Bab 5. Calon Suami Zahra

1558 Kata
“Tidak. Aku tidak mau melanjutkan pernikahan dengan mas Wildan.” “Zahra ….” Zahra sama sekali tidak menoleh. Setelah ia masuk ke dalam rumah, mereka bicara berempat. Zahra, Wildan dan kedua orang tua Zahra. “Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu tidak mau melanjutkan pernikahan kalian? Ada masalah apa? Jangan main-main, Ra. Acara pernikahan kalian itu besok pagi. Jangan—” “Wildan selingkuh, Pak. Aku tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak bisa menjaga kemaluannya.” Zahra merasakan dadanya kembali sesak. Sepasang mata wanita muda tersebut dengan cepat memerah. Kedua orang tua Zahra terhenyak mendengar pengakuan sang putri. Dua orang itu menoleh ke arah sosok pria yang akan menjadi menantunya esok pagi. “Apa yang Zahra katakan benar?” Sepasang mata bapak Zahra menatap tajam Wildan. “Aku khilaf, Pak. Tapi, aku bersumpah aku hanya mencintai Zahra. Aku tidak pernah mencintai perempuan lain. Aku berani bersumpah. Sumpah pocong juga aku berani, Pak. Bu.” Ibu Zahra langsung memijat pelipisnya. Kepalanya pusing seketika. Apa yang akan ia katakan pada semua orang? Tidak mungkin pesta pernikahan digagalkan. Semua sudah siap. “Aku janji tidak akan pernah selingkuh darimu, Ra.” Wildan menoleh, menatap memohon perempuan yang membuang muka darinya. Tidak mendapatkan respon dari Zahra, Wildan mengalihkan pandangan mata ke depan. “Pak, aku sangat mencintai Zahra. Cuma Zahra seorang yang ada di dalam hatiku selama ini, Pak.” “Kita tidak mungkin menggagalkan pestanya, Pak. Bagaimana bisa? Pestanya besok.” Ibu Zahra meringis sambil masih memijat pelipisnya. Wildan merasa baru saja mendapatkan angin segar mendengar apa yang ibu Zahra katakan pada sang suami. “Kamu dengar apa kata ibu, kan, Ra? Kita harus tetap menikah. Kamu pasti pernah dengar kalau orang yang akan menikah biasanya mendapat ujian mendekati hari H. Itu yang terjadi pada kita sekarang. Kita sedang diuji, Ra. Dan jika kita bisa melewatinya, kita akan bahagia hidup bersama. Bukankah itu yang selama ini kita impikan, Zahra? Menikah, dan memiliki keluarga kita sendiri.” “Aku tidak mau. Aku sudah bilang aku tidak mau menikah denganmu, Mas.” Zahra tetap kukuh pada pendiriannya, sekalipun Wildan sudah bicara panjang lebar mencoba untuk membujuk. “Aku tidak akan bisa melupakan apa yang kulihat tadi. Seumur hidup akan tersiksa.” “Aku khilaf, Zahra. Apa kamu tidak bisa memaafkan satu kesalahanku setelah seribu kebaikanku selama ini? kenapa seolah aku tidak pernah berbuat baik hanya karena aku melakukan satu kesalahan? Kita manusia, Zahra. Manusia tempatnya salah.” “Tapi bukan kesalahan yang satu itu. Aku benci perselingkuhan. Di luar sana banyak pernikahan berantakan karena perselingkuhan. Bagaimana caraku hidup dengan seorang pria yang dengan mata kepalaku sendiri—” kedua tangan Zahra mengepal kuat. Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Dadanya begitu sesak. Zahra buru-buru menyusut air mata yang sudah menggantung di sudut-sudut matanya. “Aku tidak bisa. Aku tidak sanggup.” Zahra kemudian meluruskan pandangan matanya ke depan. “Bu, Pak … maaf, aku tetap tidak akan bisa melanjutkan pernikahan dengan mas Wildan. Rasanya sakit sekali Pak, Bu.” Air mata kembali turun hingga Zahra buru-buru mengangkat tangan untuk mengusapnya. “Apa yang harus kita lakukan, Pak?” Ibu Zahra menatap sedih sang suami. Ia sudah sangat bahagia berpikir sang putri akan mendapatkan kebahagiaan dengan menikah. “Wildan sudah menyakiti hati Zahra, Bu. Kita tidak mungkin membiarkan pria b***t menikahi putri kita. Kita membesarkannya dengan penuh kasih sayang, bukan untuk kita serahkan pada pria br*ngsek.” “Pak … Bu … aku mohon.” Wildan beranjak dari tempat duduk. Pria itu langsung berjalan memutari meja, kemudian berlutut di samping bapak Zahra. “Pak … aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi. Tolong maafkan aku.” Wildan meraih telapak tangan sang calon mertua. “Aku sudah merestui kamu untuk menikahi putriku, tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu justru menyakiti putriku. Pergilah sebelum aku tidak bisa menahan diri untuk menghajarmu.” “Pak ….” “Pergi, Wildan!” Pria yang sudah tidak muda lagi itu membentak. Kedua matanya membesar dan kulit wajahnya merah padam. Terlihat begitu marah. Masih tidak melihat Wildan bergerak, bapak Zahra mendorong keras bahu Wildan hingga membuat Wildan terjengkang ke belakang. Bapak Zahra beranjak. “Pergi dari rumahku!” usir bapak Zahra sambil menunjuk ke arah pintu. Tanpa pria itu ketahui, beberapa keluarga yang memang sudah berada di rumah tersebut, mendengarkan dari balik dinding. Mereka segera menjauh begitu mendengar teriakan bapak Zahra. Ibu Zahra menangis. Wanita itu berulang kali menyusut air matanya. Sementara Zahra mengalihkan pandangan mata dari Wildan yang akhirnya beranjak kemudian berjalan keluar dari rumah orang tuanya. “Kurang ajar. Aku pikir dia pria yang tepat buat Zahra.” Bapak Zahra menghentak keras karbondioksida keluar dari celah mulut yang terbuka. Pria itu masih berdiri dengan satu tangan berada di pinggang. “Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak?” Ibu Zahra kembali bertanya. Wanita itu menyusut air mata yang sudah akan kembali menetes. “Apa kita harus menggagalkan pestanya? Orang-orang pasti—” “Biarkan saja orang-orang datang, Bu. Makanan, semua sudah siap. Biarkan saja. Kita jamu mereka seperti seharusnya. Tidak apa-apa. Kalau mereka bertanya, kita jawab.” Bapak Zahra membuat keputusan. Jangan dipikir dia tidak pusing saat ini. Sangat. Tapi, dia tidak bisa mengorbankan putrinya untuk tetap menikah dengan pria yang ternyata tukang selingkuh. Rasa marahnya lebih besar dibanding rasa pusing memikirkan pernikahan anaknya gagal. “Orang-orang pasti akan menertawakan kita.” “Biarkan saja. Kita tidak mungkin membiarkan Zahra menderita, Bu.” Ibu Zahra menganggukkan kepala. Wanita itu mengalihkan tatapan dari sang suami. Menatap sang putri, Nurul kemudian beranjak. Wanita itu melangkah menghampiri Zahra lalu memeluknya. “Zahra minta maaf, Bu. Zahra salah mengenal laki-laki.” “Tidak apa-apa.” Ibu Zahra menarik pelan namun panjang napasnya. “Harus bersyukur kamu tahu sebelum terlambat.” “Zahra juga minta maaf karena Zahra bikin keluarga malu.” “Sudah pasti kita semua akan malu, tapi, ya sudah … kita akan menanggungnya bersama. Nanti juga lama-lama orang akan lupa.” Zahra menatap sang ibu. Mulutnya terbuka, namun urung mengeluarkan kata-kata. Zahra tidak bisa memastikan Naka akan datang esok pagi seperti permintaannya. Pria itu tidak menjanjikan apapun. Zahra menghembus karbon dioksida perlahan. “Sudah malam, ayo istirahat. Tidak ada gunanya meratap. Besok kita hadapi bersama,” kata bapak Zahra, membuat Zahra dan sang istri menoleh bersamaan ke arah pria tersebut. “Ayo,” ajak Ibu Zahra sambil menarik tangan sang putri. Zahra beranjak kemudian berjalan bersama sang ibu. Sementara bapaknya sudah lebih dulu berjalan ke dalam rumah. **** Pagi hari, MUA datang untuk merias pengantin dan keluarga pengantin. Zahra tidak tahu kapan orang tuanya bicara dengan keluarga besar mereka. Pagi ini semua terlihat normal. Mereka tetap seperti biasa. Tidak ada yang bertanya ini itu. Mereka tetap mengikuti rencana awal. “Semalam tidak bisa tidur, ya? Sampai kantung matanya sebesar ini,” ujar MUA yang sedang merias Zahra. Zahra hanya mengangguk membenarkan. Dia memang tidak bisa tidur. Bagaimana caranya tidur, sementara pikirannya penuh—memikirkan rasa malu yang akan ditanggung orang tuanya terutama. “Wajar sih, Mbak. Namanya mau melepas masa lajang, pasti deg-deg an. Jadi tidak bisa tidur.” Zahra hanya diam sambil menatap pantulan wajahnya dari dalam cermin. Sang MUA tidak tahu apa yang sedang ia cemaskan saat ini. Jam 9 nanti seharusnya ijab kabul dilakukan. Zahra meremas kepalan tangan di atas paha. Nyaris satu jam Zahra diria sang MUA. “Nah, sekarang sudah selesai. Cantik sekali. Kantong matanya tidak kelihatan, kan?” Sang MUA tersenyum puas melihat hasil riasannya. “Ayo, Mbak. Siap-siap di luar. Acaranya jam 9, kan? Eh … pengantin prianya sudah datang belum?” Zahra menelan salivanya. Wanita muda itu berdiri kemudian berjalan pelan. Kebaya pengantin yang dipakai membuatnya tidak bisa berjalan dengan langkah lebar dan cepat. Sang MUA mengernyit memperhatikan Zahra pergi. Wanita itu kemudian membereskan alat-alat make upnya. Keluar dari kamar, Zahra melihat semua keluarga besarnya sudah siap dengan baju seragam mereka. Para wanita memakai seragam kebaya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari, dan para pria memakai seragam batik lengan panjang. Mereka langsung menatap Zahra begitu melihatnya. Ingin sekali mereka memuji kecantikan Zahra, namun keadaan yang tidak sesuai rencana, membuat mereka memutuskan untuk diam. Tidak ingin membuat Zahra lebih sedih lagi. “Mbak … pak penghulunya sudah datang.” Tante Zahra masuk ke dalam rumah lalu menghampiri ibu Zahra yang sedang duduk di sofa ruang tamu. “Biar Bapak yang bicara dengan mereka, Bu.” Zahra menoleh ke arah suara sang bapak. Pria yang sudah memakai setelan jas serta peci itu berjalan dari arah dalam rumah. Bapak Zahra sempat berhenti hanya untuk meraih tangan putrinya, kemudian menepuk-nepuk punggung tangan itu sambil tersenyum menenangkan. Setelahnya, pria itu melanjutkan langkah kakinya. Zahra mengikuti. Begitupun dengan ibu Zahra yang akhirnya mengayun langkah di belakang suaminya. Tiga orang itu keluar dari rumah mereka. Suasana di halaman rumah sudah ramai. Para tetangga yang diundang untuk menyaksikan ijab kabul sudah berdatangan. Zahra mengedarkan pandangan matanya. Wanita itu mengerjap saat melihat seorang pria dengan setelan jas berwarna biru dongker duduk bersama dua orang yang Zahra tebak pegawai KUA. “Loh, itu siapa?” tanya Bapak Zahra yang juga terkejut melihat laki-laki asing duduk di tempak akad. “Sepertinya Ibu pernah lihat." Sepasang mata ibu Zahra mengecil, mencoba mengenali pria muda tampan yang kini terlihat berbicara dengan dua petugas dari KUA. "Tunggu, bukankah itu—” Ibu Zahra menoleh ke arah sang putri. Menatap bertanya putrinya. Zahra mengedip. “Itu … itu … calon suami Zahra.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN