"Fan maksudnya apa ini? Kamu transfer lebih dari kesepakatan kita?" Layla menunjukan laporan sms banking senilai 20 juta masuk ke dalam rekening bank miliknya.
"Anggap aja bonus karena sudah berperan dengan baik!" Jawab Arfan enteng lalu melanjutkan menyeruput kopi buatannya sendiri, dia kesal karena kemarin Layla berhasil menjailinya.
"Kenapa kopi buatanku nggak kamu minum?" Tanya Layla saat melihat Arfan memegang secangkir kopi padahal kopi buatannya masih utuh di atas meja makan. Arfan hanya mengedikkan bahu lalu beranjak pergi meninggalkan Layla yang berada di tepi kolam.
"Ok, aku minta maaf atas kesalahanku kemarin," ucap Layla menyusul langkah Arfan. Lagi, Arfan tetap tak acuh meninggalkan Layla sehingga membuat gadis itu salah tingkah.
"Aku hanya mau menerima uang sesuai kesepakatan kita, nanti aku transfer balik deh," lanjut Layla sambil mengekori Arfan yang berjalan menuju arah dapur.
Arfan membalikkan tubuhnya mendorong tubuh Layla hingga menabrak tembok di sudut dapur lalu mengurung Layla dengan kedua tangannya.
"Dengar Layla, kita menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama, jadi adik kamu juga adikku jadi aku juga punya tanggung jawab yang sama seperti dirimu," ucap Arfan menatap tajam manik Layla. Layla meneguk salivanya dengan keras saat tatapan tajam itu membuat reflek jantungnya bekerja ekstra.
"Maksud kamu apa Fan?" Tanya Layla terbata saat Layla berusaha membebaskan diri dari kungkungan tangan Arfan. Namun Arfan justru mendekatkan wajahnya pada wajah Layla hingga hembusan nafas Arfan menyapu poni Layla.
"Tadi aku membaca pesan WA dari Nayla dia minta uang untuk p********n akhir sekolah, kenapa kamu nggak minta aku?" Tanya Arfan dengan suara lirih. Entah mengapa Arfan merasakan sakit di sudut hatinya saat berulang kali Layla mengatakan soal perjanjian pra-nikah yang telah mereka sepakati.
"Kamu membuka ponsel milikku tanpa seizinku?" Layla balik bertanya dengan kesal. Arfan sendiri yang meminta mereka tak saling mengusik urusan pribadi masing-masing tapi sekarang dia berani membuka ponsel Layla tanpa izin.
"Sekarang jawab pertanyaanku, tujuan kamu menerima pernikahan kontrak ini untuk apa?" Arfan melontarkan pertanyaan balik pada Layla.
"Untuk apa kamu menanyakan itu, kita sama-sama untung jadi aku nggak perlu menjelaskan apa-apa!" Jawab Layla lalu memalingkan wajahnya, ia tak mau Arfan mengetahui alasannya menerima perjanjian pra-nikah itu.
Ting....tong... Suara bel mengejutkan keduanya, Arfan menoleh ke arah pintu dengan menghembuskan napas keras lalu dengan gesit Layla memerosotkan tubuhnya ke bawah membebaskan diri kungkungan Arfan. Layla berjalan ke arah pintu ke luar sambil mengucap hamdallah berulang kali, Layla tidak ingin ada seorang pun yang tahu alasan menerima pernikahannya dengan Arfan.
Buk.. Arfan memukul tembok dengan kesal saat mendapati Layla sudah tak berada di hadapannya.
"Mama," panggil Layla terkejut saat mendapati Liana tersenyum di ambang pintu dengan menenteng sebuah rantang bersusun di tangannya. Layla meraih tangan Liana lalu menciumnya begitu pun Arfan mengetahui Liana datang ia segera mendekat setelah itu merangkul pundak Liana dengan sayang seraya melirik Layla tajam yang memasang wajah innocent.
"Kenapa mama kemari nggak bilang-bilang dulu? Kan bisa Arfan jemput," ujar Arfan sambil membimbing Liana menuju ruang keluarga.
"Bentar Ma saya mau ganti baju dulu," pamit Layla bergegas menuju kamarnya, ia malu karena kebiasaanya saat di rumah yang hanya memakai pakaian mini. Tanpa ada yang sadar Liana terkejut saat melihat Layla masuk ke dalam kamar lain. Tepatnya bukan kamar Arfan.
"Mama pengen nengok pengantin baru lah!" jawab Liana sambil tersenyum lalu meletakkan rantang tersebut dan membukanya. Perempuan berusia hampir setengah abad itu masih tampak cantik dan awet muda, ia mengenakan celana bahan dan tunik berwarna merah maroon selutut berpadu jilbab instan bermotif bunga yang senada, tubuhnya sedikit gemuk, mata bulatnya selalu memancarkan kasih sayang, ucapannya seakan mampu meneduhkan hati setiap orang yang menjadi lawan bicaranya.
"La ayo kita sarapan bareng!" Panggil Arfan dengan tak sabar melihat masakan lezat mamanya yang selalu ia rindukan, sejak membantu Andre papanya mengelolah perusahaan, Arfan jarang pulang ke rumah orang tuanya ia lebih banyak menghabiskan malam di hotel ataupun di apartemennya.
"Iya Mas sebentar," jawab Layla lalu bergabung ke meja makan.
"Aku sudah firasat, tadi Layla aku larang masak, rencana beli aja eh Mama datang, kebetulan sekali," ucap Arfan sambil melahap masakan Liana, sarapan pagi itu terasa hangat dengan obrolan ringan mereka bertiga tanpa Arfan dan Layla sadari Liana merasakan hubungan tak sehat antara putra dan menantunya. Bukannya Liana tidak tahu jika pernikahan mereka memang tanpa cinta, Liana berdoa dalam hati semoga keluarga putranya baik-baik saja.
"Mama berharap kalian selalu bahagia," ucap Liana setelah menghabiskan sarapannya, perasaan Liana sedikit tak tenang, Liana merasakan ketidaktulusan di mata Layla maupun Arfan putranya.
"Aamiin." jawab Arfan lalu menggenggam tangan Liana membawa ke arah bibirnya lalu mengecupnya lembut. Liana tersenyum tangan kirinya membalas gengaman tangan Arfan dan mengusapnya.
"Kamu janji harus bisa membahagiakan Layla Fan," ucap Liana sambil menatap putra ragilnya, menelisik ke dalam netra cokelat itu mencari kejujuran. Arfan hanya membalas dengan anggukan kepala sedangkan Layla hanya tertunduk, menyembunyikan kegundahan hatinya, sungguh ia tak tega bila sampai melukai perasaan Liana.
*****
"La perbincangan kita tadi belum selesai," panggil Arfan saat Layla menuju kamarnya dengan lesu, Layla tak bergeming ia menutup pintu kamar lalu menguncinya dari dalam. Arfan menghembuskan nafasnya dengan kesal.
Tik.. Tik.. Tik.. Detak jarum jam dinding di kamar Arfan menemani kesunyian. Dua jam sudah Layla tidak ke luar kamar. Arfan gelisah karena tak mendapati Kejahilan Layla, ia lebih suka jika gadis itu menjailinya daripada mendiamkannya seperti sekarang.
"Kenapa aku jadi peduli padanya?" Desis Arfan pada dirinya sendiri, selama ini ia tak pernah memikirkan perasaan perempuan yang ia kencani. Kecuali gadis berambut ikal berwarna hitam pekat yang dulu menghianatinya.
"s**t!" umpat Arfan saat mengingat cinta pertamanya, ia raih jaket kulit hitam lalu kontak motornya di atas nakas. Ia butuh udara segar untuk menenangkan hatinya.
Pukul dua siang Layla ke luar kamar dengan mengikat rambutnya asal. Ia berencana mengambil air putih karena merasa haus, ia lupa belum mengisi botol air mineral yang biasa ia sediakan di kamar. Setelah mengisi botol minumnya Layla duduk di pantry meneguk air dingin dari kulkas yang telah ia tuang ke dalam gelas. Sore ini ia berencana ingin berkunjung ke rumah orang tuanya, ia akan memberikan uang sekolah Nayla dan Ridho adiknya.
"Fan.. Aku mau pamit ke rumah ibu boleh ya?" Ucap Layla sambil mengetuk pintu kamar Arfan, diketukan ketiga belum juga ada jawaban dari Arfan, Layla berinisiatif langsung masuk tetapi ragu, ia takut Arfan masih marah dengannya.
Penasaran, Layla masuk ke dalam kamar Arfan, ia edarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar namun Arfan tak ada.
Selepas salat ashar Layla sudah bersiap berangkat ke rumah orang tuanya tanpa seizin Arfan.
"Aku pamit ke rumah ibu sebentar, maaf aku cari kamu nggak ada di rumah." Layla mengirim pesan untuk Arfan, paling tidak ia sudah berusaha izin, biar bagaimanapun Layla tetap istri sah Arfan yang wajib izin saat meninggalkan rumah.
Layla menghembuskan napas beratnya saat pesan yang ia kirim untuk Arfan belum juga bercentang biru. Akhirnya tepat pukul 4 sore ia berangkat tanpa Arfan dengan menaiki angkot karena motor yang biasanya ia pakai masih di rumah orang tuanya dan Layla berniat memberikan pada adiknya Nayla yang sedang sibuk wira-wiri les untuk persiapan menghadapi UN SMA, untuk Ridho Layla berencana membelikan motor sendiri setelah UN SMP, Layla tak masalah untuk sementara waktu ia akan naik angkot saat kuliah karena jarak apartemen Arfan dengan kampusnya hanya berjarak 2 km.
Setelah memberikan ongkos angkot Layla tersenyum menatap rumah bermodel klasik itu dengan haru, ia merindukan kebersamaan dengan kedua orang tua dan adik-adiknya, rumah itulah yang memberikannya kasih sayang dari ia lahir hingga melepas statusnya menjadi seorang istri, tanpa sadar air matanya menetes, bayangan masa lalu saat serunya menanam bunga, bermain kejar-kejaran, ataupun menonton drama Korea bersama Nayla. Layla dan Nayla memiliki selera yang sama, lalu bayangan Nayla saat bertengkar dengan Ridho adik bungsunya yang tak pernah bisa akur membuatnya tersenyum.
"Aku merindukan mereka semua," desis Layla lalu menyeka air matanya saat sesosok perempuan memakai daster batik ke luar rumah dengan tersenyum menatapnya, tampak rambut yang mulai memutih, kerutan-kerutan halus di kening dan di bawah kelopak matanya menyiratkan bahwa ia sudah tak muda lagi. Perempuan itu yang mengandungnya 9 bulan lamanya, menyusui, dan merawatnya hingga sedewasa ini dengan penuh kasih sayang.
"Layla!" panggil Dewi dengan mata nanar melihat Layla mematung di halaman rumah, Layla berlari lalu memeluk Dewi dengan berurai air mata.
"Ibu, aku kangen." Layla meraih tangan Dewi lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan terisak lalu Dewi memeluknya, belaian lembut tangan Dewi membuat Layla semakin terisak.
"Ibu yo kangen nduk, baru 3 hari ndak ketemu kamu kok ibu, bapak, lan adik-adik kangen tenan," ucap Dewi lalu membimbing Layla masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, Yusuf ayah Layla yang sedang menonton tv tersenyum bahagia melihat Layla, Yusuf merentangkan kedua tangan menyambut kehadiran putrinya, Layla berjalan lalu menubruk kan tubuhnya pada Yusuf dengan tangis yang kembali pecah.
"Ih Mbak Layla alay deh," ucap Nayla yang tiba-tiba masuk setelah pulang les dengan mata berkaca lalu memeluk Layla dari belakang. Yusuf melepaskan pelukannya sejenak dan Layla berbalik badan berganti memeluk adiknya.
"Nggak asyik nggak ada Mbak Layla, nggak ada teman nonton drakor," ucap Nayla sambil mengeratkan pelukannya. Layla melambaikan tangan memanggil Ridho yang berdiri di ambang pintu kamarnya, Ridho tersenyum lalu mereka berpelukan bertiga.
Setelah berjamaah salat magrib di masjid dekat rumah Layla, mereka makan bersama dengan banyak bercerita. Layla kembali mengecek ponsel miliknya berharap mendapatkan balasan pesan dari Arfan. Namun kembali ia kecewa karena centang pesannya belum juga berubah warna biru.
Layla memberikan separuh uang yang di tranfer Arfan kepada Yusuf untuk melunasi tunggakan p********n spp dan buku Nayla serta Ridho yang belum terbayar selama 6 bulan. Yusuf terkejut saat melihat isi amplop yang berisi uang sebanyak itu.
"Itu dari Mas Arfan Yah," sela Layla sebelum Yusuf menuntut penjelasan. Kini ia bimbang saat akan izin pulang, pasti ayahnya akan melarang jika ia pulang sendiri dan tentu saja akan menimbulkan kecurigaan karena Arfan tidak menjemputnya.
"Assalamualaikum," suara salam terdengar dari arah pintu depan.
"Waalaikumsalam," jawab serempak Layla, Dewi, dan Yusuf.
"Nak Arfan," ucap Dewi yang seketika menerbitkan senyuman di bibir Layla.