WHAT'S WRONG?

1156 Kata
   Pagi ini, sebuah kejutan hadir untukku. Kejutan yang sebenarnya sungguh kusuka, namun, aku masih berlaga 'sok' tak peduli tentang apapun.    Pagi ini, ketika aku bangun tidur, menu sarapan yang lumayan banyak tertata rapi di atas meja makan. Si s****n itu yang membuatnya. Yap, sejak semalam, ia menginap di apartemenku karena keadaannya tak memungkinkan untuk ia pulang. Ia terlalu lemah untuk itu. Namun, pagi ini ia menyambutku dengan senyuman hangat yang bahkan lebih hangat dari sinar matahari di luar itu dan mengucapkan kalimat singkat yang sungguh telah lama tak kudengar darinya.    "Morning."    Sebuah kalimat yang mungkin tak penting, namun entah kenapa sangat kurindukan. Aku duduk di salah satu kursi meja makan, lalu ia datang tak lama setelah mencuci tangannya dan duduk di hadapanku.    "Sarapannya dimakan ya. Maaf kalo nggak enak," ujarnya pelan.    Aku tak menggubrisnya. Aku mengambil sebuah piring dan mengambil nasi goreng buatannya ke atas piringku, lantas mencicipinya.    "Enak nggak?" tanyanya antusias, sungguh terlihat menunggu respon dariku.    "Biasa aja."    Ia langsung tertegun, dan terdiam sesaat."Lo makan juga, gua nggak mau lo sakit lagi kayak semalem. Udah cukup lo ngerepotin gua!" ujarku pelan, namun mungkin menyakitkan.    "Maaf."    Hening. Tak ada lagi perbincangan antara kami. Kak Nathan kini juga mulai mencicipi masakannya. Perlahan tangannya itu aktif menyuap satu per satu sendok nasi goreng ke mulutnya.    Aku meliriknya sesaat. Dan, aku melihat itu. Di pergelangan tangan kanannya, tepat di urat nadi ada sebuah perban kecil di sana, terlihat menutupi luka yang tak kutahu sama sekali. Aku masih menatapnya yang kini terlihat menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Aku menepis sendok itu dan membuat nasi yang ada di atasnya berhamburan ke lantai. Ia sontak kaget, menatapku tak percaya. Aku tak menggubris tatapannya, aku menarik tangan kanannya dan menatap sejenak perban itu.    "Lo bunuh diri?!" tanyaku ketus.    Ia segera menarik pergelangan tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja makan. Aku terkekeh. "Seorang pengecut kayak lo ternyata berani juga ngelakuin hal kayak gitu," sindirku.    Ia terdiam.    "Kenapa lo nggak mati ya?! Urat nadi lo belom putus?! Hah?! Piso yang lo pake kurang tajem atau gimana?!" sindirku lagi.    Ia masih terdiam.    "Orang bodoh mana ya yang mau buang waktunya cuma buat nyelametin lo?!! Gua nggak abis pikir!"    Ia masih saja terdiam. Tak merespon hinaanku sama sekali. Aku kini menatapnya sinis, sementara dirinya hanya bisa menahan semua hinaanku itu.    "Lo tuh... Ngungg...    Di saat yang sama, handphone yang ia letakkan di meja makan berdering, berhasil memotong ucapanku. Aku bisa melihat sedikit tampilan yang ditunjukkan layar persegi panjang itu. Incoming call Jeslyn    Kak Nathan segera mengambil handphonenya itu dan mengangkat panggilan tersebut.    "Halo?... What? Ar-are y-you seroious?..."    Aku menatapnya penuh tanya. Kini, aku bisa melihat jelas tetesan bening itu mengalir mulus di pipinya. Sebuah tanda tanya besar kini muncul di benakku. What's wrong with him?    Ia menoleh menatapku. Ia segera menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya itu, lalu tanpa alasan ia beranjak berdiri dan keluar dari apartemen ini. Aku pun ikut beranjak berdiri mengikuti dirinya. Namun, kak Nathan keluar dan segera menutup pintu ini. Aku berlari ke arah pintu, dan menempelkan telingaku di daun pintu tersebut. Hanya suara lirih yang dapat kudengar kini. Suara lirih darinya yang bahkan sungguh terdengar rapuh.    "Jeslyn please, let me talk to her. Please. Jes... Jes... please let me do. Jeslyn, i just wanna... Jes? Jes? Are you there? Hello?"    Tak ada lagi yang kudengar. Aku pastikan, telponnya diputus. Clak!    Aku menatapnya ketika ia membuka pintu apartemen ini. Matanya memerah berkaca-kaca, namun ia tetap tersenyum padaku. Sebuah senyum yang terlihat benar-benar dipaksakan.    "Kenapa?" tanyaku.    Ia kembali tersenyum dan menggeleng. "Nggak pa-pa."    Aku melirik tangannya yang kini menyeka air mata itu. Perban itu lagi yang kulihat. Ingin rasanya aku frontal berucap dan menyerbunya dengan seribu satu pertanyaan tentang perban kecil itu. Namun, rasanya sekarang bukan waktu yang tepat.    "Udahlah. Yuk, lanjut sarapan," ajaknya, lalu kembali berjalan menuju meja makan.    Aku menghela napas. "Udah nggak nafsu!"    Aku berjalan menuju tempat tidur dan duduk bersandar di sana seraya memainkan handphoneku. Sementara kak Nathan kembali ke meja makan, bukan untuk melanjutkan makannya, namun untuk membersihkan dan merapikan semua itu kembali. Sesaat, aku meliriknya. Rasa tak enak hati datang menjalar di jiwaku. Setega itu kah aku pada kakakku sendiri? Menyikapinya seperti seorang pembantu, padahal dia sendiri sedang sakit dan sepertinya juga tengah dirundung masalah. Namun, lagi-lagi, seperti ada sebuah dorongan yang memerintahku untuk membenci lelaki tampan di sana itu. Aku menghela napas, lalu aku beranjak berdiri dan menghampirinya di dapur. Ia tengah berdiri di depan wastafel, mencuci alat-alat dapur yang telah kotor. Aku menepis tubuhnya kasar dan segera mengambil alih dirinya untuk mencuci seluruh alat-alat itu.    "Hari ini kamu libur sekolah kan?" tanyanya lembut.    "Hm."    "Jalan-jalan yuk dek. Kita pergi kemanapun yang kamu mau, kamu bisa beli apapun yang kamu mau, kakak yang traktir," ucapnya, lalu mengukir senyum untukku.    Aku menatapnya sinis. "Lo pikir gua nggak mampu?! Gua bisa beli apapun yang gua mau pake uang gua sendiri!"    Kak Nathan terdiam. Sementara aku lanjut pada pekerjaanku, dan untuk beberapa saat, ruangan itu sunyi. Kak Nathan hanya berdiri saja pada posisinya dan menatapku. Namun, setelahnya ia pergi, menjauh dari diriku. ***    Aku kini berdiri di ambang pintu, menyambutnya untuk pergi dari apartemenku.    "Kakak pulang ya, kapan-kapan kakak bakal dateng lagi," ujarnya.    "Nggak usah dateng juga nggak pa-pa," umpatku, namun kurasa ia mendengar.    "Kamu kapan-kapan juga dateng ke rumah kakak ya."    Aku menatapnya tajam. "GUA NGGAK SUDI!" balasku, dengan semua penekanan pada kalimatku.    Kak Nathan menghela napasnya, lalu ia menatap sungguh lembut.    "Kamu mau sampe kapan sih kayak gini?" tanyanya.    "Sampe lo mati!"    "Keyrina!" ia membentak.    "Apa?! Lo tersinggung?! Mau marah?! Silahkan!"    Ia menghela napas panjang. "Kakak udah bilang berkali-kali sama kamu, kakak minta maaf dek."    "Heh! Lo pikir semua kata maaf lo bisa balikin apa?! Hah?! Lo pikir kata maaf lo bisa bikin semuanya kayak dulu lagi?! Mikir dong, kata maaf lo itu nggak berguna!!!"    "Tapi itu nggak semuanya salah kakak kan."    "Oh gitu? Lo pikir lo bener?! Emang nggak semuanya salah lo, tapi lo harusnya sadar, kalo lo udah ngelakuin kesalahan yang paling besar!"    Kak Nathan meneteskan air matanya.    "Kenapa lo nangis? Pengecut!"    "Keyrina, kakak mohon maafin kakak," ujarnya lagi, sungguh rapuh.    Aku menyeringai. "Nggak usah berlaga sok bijak! Mendingan lo pergi sekarang juga!"Kak Nathan menghela napas panjang, ia mendekat, ia mencoba mengelus kepalaku tapi aku menghindar.    "Don't touch me!"    "I'm sorry, just please forgive me."    Aku tertawa kecil. "Gua benci sama lo!" ujarku tajam.    Kak Nathan pergi dari hadapanku dengan kekecewaan yang menemaninya. Tak ada kata-kata lagi yang terucap, ia hanya berjalan pergi begitu saja dan menghilang di balik tikungan apartemen di sana itu. Aku menghela napas panjang. Aku menyandarkan tubuhku pada sisi pintu dan kembali menyesali perbuatanku.    "Kenapa lo t***l banget sih Key?!!" gumamku, lantas tanpa alasan aku menangis.    Aku bertopang pada lututku dan aku berjongkok di depan pintu. Aku memeluk lututku dan menenggelamkan wajahku, dan saat itu juga tangisku menderas.    "Key?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN