10. Tak Sama

1795 Kata
Tak ada jawaban dari dalam kamar. Levi mulai cemas pada kondisi Lody di sana. Dia khawatir di tengah kondisi batinnya yang masih terguncang, Lody melakukan tindakan mengerikan seperti di basement beberapa waktu lalu. Namun dia merasa tidak punya kapasitas apa pun untuk ikut campur ke dalam masalah utama keluarga Lody. Dia hanya menjadi penonton tanpa bisa melakukan sesuatu untuk menengahi konflik yang sedang terjadi di antara Lody dengan kedua orang tuanya. Meski kini sudah menjadi menantu keluarga itu, tiba-tiba dia meragu pada dirinya. Sampai kapan dia bisa bertahan menghadapi situasi pelik seperti ini? Apakah dia bisa memenuhi janji yang dia buat sendiri di hadapan Nadip, keluarga dan Tuhan untuk menemani dan menjaga Lody selamanya? “Lody, Ayah mohon buka pintunya dulu, ya. Lody harus mendengarkan penjelasan yang sebenarnya supaya nggak terus-terusan marah seperti ini,” ujar Bayu sekali lagi. “Nggak perlu! Penjelasan apa pun nggak akan bisa menghidupkan Kak Nadip kembali,” ujar Lody dari dalam kamar. “Lody nggak habis pikir, apa yang Ayah pikirkan waktu menyetujui pernikahan itu. Sampai hati Ayah menikahkan Lody dengan laki-laki yang bukan pilihan Lody bahkan tanpa persetujuan Lody. Apa salah Lody, Yah?” Suara Lody terdengar begitu pilu. Levi merasa lega karena hal yang sedang dikhawatirkannya tidak terjadi. Namun dia masih tidak bisa tenang sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri kondisi Lody. Terlebih mendengar nada bicara Lody yang terdengar begitu menyayat hati. Apalagi ketika membicarakan tentang pernikahan mereka yang sudah terjadi, kata-katanya mengisyaratkan seolah pernikahan itu tak kalah menyedihkannya dengan duka kematian sang kekasih bagi Lody. “Lody jangan salah paham dulu. Semua yang terjadi nggak seperti yang ada dalam pikiran Lody sekarang,” ujar Bayu masih berusaha mengambil hati anak perempuannya. “Lalu apa yang harus Lody pikirkan sekarang? Menerima sesuatu yang bukan menjadi keinginan Lody lalu melupakan begitu saja semua kepahitan yang sudah terjadi dalam hidup Lody?” “Kalau Mamah bilang Nadip yang meminta kami untuk melanjutkan pernikahan kalian tapi dengan Levi sebagai mempelai prianya, apa Lody akan percaya hal itu?” Tiba-tiba Lody tertawa sumbang. “Mamah pikir aku akan percaya semua omong kosong itu? Lagipula ini bukan sekedar tentang pernikahan, Mah!” teriak Lody sambil memukul pintu kamar beberapa kali. Lody sama sekali tidak mau mendengarkan dan menerima penjelasan dalam bentuk apa pun dari kedua orang tuanya. Hatinya benar-benar tertutup oleh kabut kemarahan dan kekecawaan pada situasi yang harus dijalaninya. Sehingga dia belum bisa menerima kenyataan dan keadaan yang harus menjadi takdir hidupnya. Lekha tak kuasa lagi menahan air matanya. “Mamah terima kalau Lody berpikiran buruk tentang Ayah dan Mamah sekarang. Tapi asal Lody tahu, Ayah dan Mamah akan selalu ada untuk Lody.” Tak lama kemudian terdengar suara kunci diputar dari arah dalam. Berikutnya pintu terbuka dan muncul Lody dengan sorot dingin, sedih, kecewa dan marah dari baliknya. “Lebih baik kalian pulang saja…Atau kalian nggak akan pernah melihat Lody lagi untuk selamanya,” kata Lody dengan raut datar. Tangis Lekha semakin kencang dalam pelukan Bayu. Sementara itu Bayu hanya memandang wajah sendu Lody tanpa sanggup bicara sepatah katapun lagi. “Lebih baik kita pulang sekarang. Biarkan Lody tenang dulu baru kita temui dia lagi,” ujar Bayu berusaha menenangkan Lekha. Bayu hanya mengangguk sekilas pada Levi sebagai tanda pamit. Sementara itu Kavi dan Caca yang sedari tadi hanya menjadi penonton terpaksa mengikuti langkah Bayu dan Lekha yang sudah lebih dulu meninggalkan Lody. Sebenarnya Caca sudah ingin mendekati Lody dan memeluk sahabatnya itu. Namun dia khawatir perbuatannya itu akan semakin membuat suasana hati Lody kacau. Menurut Caca sikap Lody untuk menunjukkan duka kehilangan orang yang dicintai sudah melewati batas karena bukan hanya Lody saja yang kehilangan orang terkasih. Bahkan kedua orang tua Nadip sudah mengikhlaskan anak mereka satu-satunya pergi untuk selamanya. Sementara itu Lody masih terpuruk dalam duka kehilangan. Caca jadi merasa ada sebuah alasan besar yang coba disembunyikan oleh Lody di balik dukanya itu. Entah karena benar-benar merasa kehilangan calon mempelainya atau karena harus menikah dengan laki-laki yang tidak dicintai sahabatnya itu. Hanya Lody dan Tuhan yang tahu untuk saat ini. ~ “Masakan Mamah enak ya,” komentar Levi, memecah keheningan ketika menikmati makan makanan yang dibawakan oleh Lekha. “Mamah?” respon Lody dengan nada bicara seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak salah dengar. Tidak seperti biasanya, Lody membalas tatapan Levi. Levi tersenyum lembut melihat Lody menatapnya. “Iya, yang sedang kita makan sekarang ini makanan yang dibawakan sama Mamah tadi. Katanya makanan kesukaan kamu, right?” Marah-marah seperti sesaat yang lalu bukanlah gayanya. Seumur-umur Lody tidak pernah melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya terhadap dengan cara seperti itu. Benar kata Bayu tadi, bahwa ayahnya itu tidak pernah mengajarkan padanya menyelesaikan masalah dengan cara kasar dan keras seperti tadi. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya hilang tadi dia seperti orang yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri hingga tak peduli pada sekitarnya. Kini dia seperti sudah kehabisan tenaga gara-gara menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak sesuai. Dan dia harus mendengar sebuah kata yang tidak seharusnya didengarnya dari Levi. Sebenarnya bukan informasi soal siapa yang memasak makanan yang sedang dimakan Lody saat ini. Tanpa diberi tahu oleh Levi sekalipun, lidahnya sudah sangat hapal kalau makanan itu adalah masakan ibu sambungnya. Yang dipersoalkan oleh Lody di sini adalah cara Levi menyebut kata Mamah sebagai kata ganti untuk menyebut nama ibu sambung Lody. Kalau saja Levi berkata ‘Tante Lekha’, Lody tidak akan bereaksi seperti ini. Menurutnys sebutan itu terlalu akrab bagi seseorang yang baru saja memaksa masuk ke dalam lingkungan keluarganya. Nadip saja yang sudah hampir menikah dengannya tidak berani menyebut Lekha dengan panggilan ‘mamah’ seperti Lody sebelum mereka resmi menikah. “Siapa bilang kamu boleh panggil mamahku dengan sebutan itu?” “Maksud kamu?” “Dia bukan Mamah kamu, jadi nggak sepantasnya kamu panggil dia dengan sebutan itu.” “Tapi sekarang dia sudah jadi mamahku juga dan beliau mengizinkan aku untuk memanggilnya dengan sebutan itu. So, nggak ada masalah, aku panggil Tante Lekha dengan sebutan Mamah, kan?” Menurut Lody dengan Levi memberi jawaban seperti itu, artinya ada kemungkinan Levi sengaja tidak melakukan penolakan hingga akhirnya pernikahan pun terjadi. Dia pikir Levi juga sama terpaksanya melakukan pernikahan ini. Ternyata dugaannya salah. “Aku nggak nyaman dengan itu dan akan menjadikan hal itu sebagai masalah besar kalau aku nggak suka,” jawab Lody dingin. Levi menggeleng tidak habis pikir pada pola pikir perempuan di hadapannya ini. “Kalau kamu berpikir seperti itu, boleh nggak aku bilang kamu itu menyedihkan. Hanya masalah sepele aja kamu besar-besarkan seperti ini.” Lody pikir Levi akan seperti biasa mengerti kondisinya yang masih berduka kehilangan Nadip untuk selama-lamanya, bukan untuk sebulan atau dua bulan. Dia sama sekali tidak menyangka kata pedas seperti itu akan meluncur dari mulut Levi yang selama ini mulai bisa dipercayai tidak sama seperti anggota keluarganya. “Harusnya waktu itu aku loncat ke arah mobil yang melewatiku di basement,” ujar Lody sambil menatap Levi dengan sorot mata dingin dan kecewa. Dia mengakhiri acara makannya begitu saja, padahal nasi di piringnya belum benar-benar habis. Dia sudah kehilangan selera makannya saat ini. Sebenarnya dari awal dia sama sekali tidak merasa lapar. Kalaupun dia mau menerima ajakan makan dari