BAB 3: MEREKA BILANG, ITU TANDANYA JODOH

1587 Kata
“La?” “Ya?” “Ngapain lo?” “Rebahan.” “Jadi hot pot-an tadi?” “Ngga. Kliennya Gary juga tiba-tiba minta reschedule karena ada jadwal operasi besok.” “Si Oki?” “Ngga juga. Ada team meeting katanya. Ya sudah, gue balik deh ke kosan, makan sendiri, eh tau-tau hujan deras banget.” “Gue malah ga tau kalau hujan, pas mau pulang baru ngeh. Banjir dimana-mana, ga ada taksi, yang online pun gitu.” “Terus lo balik gimana?” “Ketemu cowok yang waktu itu gue cerita sama lo.” “Cowok?” “Iya, yang ikutan kentut demi bikin pengunjung lain ga nyurigain gue kentut segede ledakan bom Hirosima.” Isla tergelak di ujung panggilan. “Jodoh kali lo sama dia, Gi,” ujar Isla seraya terkekeh. “Ganteng banget padahal, La. Kayak Park Hyung Sik. Tapi melambainya itu lho.” “Risih?” “Bukan.” “Terus?” “Makes me wonder aja, dia suka cewek atau ngga.” “Oh, ya lo tanyalah.” “Nama dia aja gue ga tau.” “Lo lupa nanya lagi?” “Udah gue tanya tadi, ga dia jawab. Katanya nanti aja kalau ketemu lagi.” “Tiga kali ketemu ga sengaja gitu?” “Iya.” “Fix jodoh kalau sampai kejadian!” “Hahaha.” “Dih malah hahaha. Banyak yang bilang gitu, Gi. Apalagi namanya kalau bukan jodoh?” “Ya ga tau gue musti ngerespon gimana. Yang jelas dia cakep. Lucu. Dan gue yakin sih dia tuh baik. Tapi... ah sudahlah.” “Ga jelas lo, Gi. Tidur lo sana.” “Iya, badan gue remuk rasanya.” “Hmm.” “Bye, La.” “Bye, Gi.” Megi dan Isla bersahabat sejak di bangku kuliah. Megi di jurusan Jurnalistik, sementara Isla di jurusan Kedokteran. Namun, saat mendapatkan gelar Sarjana Kedokterannya, Isla enggan meneruskan program koas dan lebih memilih mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Bukan tanpa alasan Isla mengambil keputusan itu. Adalah kecelakaan sang Ayah yang menyebabkan Ayah Isla tak bisa bergerak sempurna seperti sedia kala. Membuat Isla merasa berkewajiban mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga. Megi berangkat merantau ke kota ini lebih dulu dari Isla. Kala itu Isla masih mencari lowongan pekerjaan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, selang seminggu kemudian Isla mendapatkan panggilan kerja atas rekomendasi seorang sahabat prianya yang juga mengadu nasib di kota yang buas ini. Lucunya, sampai sekarang, Megi belum pernah melihat penampakan pria yang bernama Gary itu. Isla bilang, Gary tidak suka difoto, setiap kali berhadapan dengan kamera, pasti ada saja tingkahnya yang membuat wajah Gary tak terekam. Esok paginya, Megi bangun cukup terlambat. Ia terburu-buru bersiap. Untunglah jarak antara kosan dan kantornya hanya berkisar dua kilometer. Di luar sana rintik hujan masih menyapa, ia gegas mengenakan rainy boots berwarna pink andalannya beserta jas hujan yang juga berwarna senada. Megi sungguh dikenal fashionable. Tubuh mungilnya tak pernah menjadi penghalang untuk tampil memukau. Ia bergerak cepat, memilih berjalan kaki daripada mengandalkan transpotasi online di pagi hari. Tiba di lobi kantor, ia menanggalkan semua perlengkapan perang musim hujannya, lalu disesakkan di dalam sebuah wet bag. Megi pun berjalan ke bagian belakang gedung, menitipkan barang-barangnya pada seorang office girl agar dikeringkan. Setelahnya, ia baru melangkah ke lift, mengantri naik bersama beberapa karyawan lainnya. Baru saja Megi melangkah masuk ke dalam lift, sakunya bergetar. Megi merogoh gawainya, menatap nama yang muncul di layar. Tak langsung ia jawab, memilih tiba di lantai kantor lebih dulu. “Iya, Om,” sapa Megi, malas. Ia lalu mendengus, lelah mendengar omongan yang itu lagi itu lagi. “Pokoknya Megi ga mau, Om!” tegasnya. Cengkraman Megi di alat komunikasi itu mengerat. Sementara lawan bicaranya terus saja berceloteh tanpa letih. “Om, Megi baru 22 tahun!” ketus Megi lagi. “Om kan ga nyuruh kamu langsung nikah, Gi.” “Ya kalau gitu ngapain jodoh-jodohin Megi? Om bosan banget apa?” “Astagfirullah ini anak.” “Pokoknya Megi ga mau! Titik! Terserah kalau Om mau marah sama Megi, ga mau kenal Megi lagi juga ga apa-apa!” “Ya Allah, Nak. Susah banget sih kamu dikasih penjelasan. Ga boleh lho nolak begitu, kalau ujung-ujungnya jodoh beneran, kamu sendiri yang nyesal ga dengar omongan Om. Om juga jodohin kamu tuh ga sama sembarang orang, Gi,” ujar Nando, abang dari almarhumah sang Ibu. “Om, lihat kan gimana jasadnya Ibu dan Ayah? Mereka pelukan. Sampai mati aja masih pelukan. Megi mau nikah, tapi Megi mau pernikahan Megi seperti pernikahan Ibu dan Ayah. Mereka menikah hanya beberapa tahun, tapi mereka bahagia. Megi ga mau sembarangan masukin cowok ke hidup Megi! Lebih baik Megi ga nikah daripada harus maksain perasaan Megi ke laki-laki yang Megi ga suka.” “Istighfar kamu, Gi.” “Lagian kalau jodoh, entah gimana caranya pasti kami ketemu. Ga perlu Om repot.” “Sekedar untuk nyelametin muka Om kamu ini pun kamu ga mau?” “Om....” “Century Café, jam 12:15 pas makan siang. Kafe itu dekat dengan kantormu. Tolong temuin sebentar aja, Nak. Kalau kamu ga suka, ya langsung aja bilang ke orangnya. Oke, sayang?” “Aaah! Om resek!” “Iya, Om emang resek! Tapi Om sayangnya luar biasa ke kamu.” Lagi, Megi pun luluh. “Assalammu’alaikum.” “Hmm. Wa’alaikumsalam.” Megi mendengus, beberapa kali. Ponsel yang tadinya ia genggam sudah ia letakkan di atas meja. Kedua tangannya lalu naik ke kepala. Jemarinya menyusup di antara helai suarainya. “AAA!” pekik Megi seraya mengacak-acak tatanan rambutnya. Prisa yang sudah datang lebih dulu tertawa geli. “Temuin aja sih, Nyet!” ujarnya seraya terkekeh. “Geli banget ga sih lo? Jaman udah secanggih ini Om gue masih sibuk ngejodohin gue!” Prisa tertawa lagi. “Eh, Nyet. Akhirnya kita dapet Manager baru. Katanya ganteng lho.” “Bodo amat!” ketus Megi. “Dih, lo tuh ya!” Megi menghempaskan napasnya kembali. Ia mendorong kursi kerjanya, meraih tumbler, dan melangkah ke pantry. Sepertinya secangkir kopi s**u hangat adalah ide yang bagus untuk memutus rantai bad mood-nya. Sepanjang setengah hari yang Megi lakukan adalah menyusun manuskrip dari in depth interview yang ia lakukan semalam. Setelah manuskrip itu rampung, Megi mengirimkan draft-nya ke pihak Rosa agar me-recheck kembali isi berita sebelum naik ke meja Kepala Editor. Tepat pukul 11:50 wib, seorang pria bersama Santi, salah satu staf Personalia, masuk ke ruang Jurnalistik. Pria itu diperkenalkan sebagai Editor Manager bagian Bisnis dan Inovasi, bagian di mana Megi termasuk ke dalamnya. “Kamu yang face to face interview dengan Ibu Rosa dari Thensi Ads?” tanya Bagas, sang Manager baru. “Iya, Pak.” “I see. Saya suka artikel-artikel yang kamu tulis selama masa freelance kamu dulu.” “Oh, Bapak tau?” “Ya, saya tau. Ibu Ellia sengaja menempatkanmu sebagai jurnalis untuk berita ini karena tulisan-tulisanmu yang selalu bisa mengembangkan satu feature dari angle yang berbeda. Ditambah kamu selalu tajam dalam memberikan argumentasimu sebagai bagian dari anak muda. That’s good. Keep up the good work, Megumi.” “Megi saja, Pak. Thanks anyway.” “Saya tunggu manuskripmu sebelum naik ke meja Ibu Ellia.” “Baik, Pak.” *** Megi berjalan malas menuju sebuah kafe yang hanya berjarak 100-meter dari gedung kantornya. Waktu masih menunjukkan pukul 12:10 wib. Langkahnya sengaja ia gontaikan, berlambat-lambat agar bisa melihat bentuk wajah dari pria yang tengah dijodohkan dengannya itu. Begitu pintu masuk kafe Megi buka, ia berjalan lurus ke arah kasir, memesan seporsi makan siang dan segelas kopi dingin. “Baik, atas nama siapa Kak?” “Megi.” “Kak Megumi Fayola?” “Iya, betul.” “Kakak sudah ditunggu di meja 11 ya Kak. Nanti pesanannya kami antar.” Megi terpegun. Ia lalu menoleh ke balik punggungnya, menyapukan pandangan, mencari gerangan pria yang duduk di meja nomor 11. Terkesiap. ‘Mampus gue!’ “Kak?” tegur nona kasir. “I-iya. Jadi berapa Kak?” “Ga usah Kak, bill-nya nanti dimasukkan ke tagihan meja 11.” Megi mendengus. Ia yang terdiam lama membuat antrian di belakangnya mengeluarkan suara-suara menyindir. Entah itu ketukan sepatu dengan lantai marmer kafe, entah itu suara decak berkali-kali, bahkan teguran langsung, “Udah belum mba? Antrian panjang ini!” Megi bergeser. Tak berani langsung menuju mejanya. Ia merayap-rayap laksana cicak menuju counter pengambilan pesanan. Di sana, di pilar tegar yang berdiri tepat di samping konter, Megi menyandarkan kening. Membenturkan kepalanya berkali-kali. “Dua kali ketemu perut yang masalah. Sekarang kepala lo jedotin begitu. Kenapa sih tiap kita ketemu kelakukan lo selalu ajaib?” Megi menoleh ke arah suara. Gary menatapnya malas. “Lo?” “Iya. Gue lagi gue lagi!” Megi menoleh kembali, kali ini pada pria yang akhirnya melambaikan tangannya dari meja nomor 11. “Mati gue!” “Mati?” tanya Gary. Megi mendengus, bingung sendiri dengan keadaannya. Namun yang lucu, ia justru teringat ucapan Isla, “Fix jodoh kalau sampai kejadian!” “Nama lo siapa?” “Apa?” “Lo janji mau kasih tau nama lo kalau kita ketemu lagi.” “Oh.” “Jadi? Nama lo siapa?” “Mmm. Alvin aja deh.” “Kok pake ‘aja deh’?” Gary menaik turunkan bahunya. “Oke. I don’t care! Intinya, lo jodoh gue! Jadi, lo harus bantuin gue!” “Hah?” “Kita udah tiga kali ketemu ga sengaja, Alvin. Artinya kita jodoh.” “Dih, gesrek nih cewek. Teori dari mana lo dapet?” “Ayo buruan, bantuin gue!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN