3. Melawan Logika

1547 Kata
Waktu seakan berjalan lamban bagi Lody saat ini. Dia mencoba melawan getir yang terus dikecapnya dan meresap ke dalam relung sukmanya. Dia mencoba menyingkirkan aroma napas tubuh Nadip yang masih mengalir mengisi laju darahnya. Sebenarnya laki-laki yang kini sedang duduk menatap syahdu ke arahnya ini bukanlah seorang yang asing baginya. Laki-laki itu cukup dikenalnya, bahkan mereka memiliki cerita masa lalu kelam yang tidak semua orang tahu tentang itu. Meski dia tahu nama lengkap laki-laki itu, tapi tentu saja bukan nama itu yang diinginkan Lody tertera di buku nikahnya. Lekha menarik kursi yang sudah dilapisi kain satin berwarna putih serta hiasan dekorasi cantik di bagian sandarannya. Sementara itu Jasmine membantu Lody yang terasa lemas agar menduduki kursi tersebut. Buliran air mata masih terus menetes dari bulu mata lentik yang menghiasi mata sayu milik Lody. Dia ingin marah dan protes pada semua orang yang masih bungkam pada situasi dan kondisi yang sedang terjadi saat ini. Namun dia masih berusaha mengendalikan emosinya kala menatap wajah ayahnya yang tampak tenang meski sedang menyembunyikan persoalan berat di balik tenangnya itu. Lody yang sudah tidak bisa lagi mengendalikan emosinya bangkit berdiri dari kursi dan beranjak dari meja pelaminan. Levi yang menyadari pergerakan Lody segera berinisiatif untuk menangkap tangan Lody. Dia menggeleng meminta Lody untuk menghentikan apa pun yang hendak dilakukan gadis itu. Namun sayang Lody sama sekali tidak mau mengerti kode yang diberikan Levi. Gadis itu terus melanjutkan langkah meski pergelangan tangannya sedang berada dalam cengkraman Levi. Levi akhirnya ikut bangkit dari kursinya dan sekali hentakan kini Lody sudah berada dalam dekapannya. Tangan yang tadinya digunakan untuk mencengkram pergelangan tangan Lody kini sudah berpindah ke pinggang gadis itu. “Lepasin aku!” bentak Lody mencoba memberontak. Namun sayang kekuatannya yang terlampau lemah tak mampu menggeser tangan Levi barang sesenti pun dari pinggangnya. “Ikut aku,” ujar Levi dengan penuh kelembutan sembari merenggangkan rangkulan di pinggang Lody karena ia tahu gadis itu sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawannya. “Nggak!” jawab Lody dengan lugas sambil memasang tampang dinginnya. Dan Levi sama sekali tidak terganggu oleh raut wajah dingin itu. “Aku tahu kamu pasti kebingungan dengan situasi yang sedang terjadi saat ini.” “Di mana Kak Nadip?” tanya Lody dengan tatapan penuh amarah karena merasa semua orang telah mempermainkan perasaannya hari ini. “Kalau kamu ingin tahu, ikut aku sekarang juga. Aku akan membawa kamu bertemu dengan Nadip,” ujar Levi sama sekali tak terpancing oleh emosi Lody yang sudah tidak terkendali. Lody masih menatap dingin pada Levi. Dia sama sekali tidak sudi pada penawaran yang diberikan oleh Levi. Yang dilakukan adalah sekali lagi berusaha melepaskan rangkulan tangan Levi yang sedikit mengendur dari pinggangnya. Levi yang sudah kepalang malu karena menjadi tontonan banyak mengambil keputusan untuk menggiring Lody meninggalkan lokasi akad nikah. Meski Levi tahu tamu undangan yang hadir adalah keluarga dan kerabat dekat Lody dan Nadip, tetap saja Levi tidak ingin terlihat seperti orang t***l yang terkesan memohon diberikan sesuatu pada seorang perempuan, hal yang paling anti dia lakukan sejak beranjak dewasa. Dia juga tidak mau orang-orang yang sedang menonton adegan dramatis ini memberikan penilaian buruk padanya. Akhirnya Levi segera mengambil keputusan menarik paksa tubuh Lody agar mengikuti langkahnya. Lody sudah hampir berhasil melepaskan diri dengan mendorong tubuh Levi dari sampingnya. Namun tangan Levi lebih kuat dan cepat juga untuk meraih bagian tubuhnya yang lain. Kini tangan kokoh milik Levi sudah mencengkram erat pangkal lengannya. Lody akhirnya sadar sekuat apa pun memberontak, kekuatannya yang tidak seberapa itu tidak akan sanggup melawan kekuatan seorang laki-laki. Akhirnya dia menyerah dan berhenti melakukan pemberontakan. Dia pasrah pada Levi yang akan membawanya entah kemana. Justru kini dia penasaran pada keberadaan Nadip yang dijanjikan oleh Levi. Sembari merangkul pangkal lengan Lody yang sudah tak lagi memberontak, Levi mendatangi kedua orang tua mereka untuk berpamitan. Sama sekali tidak ada sanggahan dari masing-masing orang tua karena kini Lody sudah menjadi tanggung jawab Levi sepenuhnya. Sementara itu para orang tua yang akan memberikan penjelasan pada para tamu undangan yang telah hadir dan turut mendoakan pernikahan anak-anak mereka tentang situasi dan kondisi yang sebenarnya, sehingga pernikahan yang bisa dibilang kacau ini sampai terjadi. Dengan wajah menahan malu dan marah pada apa pun dan siapapun yang menyebabkan terjadinya kekacauan di hari yang harusnya menjadi hari bahagianya, Lody mengikuti langkah Levi yang sedikit cepat dari langkahnya. Dia kesulitan melangkah karena sandal yang digunakan memiliki heels lebih tinggi dari batas toleransi heels yang bisa digunakannya. Sesampainya di samping mobil mewah yang sama sekali tidak dikenali oleh Lody milik siapa, Levi membuka pintu penumpang dan menyuruhnya masuk. Namun Lody masih bertahan dan enggan menuruti perintah Levi. “Sikap keras kepalamu ini sama saja dengan membuang waktu kamu untuk bisa segera tahu hal yang sebenarnya terjadi pada Nadip.” Jantung Lody seketika berdebar cepat kala Levi menyebut nama kekasihnya itu. Logikanya mengambil alih dan membenarkan kata-kata yang diucapkan oleh Levi. Akhirnya Lody menurut. Kembang goyang yang ada di atas kepalanya membuat Lody harus sedikit menunduk agar bisa masuk mobil tanpa drama hiasan sanggulnya itu tersangkut. Melihat Lody kesulitan masuk Levi segera mengulurkan tangan untuk melindungi kepala Lody agar tidak terbentur atap mobil. Sayang sekali justru kebaikannya itu mendatangkan celaka bagi tangannya. Telapak tangannya tergores salah satu kembang goyang hingga berdarah. Namun Levi mengabaikan luka itu agar tidak membuang waktu seperti yang dikatakannya tadi saat memperingatkan Lody. Setelah menutup pintu mobil Levi segera berlari ke bangku penumpang dan bergegas masuk mobil. Levi menyalakan mesin mobil sekaligus pendingin udaranya. Dia meraih kotak tisu dan menarik beberapa lembar untuk mengeringkan bercak darah yang ada di telapak tangannya sekaligus menyeka keringat yang mengalir di sekitar kening dan hidung mancungnya. Kemudian dia memberikan kotak tisu tadi pada Lody. “Keringkan dulu air mata kamu. Nadip pasti sedih lihat kamu datang berurai air mata kayak gitu,” ujar Levi. Namun gadis yang diajaknya bicara itu sama sekali mengabaikan ucapannya. Akhirnya Levi memutuskan untuk meletakkan kotak tisu tersebut di atas pangkuan Lody. Tak memedulikan sikap dingin perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya itu, Levi memilih melepas segala atribut dan aksesoris pakaian pengantin yang melekat di badannya. Menyisakan kaos berwarna putih polos dan celana selutut. Baru setelah itu dia memakai sabuk pengaman. Sebelum tancap gas Levi