Levi, itu semata untuk menghormati tuan rumah dan sebagai bentuk permintaan maaf karena dia serta anggota keluarganya telah membuat kegaduhan di apartemen ini. Dan kini suasana hatinya kembali kacau. “Lo mau sampai kapan bersikap kekanakan seperti ini? Lo masih punya keluarga yang sayang sama lo. Memangnya lo nggak pernah mikirin gimana keadaan perasaan mereka sekarang ngadepin sikap lo yang kayak gini terus-terusan?” Lody tersenyum sinis. Dia sangat sadar kalau sikapnya memang tidak menunjukkan dirinya yang sebenarnya beberapa hari terakhir. Tepatnya semenjak Nadip tiada. Namun dia merasa Levi sudah terlalu jauh ikut campur ke dalam persoalan pribadinya. Lalu Lody bangkit dari kursi makan dan meninggalkan ruang makan tanpa permisi. “Bisa nggak lo jangan kabur sebelum menyelesaikan sebuah masalah?” teriak Levi dari ruang makan sambil menatap tajam ke arah Lody. Lody sama sekali tidak memedulikan ucapan Levi. Dia sudah tidak berminat berdebat dengan laki-laki itu lagi. “Haruskah gue ingatkan lagi tentang hubungan kita berdua saat ini? Gue rasa lo udah lebih dari kata dewasa untuk mengerti soal itu.” Levi melangkah cepat mendekati kamar utama, sehingga dia bisa menahan pintu kamar yang hendak ditutup oleh Lody dengan kakinya. Perbuatan itu membuat Lody refleks mundur dari pintu. Sementara itu Levi terus maju hingga tanpa sadar mereka berdua kini sudah berada di dalam kamar. Levi terus menatap ke dalam bola mata Lody sambil terus berjalan hingga kini nyaris tak ada jarak di antara mereka berdua. Levi mengangkat salah tangannya lalu mengusap pelan pipi Lody. Raut wajah Lody tampak datar tak mengisyaratkan reaksi apa pun di sana. Hal itu membuat Levi sedikit frustrasi. Sementara itu tanpa Levi ketahui jantung Lody kini berdebar tak menentu akibat perbuatan laki-laki itu. Kata-kata Levi itu seolah sedang mengorek luka yang sedang coba ia sembuhkan seorang diri. Luka atas kenyataan bahwa mereka sudah menjadi sepasang suami istri yang sah di mata hukum dan juga agama. “Sudah malam. Lebih baik kamu segera tidur,” ujar Lody memalingkan wajah dari tatapan intens Levi. Levi mundur selangkah. Dia tersadar tidak seharusnya membahas sesuatu yang patutnya dihindari dalam situasi seperti ini. Dia hampir saja melupakan tujuannya menikahi Lody. “Sorry, aku out of control. Harusnya aku nggak sejauh ini dalam memerankan peranku sebagai suami dari calon pengantin sahabatku.” Mendengar kata-kata itu mata Lody berkaca-kaca, akan tetapi ia berusaha sekuat hati agar tidak membiarkan air matanya sampai jatuh untuk menangisi orang yang tidak dicintainya itu. Dia harus kuat. Dia tidak mau menunjukkan kondisi lemahnya di depan Levi. Dia harus menunjukkan pada Levi kalau dia kuat dan tidak mudah diintimidasi. “Aku ingin kita bisa bicara baik-baik tentang hubungan baru ini, Dy,” ujar Levi meraih salah satu tangan Lody lalu menggenggam jemarinya dengan erat. “Dua hari lagi aku akan kembali ke US untuk membereskan beberapa pekerjaan di sana. Tapi lihat keadaanmu yang seperti ini bikin aku nggak tenang ninggalin kamu,” sambungnya sambil terus memandang wajah Lody yang masih tetap tanpa ekspresi itu. “Kalau kamu mau pergi ya, tinggal pergi aja. Nggak usah sok mikirin keadaanku,” jawab Lody hendak melepas tangannya dari genggaman Levi. “Aku mohon kamu tetap hidup, Dy. Kalau kamu kehilangan tujuan hidup semenjak Nadip nggak ada, setidaknya bertahanlah buat orang tuamu.” Kata-kata yang disampaikan oleh Levi seolah sedang menamparnya. “Aku mohon juga berhenti sakiti diri kamu dan hati orang-orang yang sayang sama kamu.” Levi meraih kembali tangan Lody dan menggenggamnya dengan penuh kehangatan. “Besok aku akan mengantar kamu pulang ke rumah orang tuamu. Aku merasa lebih tenang kalau kamu ada di sana selama aku pergi.” Tak ada jawaban dari Lody. Levi mengartikan bahwa Lody mau mendengarkan dan menerima semua hal yang yang ia sampaikan malam ini. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN