EMPAT BELAS

1579 Kata
Dua bulan ini, gue merasa kayak kehidupan lagi berpusat di gue. Semuanya berjalan amat sangat normal, maksudnya, seperti yang gue mau. Normal adalah segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita, bukan? Gitulah. Tarangga dengan semua usaha yang dia punya. Partner yang sangat kooperatif, manis, sopan dan pemberani. Kami jalan bareng, dia bantuin gue mulai mempersiapkan skripsi (iya, lo nggak salah baca, gue udah siap mau bertarung biar lulus segera), nonton di rumahnya, di rumah gue, atau sesekali ke bioskop untuk memenuhi keinginan gue yang pengen lihat manusia-manusia lain di sana. Gue masakin dia di rumahnya, dia makan masakan Ibu. Kadang dia juga main game sama Biyas. Bocah itu menginterogasi gue tentang Tarangga yang nggak mungkin gue jawab. Well, intinya, sejauh ini, semua masih baik-baik aja. Yang nggak baik sebenarnya cuma satu, keputusan mbak Zia buat memperkenalkan si b*****t ke Riana sebagai papanya. "Gila kamu, Mbak. Dia tuh b*****h yang belum tentu udah berubah. Kenapa sih, Riana bahkan baik-baik aja tanpa dia." Gue pikir dengan kalimat super power itu, gue bisa menunda atau bahkan membatalkan keputusan gila mbak Zia. Ternyata, jawabannya malah bikin gue nggak bisa berkata-mata karena gue nggak pernah ngalamin itu. "Riana mungkin haha-hihi di luar sana, Miya. Tapi kita nggak tahu sebenernya apa yang dia rasain kalau lihat teman-temannya bareng orang tua lengkapnya. Mugkin denger Azriel yang selalu cerita tentang papa-mamanya. Kita nggak akan paham itu. Lagipula, Mas Langit bangsatnya ke aku, bukan ke Riana. Aku percaya dia nggak mungkin jahatin Riana." Itu kalimat panjang kali lebarnya, yang mungkin aja sebenarnya otak gue tambahin kalimatnya, atau kurangin biar nggak drama. Pusing. Ketebak dong, gimana happy-nya Riana? Setiap datang ke rumah, yang diceritain adalah gimana baiknya papanya yang selalu datang dan blah blah blah. Yang ngeselin satu, mukanya si b*****t itu pas ketemu gue, menyeringai seola bilang kalau gue memang bukan siapa-siapa buat ngelawan dia. Pret, bisanya ngancem terus, nggak ada apa-apa yang terjadi juga kan. Udah berengsek, cemen pula. Gue benci banget sama dia. Benci sebenci-bencinya. Maksudnya gini lho, lo tuh ganteng enggak, tajir melintir juga enggak, baik boro-boro, terus kenapa lo masih pede aja gitu ngelakuin segala hal ini? Nggak paham sama jalan pikirannya. "Kak. Sibuk nggak?" Suara ketokan pintu dari luar membuyarkan fokus gue yang lagi milah-milah buku referensi dari Tarangga. "Masuk aja. Nggak dikunci kan?" Beberapa hari ini, Ibu lagi kena masalh baru kayaknya. Masa, setiap hari, gue diwanti-wanti nggak boleh kunci kamar baik pagi, siang, dan malam. Begitupun dengan Biyas. Gue tanya kenapa, katanya, lagi musim aneh-aneh, takut kalau gue dan Biyas kenapa-napa, Ibu dan Ayah nggak bisa langsung masuk. Entahlah, emang aneh. "Apaan?" Si Jamet melangkah mendekat dengan kolor hitam yang memperlihatkan lutut kurusnya itu. "Ceilah, makin bijak nan bersahaja banget Anda, sok-sokan baca buku." "Mau bacot? Di kamar sendiri gih." Gue balik lagi milah-milah buku, sampai gue merasakan dia duduk di sebelah gue, di atas kasur. "Jangan nempel-nempel, Met, alergi gue sama lo." "Percaya sih. Nggak alergi kalau dicium sama om-om." Refleks gue menoleh, "Lo nguntitin gue ya?" "Sorry ya. Kayak gue nggak ada kerjaan aja." Lah, memang. "Yang seharusnya dimarahin tuh elo. Di depan rumah, mentang-mentang sepi, bukannya langsung masuk malah ada adegan sosor-sosoran." "Kambing. Lo nguntitin gue woy!" "Nggak sengaja pas lagi di balkon!" Gue diam, kembali fokus lagi. Kenapa bukunya banyak banget sih Tuhan. Mau jadi orang yang ada di jalan lurus aja