menoleh ke arah Lody sekali lagi. Gadis itu masih setia dalam diamnya. “Pakai selt belt kamu. Kita berangkat sekarang!” perintah Levi lagi. “Kamu sama sekali nggak punya hak memerintahku,” balas Lody sinis. “Ya, sudah kalau itu mau kamu,” ujar Levi kemudian tancap gas tanpa aba-aba. Selang beberapa meter dia tiba-tiba menginjak pedal rem secara tiba-tiba padahal jalanan di depannya tidak menunjukkan sesuatu hal yang membuatnya harus berhenti secara mendadak. Perbuatan Levi itu membuat Lody terjengkang ke depan dan nyaris membuat kening gadis itu terbentur dashboard, kalau saja kedua tangannya tidak refleks menahan tubuh Lody. “Udah gila ya kamu?!” bentak Lody penuh amarah. “Sorry, aku nggak terbiasa nyetir kanan. Makanya tadi aku bilang supaya pakai seatbelt. Demi keamanan bersama,” ujar Levi santai. Tak ingin kejadian seperti ini terjadi lagi, Lody buru-buru menarik sabuk pengaman yang berada di pinggir pintu. Setelah melihat Lody memakai sabuk pengaman dengan benar, barulah Levi kembali tancap gas secara perlahan dan hati-hati. Kali ini dia mengemudikan mobil dengan benar. Tidak ugal-ugalan seperti sebelumnya. Keduanya tidak saling bicara sepanjang perjalanan. Mereka sibuk dengan pikiran yang berkecamuk di benak masing-masing. Sekalipun Lody penasaran kemana Levi akan membawanya pergi, dia sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk bertanya. Begitu juga dengan Levi, sebenarnya dia sangat ingin mengajak Lody mengobrol, tapi dia sadar suasananya sedang tidak memungkinkan bagi mereka untuk berbicara baik-baik. Sesekali Lody melirik ke arah roda kemudi. Tak sengaja dia melihat ada bercak noda merah pada tisu yang masih menempel di telapak tangan Levi. Namun bukannya bertanya apa penyebabnya, Lody memilih membuang muka dan melihat ke jalanan di samping kirinya. Namun perhatiannya sedikit teralihkan ketika Levi membelokkan mobil ke arah Karawang Barat. Lody berpikir keras sedang apa Nadip di daerah itu? Seingatnya Nadip sama sekali tidak memiliki saudara ataupun kerabat yang tinggal di daerah sana. Jantungnya seketika berdebar kencang ketika tanpa sengaja pandangannya melihat ke arah papan petunjuk yang baru saja dilewati oleh mobil Levi. “San Diego Hills,” ucap Lody dengan suara bergetar. “Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Lody akhirnya. “Katanya kamu mau ketemu Nadip. Ini aku lagi ngantar kamu ke tempat Nadip.” “Kamu nggak lagi bercanda, kan? Ngapain Nadip di San Diego Hills?” tanya Lody dengan suara setengah berteriak di akhir ucapannya. “Nanti juga kamu tahu sendiri apa yang dilakukan Nadip di sana,” jawab Levi sambil mengurangi kecepatan mobilnya ketika hendak melewati sebuah gerbang yang dijaga ketat oleh beberapa petugas keamanan. Levi kembali tancap gas setelah membayar tiket parkir untuk mobilnya. Kini seluruh tubuh Lody gemetaran saat tahu tempat apa yang sedang dilalui oleh mobil Levi dengan kecepatan sedang. Seketika itu juga keringat mengucur deras di punggungnya padahal suhu pendingin udara di mobil Levi mendekati angka paling dingin, saat melihat hamparan tanah hijau yang begitu luas, bersih, dan sejuk berkata pepohonan hijau di sepanjang kiri dan kanan jalan. Tangis yang tadinya sudah reda kini tak tertahankan lagi. Air mata kembali berderai membasahi wajahnya. Kepalanya menggeleng kuat-kuat, berusaha melawan logika yang sedang mencoba mengambil alih hal-hal yang tengah ditepisnya saat tahu tempat apa yang kini sedang didatangi olehnya itu. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN