Kakak ini Vikar, kakak cepetan pulang ya kak." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN