BAB 4: KORBAN PELAMPIASAN

1226 Kata
Gary memasang mode batu. Diam. Meski Megi sudah berusaha menarik lengan kekarnya, juga mendorong punggungnya laksana membuka pintu Indoapril, tetap saja Gary tak bergeming. ‘Buset banget ini gorila. Udahlah besar, keras, kuat banget lagi!’ ‘Eh mikirin apa dah gue barusan? Astaghfirullah!’ “Alvin, please....” Megi kembali mengiba. Tetap saja Gary tak bereaksi. “Kak Megi?” tanya seorang staf yang menyerahkan pesanan Megi. “Saya, Mas. Bentar ya, cowok saya ngambek.” “Ngambek?” tanya Gary. Sementara sang waiters hanya tersenyum kikuk. “Ya lagian kamu gitu sih, bukannya ngebantuin aku? Aku udah nyerahin segalanya lho ke kamu! Tapi kamu perjuangin aku aja ga mau!” Megi sengaja menaikkan satu level intonasinya. Di kalimat terakhir, suara Megi berubah sengau. Gary mendelik horor, tak pernah menyangka jika ia akan berurusan dengan perempuan ber-skill acting artis papan atas. Bahkan kini air mata Megi mengalir. Gary seolah tengah berada di dalam FTV Azab favoritnya. Bedanya, kali ini ia tak menonton, melainkan ia sendiri bintang utamanya. ‘Nyerahin apaan? Nyerahin masalah hidup lo ke gue? Ya Allah! Dosa apa lagi yang gue lakuin?’ Gary menyapukan pandangannya, beberapa customer yang juga tengah menunggu pesanan menatap tajam padanya. Jantung Gary seakan mencelos, punggungnya dingin, otaknya kosong, jiwanya mengembara entah kemana, dan mulutnya megap-megap bagai ikan koi peliharaannya yang baru saja menjadi almarhum tadi pagi. ‘Modyar tenan!’ “Alvin,” lirih Megi kembali. “Ih cowok apaan model begitu. Badan doang gede!” cibir seorang Ibu yang kerepotan menggendong batitanya. “Nanti kalau sudah besar jangan kayak orang itu ya, Nak! Amit-amat jabang bayi!” Gary mendengus. Pilu. “Alvin?” “Ayo-ayo! Ayo!” Dalam hati, Megi bersorak. Ia mengusap air matanya, meraih siku Gary untuk ia gandeng. Tiba di meja sebelas, pria yang ternyata adalah Bagas Irwan Prayoga, Manager baru Megi di kantor menatap datar. “Pak?” sapa Megi. “Kayaknya Papaku ga bilang kalau kamu bawa teman, Gi?” “Iya.” “Duduk,” pinta Bagas. Gary mengambil posisi di sisi pinggir, sementara Megi duduk berhadapan dengan Bagas di sisi dalam, berdampingan dengan jendela kaca. Bagas mengulurkan tangannya lebih dulu ke Gary. “Alvin,” ujar Gary seraya menggenggam telapak Bagas. “Bagas. Siapanya Megi?” “Pacar saya, Pak!” jawab Megi, cepat. Gary menatap Megi, melepaskan genggamannya dengan Bagas. ‘Debut juga gue!’ “Serius?” tanya Bagas, merasa aneh dengan bahasa tubuh keduanya. Terlalu kaku untuk diasumsikan bahwa mereka adalah pasangan kekasih. Gary diam saja, terus menatap Megi. “Iya. Cuma dia kesal gara-gara saya iyain maunya Om ketemu sama Bapak!” “Kalo udah tau aku kesal ngapain kamu seret-seret aku?” ketus Gary. Membalas acting Megi. ‘Njir, kemayunya ilang!’ Megi memajukan bibirnya, memberengut. Gary memalingkan wajah, menatap datar pada Bagas seraya melahap donatnya dalam satu suapan. “Buruan selesaiin urusan lo sama cewek gue!” ketus Gary lagi. Kali ini Bagas yang jadi sasarannya. Bagas bersedekap, terkekeh lucu. Ia sangat paham jika kedua manusia berbeda gender di hadapannya ini hanya berpura-pura. “Jadi, kamu nolak aku, Gi? Aku bahkan belum bilang apa-apa lho,” ujar Bagas, tenang. Terlihat sekali betapa kebapakannya pria itu. Bahkan suaranya bernada berat namun menenangkan. Tatapannya pun tulus, terkesan penuh wibawa. “Kita bisa kok temenan dulu, jalan bareng dulu, saling mengenal dulu.” “Maaf, Pak. Saya sudah punya Alvin.” “Aku ini orang psikologi, Gi. Yang kebetulan hobi dan suka sama dunia jurnalistik. Jadi, dari tadi aku tuh tau, kalian berdua cuma pura-pura.” Sesapan Megi di es kopi susunya terhenti seketika. Hal yang sama berlaku pada Gary. “Kenapa kamu nolak saya?” tanya Bagas sekali lagi. “Saya lebih memilih hidup selibat daripada merelakan diri saya dijodohkan!” tegas Megi. Sontak, Gary menoleh, menatap Megi lekat seraya mengerutkan kening. Bukan karena tak setuju dengan apa yang baru saja Megi ungkapkan. Namun karena ia pun berkeinginan sama. Hidup selibat. “Bicara kamu ngawur, Gi,” ujar Bagas. Entah mengapa ia merasa dihinakan. “Saya ga meremehkan Bapak. Ini tentang diri saya sendiri. Ga ada hubungannya dengan kualitas Bapak. Dan saya pikir, Bapak pantas mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari saya.” Gary kini merasa kikuk, sepertinya ia harus mengundurkan diri, toh sudah kepalang basah ketauan berpura-pura. Sepertinya debutnya batal kali ini. “Saya pamit kalau gitu,” ujar Gary, memecah kebekuan di antara ketiganya. Bagas mengangguk, sementara Megi menampilkan wajah penuh harap agar Gary tetap di sampingnya. ‘Buat apa gue di sini? Masalah mereka juga ga ada urusannya sama gue.’ Gary menandaskan kopi hangatnya, berdiri, lalu melangkah menjauh. Sementara Bagas dan Megi masih sama-sama memilih bisu. *** “Di mana lo, La?” “Makan.” “Makan apa?” “Hot pot, kan waktu itu ga jadi.” “Sama Gary?” “Iya. Lo di mana?” “Baru keluar kantor. Duh La, ambyar banget mood gue.” “Ya udah, ke sinilah. Gue share loc oke?” “Oke.” Megi memutus panggilannya, beralih ke pesan singkat, membuka maps yang dikirimkan Isla. Ia lalu memesan satu unit ojeg online yang akan membawanya ke tempat tujuan. Nyaris satu jam kemudian Megi baru tiba di sebuah tenda bertajuk hot pot and grill yang sepertinya menjadi salah satu spot para b***k corporate sejenis dirinya mengenyangkan perut sebelum kembali ke peraduan. Isla melambaikan tangan dengan begitu riangnya. Di sampingnya duduk seorang pria yang Megi kenali sebagai Oki, kekasih Isla. Dan di depan Oki ada seorang pria bertubuh kekar yang amat sangat tak asing di penglihatan Megi. Megi gegas mendekat, menepuk bahu pria itu. Ia menoleh, datar. “Lo?” “Hmm.” “Lho kalian udah kenal?” tanya Isla. “Ngapain lo di sini?” Megi balas bertanya, namun bukan ke Isla, melainkan ke Gary. “Dia Gary, Gi.” Isla lagi yang menjawab. “Apa?” “Iya, dia Gary.” Gary baru saja menyuap sebutir baso lobster saat telapak tangan nan mungil milik Megi menyapa punggungnya, dengan keras. ‘PLAK!’ Baso itu melompat keluar dari mulut Gary, menukik dan menurun bak kurva parabola, lalu... mendarat di mangkok Oki. Oh, jangan lupakan cipratan pedas yang langsung menyapa wajah dan kemeja putih Oki. Oki tersentak, sontak terjengkang dari kursi plastik yang ia duduki. Sialnya, kedua lutut Oki membentur tepi bawah meja, membuat mangkuk kecil berisi kuah pedas dan panas bak omongan tetangga dzolim mendarat tepat di masa depannya. Sungguh, jangan tiru adegan naas ini di rumah. “ASTAGFIRULLAHALADZIM!” pekik Oki, sementara Isla malah sibuk menutup mulutnya yang menganga. Oki kebingungan, antara mengipas senjatanya, atau mengelus pantatnya yang baru saja b******u mesra dengan siku konblok. “Anjrit! Untung eyke pegangin ini panci! Bisa kelar di tempat ini masa depan lo, Ki,” gumam Gary. Sementara sang pelaku hanya terpegun. Pias. “Monyet lo, Gi! Anjing, panas banget barang gue! Aaargh!” “Oki,” lirih Isla. “Sorry, Ki!” cicit Megi. “Monyet lo emang! Kalem dikit kenapa sih jadi cewek! Rusuh aja bawaan lo! Tiap makan sama lo ada aja kesialan gue!” omel Oki lagi. Keempat orang itu bahkan tak sadar jika mereka sudah menjadi tontonan sejagad tenda. “Sorry....” Gary menggelengkan kepalanya. Baru saja ia ingin berucap, memberi arahan pada Oki agar segera mencari toilet, Megi sudah mendengus keras dengan satu tangan mungilnya menyambar jambul Elvis Presley yang bertengger di atas kepala Gary. “AAARGH! SAKIT, GI! SAKIIIT! MAMIII!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN