Bab 5: Rahasia Sarkon

1360 Kata
Lovette berdiri terpaku, tak jauh dari anugerah terindahnya, sang kekasih. Pria itu menatapnya balik. Wajah tampannya tak menunjukkan secuil pun ekspresi. "Apa kau tak mendengar apa yang sudah kubilang?" Lovette memejamkan mata dengan jengkel lalu menegakkan badannya. "Tentu saja, aku mendengarmu. Kau mendaftarkan gadis itu ke sekolah. " "Jadi?" "Jadi, dia tidak ada di sini sekarang." "Lalu?" "Lalu aku bisa berhenti berpura-pura," kata gundik itu pelan. Sarkon mendorong pinggul Lovette menjauh untuk membuka laci. Lovette berdiri dan memandang dalam keheningan yang kikuk saat Sarkon mengeluarkan sebuah berkas. Gundik itu hanya berdiri dan menonton seperti siswi yang dihukum guru pengawas saat Sarkon membuka-buka halaman berkas lalu mulai membacanya. Tawa sarkastik pecah dari bibir merah Lovette. Dia menyergah pria tampan berbadan besar itu yang sedang duduk tenang di hadapannya, "Ini konyol. Aku kekasihmu! Mengapa aku tak boleh menyentuhmu?" Sarkon mendongak dari berkas yang dibacanya lalu menoleh, "Kalau kau tak bisa pakai otakmu, aku akan mempekerjakan orang lain." "Sarkon!" Mata birunya yang indah seketika menggelap karena amarah yang meluap. Lovette seketika terdiam membisu. Bibir menggairahkan yang membangkitkan keinginan Lovette untuk mencumbuinya itu kini menimbulkan perasaan ngeri dan menusuk hati ketika berkata-kata. "Sebutkan perjanjiannya," perintahnya dengan suaranya yang dalam. Mata birunya menunduk menatap tepian meja. Lovette menelan rasa frustrasi lalu menengadahkan dagunya tanda menantang namun tetap patuh menjawab, "Tidak menyentuh, tidak berbicara, tidak memandang ketika kita hanya berdua." Sarkon mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja. "Kita bisa melakukan apa pun supaya Maria percaya kita ini sepasang kekasih." Jemarinya berhenti mengetuk. Lovette menarik napas dalam lalu dengan berat mengembuskannya sambil memejamkan matanya seraya bergumam putus asa, "Kalau aku bekerja dengan baik, aku bisa menyimpan semua hadiah darimu." Dia terdiam sejenak lalu menambahkan sambil menghela napas, "Termasuk seratus ribu yang kau beri di awal." Sarkon mengangguk lalu melanjutkan membaca, "Ternyata otakmu baik-baik saja." Si gundik cantik itu mengerutkan mukanya ibarat anak kecil yang dimarahi karena bertemperamen buruk. Dia bergegas keluar ruangan, menghentak-hentakkan kakinya jengkel mengabaikan kepala pelayan yang tersenyum padanya. Albert masuk lalu dengan tenang meletakkan secangkir kopi di atas meja. Di samping cangkir ada lepek dengan dua butir obat kecil berwarna putih di atasnya. "Kopi dan obat Anda, Tuan." Sarkon mengangguk lalu meletakkan berkasnya. Begitu pintu tertutup, pria kekar itu melesakkan badannya ke kursi. Sambil melamun dia merogoh sakunya dan mengeluarkan arloji saku berwarna perak. Dalam diam Sarkon memandangi arloji logam itu lama-lama. Mengembuskan napas dengan d**a berdegup kencang, dia menjentikkan tutup arloji itu sampai terbuka. Foto Maria yang memakai gaun putih berlengan tersenyum berseri-seri padanya. Waktu itu mereka sedang di London merayakan ulang tahun Maria yang keenam belas... Setelah mengelilingi galeri seni,.Sarkon membawa Maria ke Taman Hyde untuk melihat angsa—pertama kalinya dalam hidup Maria. Sarkon ingat betapa Maria ingin sekali