PROLOG
“Keluarga Naradipta Bentang Pratama!” panggil salah seorang perawat dari ruang ICU.
Levi beserta Kedua orang tua Lody dan Kedua orang tua Nadip spontan berdiri lantas menghampiri perawat yang menyebutkan nama lengkap Nadip. “Pasien terus memanggil nama Levi. Harap yang bersangkutan segera menemui pasien secepatnya,” ujar perawat tersebut.
“Saya Levi.” Levi langsung mendekat pada perawat yang memanggilnya. Kini hatinya diliputi ketegangan. Tentu saja ini bukan momen yang diharapkannya. Dia mengikuti langkah lebar perawat dengan perasaan gusar. Nadip sahabat baiknya dari masa putih biru itu kini tengah terbaring di antara hidup dan mati di dalam ruang ICU.
Levi melirik Bayu yang berdiri tak jauh darinya. Entah mengapa hatinya menyuruh dia untuk mengajak Bayu masuk ke dalam ruang ICU. Bagaimanapun, Bayu adalah ayahnya Lody, calon pengantin sahabatnya itu. Jadi Bayu juga harus tahu kondisi calon menantunya sesegara mungkin.
Bayu menyetujuinya. Mereka berjalan bersisian untuk melihat Nadip yang kini sedang terbaring lemah di sudut ruang ICU. Langkah mereka terhenti di salah satu brankar yang ditunjuk oleh perawat. Nadip terbaring dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Pakaian yang tadi digunakannya ke rumah sakit sudah tidak ada lagi. Berganti pakaian rumah sakit yang hanya menempel di bagian depan tubuhnya lalu dibalut selimut untuk menutupi seluruh tubuh. Levi melirik ke arah kantong darah yang mengalir ke tubuh Nadip lewat selang transfusi darah, seolah semakin memperjelas kondisinya yang sangat serius.
Levi melihat ke sembarang arah untuk mencegah agar air matanya tidak tumpah. Tapi cara itu gagal, matanya terasa panas dan pandangannya mulai kabur. Dicermati wajah Nadip. Dia membandingkan dengan tadi ketika mereka bertemu di bandara. Tidak ada tawa dan canda di wajah sahabatnya itu. Wajah tampan itu sekarang pucat dan terlihat menahan rasa sakit.
Levi mendekati Nadip dan berbisik pelan. “I’m here, Dip.” Tak terasa air matanya menetes di atas telinga Nadip. Dia benci melihat ini. Melihat sahabatnya yang kuat itu terbaring lemah dalam kondisi kritis.
Tak lama kemudian Nadip tampak gelisah. “Levi…” panggil Nadip dengan suara serak.
“Gue di sini, Dip.” Suara Levi bergetar. Hatinya terasa pedih melihat sahabatnya sedang berjuang antara hidup dan mati seorang diri.
“Tolong jaga dia, untuk gue,” ucap Nadip sambil berusaha membuka kedua matanya yang terpejam.
Napas Levi seperti tercekat mendengar permintaan itu keluar dari bibir Nadip yang mulai pecah-pecah karena udara kering dan dingin di dalam ruang ICU. “Maksud lo siapa?” tanya Levi bingung.
“Lody.”
“Nggak, Dip. Dia sekarang lagi nungguin elo. Don’t thinking stupid, okay!”
Levi melihat dari sudut mata Nadip ada setetes air bening mengalir hingga ke pelipisnya. “Gue nggak bisa, Lev… Please, berjanji satu hal sama gue.” Pinta Nadip dengan suara terbata.
Levi menggeleng kuat. “No, i can’t… Trust me, everything will be okay. Ingat besok hari pernikahan lo dan Lody. Lo harus kuat, Dip. Gue mohon!” ujar Levi dengan suara mulai bergetar.
“Cuma lo yang gue percaya…” Nadip berhenti dan mengambil napasnya. “Cuma lo yang bisa menggantikan gue sebagai calon mempelai pria untuk Lody.” Suara Nadip terdengar mulai lemah.
Levi tidak membantah lagi. Akhirnya dia hanya mengangguk lemah. Dia melakukan hal itu semata hanya supaya Nadip sedikit lebih tenang dan bisa mengontrol emosinya, sehingga laki-laki itu tidak perlu cemas pada acara pernikahannya besok dan bisa segera melewati masa kritisnya.
Bayu yang berdiri di sisi ranjang satunya ikut hanyut menyaksikan dua sahabat itu. Bayu tidak menyangka keduanya memiliki hubungan emosional yang sangat dekat padahal Bayu tidak pernah mendengar tentang kisah persahabatan mereka. Bayu jadi penasaran kenapa dalam situasi seperti ini Nadip justru meminta Levi untuk menggantikan posisinya sebagai calon pengantin pria untuk Lody. Permintaannya itu seolah mengisyaratkan sesuatu hal yang sangat menyedihkan akan terjadi dalam waktu dekat. Membuat Bayu semakin cemas membayangkan kondisi Nadip ke depannya.
Setelah berbicara dengan Levi matanya kembali terpejam. Bayu lalu mengajak Levi keluar ruangan agar tidak mengganggu Nadip. Levi menuruti ucapan Bayu. Dia melangkah di belakang Bayu sambil sesekali menoleh ke arah ranjang Nadip dan berharap sahabatnya itu diberi mukjizat kesembuhan.
Kini di tempat duduknya Levi tidak banyak bicara. Ada yang mengganjal di hatinya, yakni sebuah janji yang baru saja diucapkannya pada Nadip. Dia berharap semoga hal yang dijanjikan itu tidak akan pernah terjadi.
~~~
^vee^