cobaan begitu banyak menghadang. Gue memang mau baca, tapi nggak semua jenis buku-buku ini yang harus dilalap abis. "Lo kenapa sih demen sama om-om, Kak?" Pertanyaan nggak penting. "Gue tanya Niki, gue kasih umpamaan tuh. Gue udah jelek-jelekin diri gue sendiri. Gue bilang gini, 'Sayang, kalau misalnya ada dua cowok yang suka kamu. Aku dan satu lagi om-om umur 30-an ke atas. Om-om ini ganteng, baik dan tajir melintir tir tir tir sampai kamu mau bumi pun dia kasih. Sementara aku usia masih sembilan belas, ganteng memang, tapi aku belum berduit. Kamu pilih siapa?'. Coba tebak, dia pilih siapa, Kak?" Gue meliriknya tanpa perlu bilang 'ayolah, Met'. "Dia tetap pilih gue!" Dia ngakak sendirian, padahal nggak lucu. "Gue nggak ragu sih kenapa milih dia ketimbang kakak tingkat yang seksinya mirip Anya Geraldine. Bagi gue, Nikita adalah Ariel Tatum." "Lo bisa keluar nggak, Met?" "Kan gue lagi nanya." Gue tinggalin semua buku-buku tadi, dan menghadapkan diri ke arahnya. "Lo pernah dengar yang namanya preferensi?" Dia mengangguk. "Nah itu jawabannya. Tiap orang beda-beda preferensinya. Lo suka yang modelan Anya dan Ariel Tatum. Sementara gue suka yang modelan Tarangga. Niki suka yang nggak berduit asal muka kinclong kayak lo. Kalau gue ya kudu mateng semuanya lah. Muka, duit dan semuanya. Paham nggak lo?" Kepalanya mengangguk-angguk. Syukurlah kalau emang dia beneran pinter. "Seks sekali bisa bikin hamil nggak, Kak?" "Hah?" Badan gue seketika jadi terasa panas. "b*****t, lo hamilin anak orang?" "Bukan gue!" teriaknya sambil berdiri. "Anjir lo ya, gue nanya bener-bener malah dituduh begini. Itu temen gue, pagi-pagi nanya gimana ngatasin keluar di dalem. Anjing memang, mana gue ngerti. Di sekolah diajarin cuma benda-benda reproduksi. Make kondom aja gue belum pernah." "Biyas ...." "Demi Allah, astaghfirullah. Kak Miya." "Bi ...." Napas gue udah mau putus. "Lo nggak ... Biyas." "DEMI ALLAH!" teriaknya sambil mengacak rambut. "Gue cari di internet tapi takut semuanya malah bikin efek negatif buat mereka. Mana disuruh KB lagi. Lah gimana, orang udah rampung seksnya. Ada lagi apaan tuh nama obatnya, dari Alodok, tapi kudu pengawaban dokter. Gue nggak tanya Ibu karena takut responsnya. Gue pikir lo lebih terbuka ternyata sama aja." Okay, gue lega. Gila ... gue tahu gue udah binal banget kalau menurut standar mereka pastinya, tapi gue nggak mau kalau Biyas kebablasan dan nanti nggak ngerti cara mainnya. "Suruh tanya ke Halodoc aja tuh temen lo. Atau KB kek, lagian bodoh banget. Mau ena-ena masa nggak pakai kondom udah tahu tujuan akhir bukan bikin bayi." "Iya ya. Enak kali, jadi lupa semuanya." "Awas lo macem-macem." Dia nyengir. "Tergantung suasana," katanya, sambil nyengir lebar, kemudian berjalan keluar kamar. "BIYAS!"  *** "Happy birthday to you. Happy birthday to you." Ini gue mimpi atau gimana sih. Mimpinya kenapa nggak enak banget deh, mimpi indah apa kek, bukan malah dengar orang nyanyi lagu ulang tahun. Gue berusaha merem lagi, miring ke arah kiri sambil meluk guling, tetapi suara itu makin rame dan makin dekat. Memaksa buka mata, gue kayaknya lagi halusinasi. Ada Ibu, Ayah, Biyas yang lagi bawa kue dan ... astaga! Secara refleks, gue langsung duduk saat menemukan Tarangga yang lagi senyum lebar. Buru-buru merapikan rambut, ngelap mulut dan mata, gue akhirnya bisa senyum paksa. Ini memangnya ulang tahun gue ya. Sumpah, gue lupa banget dan mikirnya gue masih lama banget ulang tahun. Karena .. ya gila aja, gue nggak mau ulang tahun yang artinya umur gue makin tua. "Selamat ulang tahun, Kakak terjudes yang pernah ada. Tapi baik, duitnya banyak lagi." Gue rasanya pengen banget nempeleng mukanya. Tapi nggak jadi, karena tiba-tiba dia meluk gue setelah gue berhasil tiup lilin dan dia meletakkan kuenya. "Gue sayang lo, Kak. Jangan geli ya, karena gue juga geli." Semua orang tertawa. "Selamat ulang tahun, anak gadis Ibu yang sebentar lagi mungkin jadi Ibu." Mulai deh ah. Males banget. "Jadi gadis yang hebat dan mandiri, sukses selalu, Sayang." Gue bilang makasih sambil memeluknya erat. Kemudian, ada Ayah yang mengacak rambut gue sambil mebucapkan kata-kata manis. Di tengah pelukan, dia bilang, "Ayah sayang banget sama Miya. Jadi pribadi yang baik ya. Semangat menjalani hidup, Nak." "Makasih, Ayahku yang paling ganteng." Sekarang, adalah giliran yang di sana. Yang kata Biyas Om-Om tapi bagiku sangat menggemaskan. Baru kali ini, gue ulang tahun dan cowok datang ke rumah dini hari ikut ngerayain. Gimana gue nggak bilang dia pemberani. Senyumnya terbit, tapi dia kelihatan bingung. Mungkin malu mau maju meluk gue, tapi pengen. Akhirnya, setelah ketawa, gue yang menyisihkan selimut dan turun ranjang untuk menghampirinya. Belum sempat sampai, Ibu udah teriak, "Astaghfirullah, Miya celanamu mana?! Sebentar, Nak Aga tolong ngadep ke belakang dulu." Gue langsung lihat ke bawah, dan ... berengsek. Mau ngakak sendiri karena ternyata malam ini gue cuma pakai kaos kegedan dan celana dalam. Demi apa ya, mana gue tahu kalau mereka bakalan masuk ke kamar. Tidur pakai kaos doang dan celana dalam adalah surga, Bebs.  *** "Mas ngapain sampai harus ke sini coba?" Dia ketawa pelan. "Biar bisa ikut ngerayain bareng keluarga. Kami bahas ini lama lho, dan semua ide Biyas nggak ada yang diterima Ibu dan Ayah." Ketebak sih ide Biyas apaan. Palingan kalau nggak lempar gue dari balkon ya nyiram gue pakai air es. Ngantuk gue jadi ilang, kan. "Terus puas banget dong, sekarang?" Dia menggeleng, otomatis gue mengernyitkan kening karena bingung. "Ada satu lagi agendanya." "Ohya?" Gue ketawa geli. "Apalagi tuh?" "Dinner bareng Azriel dan Riana. Di rumahku. Kamu harus tahu, mereka dekor dan mempersiapkan semuanya dengan muka berbinar dan dampe tidur pules karena capek." Gilaaaa, dua bocah itu menang benar-benar nggak bisa diragukan lagi. "Nanti malam. Mau ya?" "Memangnya aku bisa bilang 'enggak' kalau bayangin gimana mukanya Riana dan Azriel?" Dia ketawa lagi.  Tangannya menyodorkan kotak biru dongker dengan pita silver. "Aku, Riana dan Azriel keliling buat cari yang paling cocok buat kamu. Kata Azriel biar kayak princess sebelah, kalau Mulan kan kesukaannya Riana." Gue membuka kotak itu dan ... sebenarnya gue udah nebak isinya apa. Memang nggak salah tebakannya, dress hitam yang nggak tahu nanti di badan gue bakalan gimana.  "Thank you." Dia mengangguk. Kemudian tangannya terulur, dan gue langsung menyambutnya untuk berpelukan. Gue merasakan dia mengusap punggung gue pelan. Pelukannya ia lepas, tetapi ternyata hal itu buat dia natap gue dan mengelus pipi gue lembut, terus nggak lama berbisik, "Happy birthday, Boo." Anj*ng. Rasanya ... geli-geli menyenangkan dan ... enak. "Tahu dari mana?" Gue masih ketawa, antara geli dan senang. "Mbak Zia," katanya, terlihat malu-malu. Kenapa dia sebegini menggemaskannya. Gue makin ketawa. "Sampai ketemu nanti malam, aku jemput jam setengah delapan ya. Aku pulang dulu." Menoleh ke kiri dan kanan, gue merasa aman dari pengawasan, kemudian langsung mengalungkan leher, menariknya mendekat untuk memberinya sebuah hadiah juga. Selesai itu, gue usap bibirnya sambil tersenyum lebar, yang dia balas senyum. "Hati-hati pulangnya. Pasti ngantuk banget. Lansung tidur ya." Dia mengangguk. Ini salah satu ulang tahun yang indah. Ternyata, gue nggak menyesal bertambah usia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN