Gue udah punya strategi ampuh.
Kalau Tarangga aja selalu membuat plan sebelum bertindak apa pun, maka jangan pikir gue nggak bisa melakukannya.
Semalaman suntuk, gue begadang buat diskusi masalah pelik ini bareng diri gue sendiri. Masalahnya, mau cerita ke Devi, gue udah bisa nebak solusi ampuhnya.
"Jalan keluarnya cuma satu, Ya, bubaran. Mainin anak orang mulu lo."
Kurang lebih kalimatnya pasti akan begitu, tinggal modelling dikit deh dari kalimat buatan gue barusan.
Nggak solutif banget, kan?
Itu kenapa, gue memaksa semua yang ada di badan gue buat melek sampai pagi. Alhasil, sekarang kepala gue pening karena cuma tidur satu jam. Badan gue lemas banget, kekurangan kasih sayang sekaligus kurang istirahat.
Perasaan dulu waktu mau sama Reza dan satu cowok sebelum Reza, semua berjalan mulus kayak paha. Yang ini entah kenapa kok ribet banget. Padahal, kalau dilihat dari personality-nya, Tarangga jauh lebih 'mudah' dibanding Reza.
Gimana cara gue deskripsiin 'mudah' di sini ya? Ah, pahami sendiri aja, gue bukan tutor yang harus menjelaskan segala sesuatu sama murid didiknya sampai mereka mengerti.
Udahlah, nggak penting.
Intinya, strategi yang gue dapat setelah berjuang semalaman adalah ... gue akan membiarkan Tarangga main ke rumah, memuaskan keinginannya untuk melakukan itu. Sementara gue, ya karena gue suka dia, jadi gue mah tim santai.
Gue paham, beberapa orang nggak pengen disembunyiin. Mereka maunya dikenalkan ke orang-orang terdekat, termasuk keluarga. Anggap aja itu hadiah dari gue untuk Tarangga.
Lalu, gimana kalau keluarga berharap tinggi sementara nanti semuanya akan berakhir?
Gampang aja, solusi dari semua hanyalah komunikas, Bebs.
Communication is a key.
Gue akan jelasin ke Ibu, Ayah, bila perlu Biyas juga kalau hubungan kami sama aja kayak orang-orang lain. Sama kayak Biyas-Nikita. Seserius apa pun kami berusaha menjalani, kami nggak busa menentukan ending.
Karena yang bisa melakukan itu hanya kekuasaan sang Pencipta.
"Ya! Udah bangun belum? Ngapain sih di kamar terus? Bertelur ya? Ibu lama-lama marah lho ini, nanti Ibu nggak bikin makan sampai seminggu."
Gue memutar bola mata.
Padahal, yang selalu menekankan pada kami semua sejak dulu bahwa masak adalah skill wajib itu dia juga.
"Masak, beberes rumah, dan cari duit itu kewajiban setiap orang. Cukup tetangga aja yang kalau mamanya nggak masak, sekeluarga nggak makan."
Makanya, jangan heran kalau telur ceplok buatan Biyas lebih enak dibanding punya gue. Bukannya gue nggak bisa masak, cuma kadang males aja. Jamet sih demen suruh ngacak-ngaca dapur, apalagi kalau bawa rombongan.
Ehiya, ngomongin rombongan, mana weekend ini dia udah izin kalau rumah bakalan rame, karena akan ada teman-temannya.
"Ya!"
"Iya, astaghfirullah, Ibu .... inget kata pak ustadz apaaaa?"
"Didik anak biar jadi solehah," sahutnya dari luar.
Gue ketawa. Berjalan ke pintu sambil memijat kening. "Apaan sih?"
"Ada Mbak Zia. Astaghfirullah, kamu abis nangis semalaman apa gimana? Muka udah kayak bukan manusia."
"Miya begadang."
"Terus terusin, Ya, kerjaan nggak benermu itu. Untung dari bedagang apa sih memangnya?"
"Mbak Zia sama Riana, Bu?"
"Kan Riana sekolah. Sendiri dia."
"Emang dia nggak kerja?"
"Iya ya. Nggak tahu. Bolos kali. Turun ya, Ibu mau selesain rajutan yang nggak selesai-selesai udah mau seabad itu."
Gue nyengir, mengangguk. "Suruh ke sini aja Mbak Zianya."
Kepalanya mengangguk, badan agak membungkuk sedikit. "Baik, Nyonya Samiya."
"Tolong lho ...." Gue ngakak, kemudian menutup pintu.
Mandi dulu deh, biar agak segeran dikit.
Begitu gue selesai dari kamar mandi, Mbak Zia lagi duduk di sofa sambil mainan handphone. Mukanya serius banget, seolah nggak sadar kalau gue lagi lihatin dia.
"Serius amat, Mbaknya." Gue ketawa pelan waktu dia angkat muka dengan panik. "Bolos kamu, Mbak?"
"Izin." Dia nyengir.
"Kantor apaan deh, gampang bener lo izin."
"Kata siapa? Memangnya seberapa sering kamu tahu aku izin?"
Iya juga sih. Dia salah satu cewek yang giat banget kerja. Katanya, detik saat dia memutuskan untuk menerima ajakan menikah si b*****t itu, dia harus bisa hidup mandiri dan nggak boleh menyusahkan orang tuanya.
Terbukti kok, walaupun mantan suaminya itu udah nggak tahu ke mana, Mbak Zia tetap bisa bertahan bareng Riana dengan keadaan ekonomi yang lumayan.
Pesannya satu, menikah atau nggak menikah, lo kudu punya duit.
"Bosku tuh aneh deh, Ya."
"Kenapa tuh?"
Gue duduk depan meja rias, mulai menuangkan toner ke kapas, dan mengoleskan pada muka. Katanya sih, fungsinya untuk mengembalikan PH kulit setelah cuci muka. Gue nggak paham-paham banget, makanya gue nggak pernah mau endorse tentang skincare, ngeri salah.
Promosiin sesuatu yang kita suka, kita tahu fungsinya. Kayak makanan, pakaian, make up masih mending karena bisa memilih dari brand terpercaya.
"Buat izin ini aja kan susah banget. Ada aja hal-hal yang buat dia harus chat aku dan jadinya kayak sama aja aku nggak masuk."
Aktivitas gue pakai sunscreen terhenti, gue menolehkan dan menatap dia curiga. Yang gue tatap nggak ngeh kayaknya makna dari tatapan gue sekarang.
"Maksudnya, demi Tuhan sebelum izin ini aku udah selesain semuanya. Aku udah briefing ke anak baru buat handle hal yang memang aku yakin dia mampu. Nggak diluar batas dia, aku juga paham banget kok."
"He'em."
"Terus dia barusan chat, nanya hal yang jelas-jelas nggak penting banget."
"Apa itu?"
"Zia, boleh tolong pesenin bubur yang kamu pernah beliin buat saya waktu itu?"
Gue nggak bisa menahan tawa. Gue yakin gue ngeh maksud dari Bos itu.
"Aku udah kirim namanya Bubur Cirebon Pak Jamal, katanya nggak ketemu dong di Go-Food. Mesti banget aku yang pesen. Padahal ada banyak orang di---"
"Mbak."
"Hm?"
"Gini ya kalau udah lama nggak pernah mengenal yang namanya cinta." Gue cengengesan, kemudian berdiri dan menghampirinya. Dahinya masih berkerut bingung. "He likes you."
"Apaan sih," katanya, salah tingkah. Kenapa akhir-akhir ini gue dihadapkan sama orang-orang tua yang gampang salah tingkah ya. Bikin gemas aja. Kalau lagi kayak begini, persis Riana. "Kalau suka nggak kayak gitu lah. Revisi tiada henti."
Kami udah hadap-hadapan. "Aku pernah baca ini, cowok kalau suka kadang tingkahnya ajaib. Nggak semua memang, tapi mungkin bosmu itu termasuk salah satunya. Bingung harus bersikap gimana biar bisa tetep ngobrol sama kamu."
"Tapi kan aku janda, dia single, mapan, ganteng, berpendidikan."
"Terus kenapaaaa? Hello, are you Zia? Hidup di jaman apa kamu, Mbak? Ayolah, dunia udah mau kiamat kayaknya, masa masih aja mau berkubang di pemikiran dangkal dan gelap kayak gitu." Selesai gue ngomong, dia ketawa kecil. "Janda itu status lo dalam pernikahan. Kalau memang janda konotasinya terlalu buruk di Indonesia, mari kita ubah jadi single mother. Gimana?"
"Sama aja, Ya ...."
"Kan kalau single mother artinya kamu adalah mama untuk anakmu, berjuang sendiri. Kalau janda, mungkin maknanya adalah istri yang ditinggal suami dan terkesan menyedihkan, makanya banyak yang ngehina."
"Kamu tuh kenapa sih pinter banget manipulasi lewat omongan kayak gini? Riana lama-lama begini kayaknya."
Belum tahu aja dia, raja manipulatif adalah Om-nya Azriel. Gue kalau ingat omongan dia kemarin itu, masih syok.
"Tapi sebenernya bukan masalah tentang bosku yang pengen aku ceritain, Ya."
"Terus apa?"
"Ini tentang Mas Langit."
"Ya ampun, Mbak, masih penting apa bahas si b*****t itu."
"Dia tetap papanya Riana."
"Okay, papanya Riana yang b*****t itu dan aku nggak suka banget." Dia malah senyum. "Wait, wait, dia dateng lagi?"
"Aku sebenernya belum yakin, tapi mulai deg-degan." Sial, gue langsung ikut deg-degan, padahal ceritanya belum jelas. "Dua hari ini, Riana sebelum tidur selalu cerita kalau dia punya om baru. Om yang baik banget, selalu kasih dia makanan dan nyapa dia setiap dia pulang sekolah. Riana sih bilangnya om itu om-nya salah satu murid di sekolah sana, tapi aku takut, Ya. Takut banget."
Gue ... juga ikutan nggak bisa mikir nih.
"Aku memang bilang kalau papanya harus pindah jauh, makanya nggak pernah balik. Tapi nggak nyangka bakalan sekarang."
Sebentar, tarik napas, Miya, hembuskan. Ayo, bisa pasti. Ini masalah memang rumit, tetapi kalau lo bergandengan tangan sama keluarga yang lo sayang ini, semua akan berhasil.
"Tapi kenapa Mbak yakin banget kalau dia adalah papanya Riana yang b*****t itu?"
"Riana bilang namanya Langit. Aku mau mikirnya ini cuma kebetulan. Nama Langit pasti banyak banget. Tapi, tetep, rasanya ... gimana sih, Ya."
"Tapi, kok kalau aku jemput Riana, nggak ada siapa-siapa."
"Itu dia. Om ini selalu tahu kapan waktu tepat nemuin Riana. Dugaanku, kalau memang bener dia Mas Langit, dia pasti udah ngawasin Riana jauh jauh jauh sebelum dia memutuskan nemuin."
"Gimana kalau Mbak dateng ke sekolah, minta tolong pihak sekolah buat memastikan Riana nggak ketemu sama siapa pun sebelum dijemput? Bu Intan pasti mau bantu."
"Bisa ya?"
"Bisa! Banget. Guru-guru di sana enak kok. Atau gini aja, minta tolong Azriel, tuh anak selain Dermawan, aku yakin dia bisa lho ngelakuin misi ini."
"Miya, please, ini bukan fiksi. Dia anak kecil."
"Okay, maaf."
Lagian tuh papanya Riana ngapain sih, dateng saat kondisi udah stabil, nyaman, dan tenang. Dulu ke mana aja di waktu mbak Zia butuh dia? Gue juga nggak yakin Riana pengen ketemu dia. Kalaupun mau ketemu, itu karena dia belum ngeh aja tentang arti kecewa dan patah hati.
Ah, lelaki berengsek.
***
Dikarenakan rasa takut dan khawatir kalau tiba-tiba Riana hilang, gue memutuskan untuk selalu jemput dia minimal 15 menit sebelum jam pulang sekolah.
Gila, udah cocok banget gue jadi pahlawan pelindung bangsa. Sayang, nggak diapresiasi nih, jadi males ngaku.
Masalahnya, khusus hari ini, gue agak sedikit kebangetan jemputnya. Lo tahu, gue datang sejam sebelum anak-anak sekolah bubar.
Untungnya, gue sering datang ke sini, jadi muka gue udah dikenal sama satpam sekolah. Jadi, gampanglah. Parkirin mobil, gue menuju kantin. Minum-minum jus kek, atau jajanan anak-anak kek, lumayan ketimbang bengong.
Pilihan gue jatuh pada Mango Smoothie dan somay.
Boleh kali ya, lagi makan begini di kantin, tiba-tiba Tarangga datang, senyum manis dan bilang kalau dia juga ternyata jemput Azriel lebih cepat dari seharusnya.
Kemudian kami ngobrol, menikmati makanan dan minuman yang terhidang. Gue menikmati senyumannya.
Hidup kalau bisa diatur begitu, apakah masih ada orang sedih dan kecewa?
Kayaknya enggak.
"Somaynya seporsi, Bu. Tanpa kol ya."
Shit.
Apakah gue salah dengar? Badan gue secara tiba-tiba terasa panas-dingin. Detak jantung gue mulai kerja jauh lebih cepat dari biasanya. Gue mau banget noleh, tetapi kenapa rasanya ... takut?
Miya, lo nggak pernah takut. Dia b*****t, apa yang perlu lo takutin?
Namun, meski sekuat apa pun mindset gue, tetap aja, ketika gue memutuskan noleh, dan matanya menangkap posisi gue, jantung gue rasanya udah lepas.
Dia juga kelihatan kaget, tapi dasarnya udah b******n, cepat banget ngontrol situasi. "Miya, kabar baik?" tanyanya, seolah itu penting untuk dijawab.
"Ngapain?"
"Sorry?"
"Ngapain lo di sini?"
Dia tersenyum lebar. "Kayaknya kamu lupa, kalau Riana anakku."
Gue berdecih. "Nggak malu lo nyebut itu?"
Dia masih mempertahankan senyumannya. "Jangan terlalu dalam ikut campur, Miya. Kamu nggak tahu hal buruk apa yang nunggu kamu di depan sana."
"Oh ya? Hal buruk kayak misalnya, masih banyak b******n kayak lo yang cuma mau s**********n tapi nggak peduli akibat setelahnya. Yang selanjutnya dateng lagi, di saat kehadiran lo sama sekali udah nggak berguna. Gitu?"
Dia diam.
Gue makin gencar. "Motivasi lo apa sih? Baru nyadar kalau anak itu jadi tanggung jawab lo? Baru nyadar kalau Riana perlu lo? Tapi sori, itu dulu. Dia bahkan kauh lebih baik saat lo nggak ada. Lo nggak ada gunanya. So, please, stay away from her."
Dia mengangkat bahu. "Let's see." Tubuhnya berdiri. "Ini uangnya, Bu. Makasih ya." Gue bahkan udah nggak peduli kalaupun penjual somay itu dengar dan akan membeberkan semuanya. "Duluan, Miya. Sampai ketemu ... liat nanti."
Gue berharap, segala bentuk azab yang nyata di muka bumi ini diperuntukkan untuk dia.
Dengan tangan gemetar masih menahan emosi, gue ambil handphone dan mengetik pesan buat mbak Zia.
ME
asumsimu bener, dia memang si b*****t itu.
tapi aku udah urus dia dan kuta liat besok
masih dateng nggak.
Nggak lama balasan masuk.
MBAK ZIA
ya ampun, Ya .... kamu memang terbaik.
sejak dulu da sampai nanti. aku udah duha
itu memang mas Langit. aku pikirin kagi nanti.
makasih banyak, Boo.
"Monyong!" Gue ketawa sendiri. "Maaf," ucap gue ngasal ke siapa pun lah yang mungkin dengar dan merasa nggak nyaman.
Mbak Zia ini memang kurang ajar.
Dia selalu ingat panggilan romantis yang paling pengen banget gue pakai dan dengar. Jadi, dulu waktu dia masih pacaran sama si b*****t tadi itu, kami sering berbagai cerita tentang hal-hal romantis dan sampailah pada pembahasan panggilan sayang.
Mbak Zia lebih suka dipanggil 'Sayang' sementara gue pengen banget ada yang manggil 'Boo'. Tapi, setelah gue tumbuh seiring waktu, gue merasa panggilan itu terlalu unyu buat gue.
Pernah sih sekali, gue minta Reza buat manggil dengan sebutan itu. Matanya malah memicing sambil bilang 'kamu salah makan?'
Gue kayaknya memang nggak ditakdirkan untuk hal-hal manis nan feminin, meski tampilan gue feminin banget. Ya nggak sih?
Nggak berhenti di masalah papanya Riana yang b*****t, atau mbak Zia yang inget soal panggilan sayang impian gue, sekarang muncul nama Tarangga sebagai penelepon.
Gue berdeham berkali-kali. "Halo."
"Hai, Miya." Suaranya kedengaran panik banget. "Kamu di mana?"
"Gue di sekolah Riana. Kenapa, Mas? Suara Mas kenapa?"
"Aku boleh minta tolong, kamu bawa Azriel pulang ke rumah Riana. Nanti kalau sudah sampai sana, aku jemput sendiri."
"Boleh kok boleh banget. Tapi, Mas nggak pa-pa, kan?"
"Anak produksi ada yang kecelakaan, aku harus ke rumah sakit. Tolong banget ya, Miya?"
"Oh iya, Mas."
"Makasih banyak. Kamu baik banget, Miya. Aku kabari lagi nanti ya, maaf aku putus teleponnya."
Kok gue jadi ngeri ya.
Tentang kecelakaannya iya, dan semoga mereka baik-baik aja.
Yang kedua, tentang ekspektasi Tarangga yang sedimikian besarnya. Lo sadar nggak sih, kalau sebenarnya, dia bisa aja telepon Bu Intan, atau pesenin taksi buat datang ke sekolah. Atau, telepon siapa saudaranya. Tapi, yang dia ingat dalam kondisi panik dan nggak seratus persen sadar ... adalah gue.
Gue, Bebs.
Terus, kalimat penutupnya yang seolah menurut dia, gue adalah malaikat.
Mampus, gimana caranya gue jelasin ke dia tentang ke mana semua ini akan berakhir?