melihat angsa. Ada suatu kisah tentang seekor bebek yang berubah menjadi angsa. Maria sangat kagum dengan cerita itu, sampai-sampai dia memohon pada Sarkon supaya bisa memelihara beberapa ekor anak itik. Ketika anak-anak itik itu tidak berubah menjadi angsa, Maria sangat kecewa, dan Sarkon berjanji membawanya melihat angsa. Dan di sanalah mereka berada. Maria begitu riang, tentu saja. Dia memekik-mekik kegirangan ketika terhuyung-huyung dalam gaun yang mengelembung tertiup angin, demi mengambil beberapa foto lagi dari unggas yang anggun itu. Rambutnya yang ikal merah kecoklatan berantakan tertiup angin dan menutupi wajahnya, membuatnya terus-terusan menyibak rambut. Sarkon tahu anginnya sangat kencang. Meski begitu, Maria tak merasa terhalang untuk bersenang-senang. "Aku berantakan sekali!" Suaranya yang halus menembus arus angin yang berdeguk-deguk, Maria memandang berseri ke arah Sarkon, dengan bola mata berwarna zamrud yang memancarkan keceriaan. Saat itu Sarkon merasa Maria begitu polos dan cantik seperti angsa. Sarkon terpesona. Dia membeku, terpesona oleh kecantikannya semata-mata, dan tak mampu berkata-kata untuk pertama kalinya... Jantungnya berdetak tak beraturan sejak saat itu. Setiap kali Maria ada di dekatnya, dia tak bisa berpikir jernih. Dan dia tidak suka perasaan ini. Di minggu-minggu pertama ketika Maria mulai masuk dan mengacaukan pikirannya, dia berusaha membuyarkan lamunan dengan meninju dinding. Walhasil beberapa buku-buku jarinya retak. Ekspresi wajah pucat pasi Maria ketika melihat tangan Sarkon yang diperban, menyadarkan Sarkon untuk menutupi hal-hal berbahaya seperti ini. Dia sudah lebih berhati-hati sejak saat itu. Sarkon menatap foto Maria yang diambilnya diam-diam. Tatapan Sarkon beralih dari mata hijau Maria yang berbentuk seperti buah badam, lalu mengamati lekuk hidungnya yang lembut. Sarkon lalu mengamati bibir Maria yang semerah bunga mawar, tenggorokannya jadi kering. Sarkon menyentuh bibir itu dengan ibu jarinya. Dia sangat ingin menciumnya— Dia menutup arloji itu dengan keras. Sarkon meremas dahinya. Napasnya berat. Jutaan pikiran menghantui yang sama melesat-lesat di dalam kepalanya ibarat kereta super cepat. Maria tak boleh aku miliki, Sarkon menggeram pelan. Aku seharusnya yang paling tahu alasannya. Maria masih muda dan gegabah, tapi aku tidak. Sarkon tahu. Sarkon tahu perasaan Maria kepadanya. Sarkon bisa melihat jelas di mata Maria. Sarkon telah melihat foto-foto dirinya yang Maria simpan. Sarkon beranggapan ini hanyalah sebuah fase, hanya cinta monyetnya gadis remaja. Jadi dia tidak memedulikannya dan tetap menjaga jarak. Tapi itu belumlah cukup. Parahnya lagi, dia terjebak dalam pusaran perasaan itu juga. Sarkon nyaris menciumnya di pantai malam itu. Dia merasakan hasrat yang begitu kuat sampai-sampai dia merasa ngeri dan jijik sendiri. Dia harus mengakhirinya. Sarkon membayar seorang aktris untuk berpura-pura menjadi kekasihnya, dan cara itu berhasil. Maria langsung menjaga jarak. Selama seminggu terakhir, mereka nyaris tidak saling menyapa, dan Sarkon hanya memperhatikan Maria dari jauh. Dia seharusnya merasa senang rencananya berhasil. Dia bekerja lebih keras dari biasanya, supaya pikirannya jadi terlalu lelah untuk bermimpi. Pikirannya seharusnya tenang sekarang setelah Maria jauh darinya. Tapi dia tidak tenang sama sekali. Sarkon merindukan Maria. Sarkon menatap bayangan tangannya dan menelan ludah. Dia harus mencarikan Maria suami yang baik. Maka, dia akan bisa memenuhi janjinya kepada ayah Maria, lalu Maria akan pergi selamanya dari hidupnya. Sarkon melempar aspirin ke dalam mulutnya, lalu meneguk kopi hangat dan pahit itu. Dia menghela sebuah desahan lemah yang penuh derita. Dasar wanita... ***** Penderitaan Maria dimulai begitu dia masuk kamar. Setelah diperingatkan Sarkon perihal pakaiannya, Maria meninggalkan Sarkon sebentar untuk melapor ke kantor asrama. Tadi ketika Maria melangkah keluar dari mobil, semua mata orang yang lalu-lalang tertuju ke arahnya. Tapi Maria tahu kalau mereka sebenarnya terpesona dengan si pemilik mobil, seorang pria jenius yang berpengaruh dalam dunia bisnis, Sarkon, bukan Maria. Mengabaikan tatapan orang-orang, Maria segera menaiki tangga dan memasuki gedung. Ibu asrama menyambutnya dengan tatapan bosan lalu menyerahkan sekotak barang-barang. Sepertinya berisi pamflet dan buklet tentang kampus dan asrama, juga kunci kamarnya. Dengan tatapan tajam tanpa kata-kata, ibu asrama mendesak Maria untuk keluar dari kantornya. Di luar, Sarkon bersandar ke mobilnya. Dia menyilangkan tangannya yang besar di dadanya yang lebar sembari memandangi sekitar layaknya turis. Maria menyimpan gambaran sosok itu di benaknya karena dia tak akan bisa bertemu Sarkon selama beberapa pekan ke depan. Memikirkannya saja membuat perutnya melilit. Mata Maria bersinar karena tiba-tiba mendapat ide. Dia meremas perutnya lalu berjalan menuju walinya yang masih muda itu. "Sepertinya aku keracunan makanan." Sarkon menatap Maria tegang lalu langsung tenang kembali. "Tidak, kau tidak keracunan makanan." Maria membungkuk dan mengerang, "Sungguh. Perutku sakit. Aduh! Aku butuh dokter.... Cepat.... Aku harus ke dokter." Sebuah tangan besar menepuk kepalanya, dan Maria merasa tepukan itu layaknya saudara. Hatinya kembali terbenam. Maria tak akan bisa bertemu dengannya selama berminggu-minggu. Tak bisakah dia mengabulkan keinginannya? Maria seketika memarahi dirinya sendiri. Apa yang kau mau, Maria? Apa yang kau harapkan? Tepukan seorang kekasih? Apa dia milikmu? Bukan. Dia punya kekasih, dan itu bukan kau. Berhentilah berangan-angan dan sadar dirilah. Tapi Maria tidak sanggup dan tidak akan berhenti mencintai pria ini. Pria ini telah memberi Maria segalanya tanpa meminta balasan apa pun. Tidak. Maria diam-diam membela diri. Dia tak mau menghentikan angan-angan ini. Ini keputusan yang dia buat sendiri. Maria menegakkan badannya lalu memelototi pria tampan itu yang menatapnya kembali dengan tatapan dingin yang seperti biasanya. "Kenapa kau selalu tahu tipuanku?" gadis itu bertanya cemberut. "Kau tak berbakat akting," jawabnya terang-terangan. "Huh," gerutu Maria. "Bisakah kau sekali saja berpura-pura percaya aktingku?" "Aku tak akan bohong padamu, Maria. Kau tahu itu." Ya memang, Maria mengakui. Namun, Maria tetap merasa gelisah. "Aku tak ingin tinggal di sini, Paman Sarkon," dia berbisik memohon sembari tatapannya tertuju pada kedua tangan Sarkon yang besar itu, berharap mendapatkan lebih banyak kehangatan. Sarkon menaruh kedua tangannya di bahu Maria...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN