... lalu mengantarnya menuju pintu masuk asrama.
"Masuklah," desaknya dengan suara rendah. Maria didorong menuju tangga. Dengan lebih lembut, suara yang sama bertanya, "Apa kau sudah mendapat semua yang kau butuh?"
"Ya," erang Maria. "Tidak, tunggu! Aku meninggalkan sesuatu di vila. Kita harus--"
"Aku akan mengirimkannya," potong Sarkon singkat.
Dengan dorongan terakhir, Maria menaiki anak tangga pertama. Dia berbalik. Sarkon melambaikan tangannya pada Maria.
"Jaga dirimu. Belajar yang giat. Sampai jumpa beberapa minggu lagi."
"Paman Sarkon—"
Tapi pria besar yang menawan itu sudah berbalik dengan langkah-langkah panjang, dan kembali ke mobil.
Dengan gerakan mulus dia menyelipkan dirinya masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin, lalu pergi.
Begitu mobil sport biru gelap milik Sarkon itu menghilang di hijaunya cakrawala, Maria mengembuskan desahan berat dan masuk kembali ke dalam gedung. Kau bisa melalui ini, Maria. Dia menyemangati dirinya diam-diam lalu berlari menaiki tangga.
Setelah beberapa belokan dari pintu masuk utama, Maria tiba di depan kamarnya. Dia mengambil napas dalam lalu membuka pintu, dan disambut oleh ketiga kopernya. Dengan senyum lemas, dia masuk ke dalam kamarnya. Dia berencana langsung membongkar kopernya ketika suara kasar terdengar dari sisi lain kamar itu.
"Hei, kau. Kau salah kamar."
Maria berbalik. Dia gadis yang tadi terlihat bersama Sarkon. Gadis yang memakai gaun putih dan sepatu bertumit tinggi.
Gadis itu seketika berdiri, "Apa kau buta? Atau kau tidak melihatku? Kau tidak tahu siapa aku?"
Maria teringat ucapan Sarkon tentang pakaiannya, lalu tawa keluar dari bibirnya.
"Apanya yang lucu?" bentak gadis itu.
Senyum Maria langsung menghilang. Dia menatap gadis kasar itu, yang mengingatkannya akan seekor anjing chihuahua, lalu menjawab sopan, "Aku tidak menertawakanmu. Aku cuma teringat sebuah lelucon. Dan aku bisa membaca—ini kamarku." Maria mengangkat kuncinya.
Gadis itu mencibir. Matanya mengamati Maria dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Kesombongan terpancar dari bibirnya. Dia mendongakkan kepalanya seperti Lovette dan terkekeh seperti hyena.
Sekarang, Maria kesal. Ada apa sih dengan gadis ini? Maria melirik gaun biru tanpa lengan yang dikenakan si gadis, yang sedang menyeringai pada Maria.
"Apa yang kau tertawakan?" Maria mengernyitkan dahi kebingungan.
"Bukan urusanmu. Tak usah dipikirkan. Ck, ck, ck. Ya Tuhan, lihat saja penampilanmu. Kau datang dari era mana—tahun delapan puluhan?" Gadis itu mengangkat rok Maria dengan ekspresi jijik.
Maria tersentak, "Apa yang kau lakukan?" Dia menampik kedua tangan si gadis dari roknya dan melangkah mundur. Gadis ini gila! "Jangan angkat-angkat rokku! Ini pelecehan!"
Dengan tawa mengejek, gadis itu menyilangkan kedua tangannya yang gelap. Saat itulah Maria menatapnya dengan seksama. Dia punya lekuk tubuh yang bagus seperti Lovette, kata Maria dalam hati. Tampaknya dia lebih suka olahraga ketimbang mobil sport.
Gadis itu mengerang lagi seperti buldoser, "Ah! Aku tak percaya ini. Pertama, mereka memberiku teman sekamar. Kedua, orangnya kayak biarawati."
Gadis itu menghentak-hentakkan kaki dan menyalak pada Maria, "Dengar kata-kataku, kau makhluk kotor. Kau bukan seorang putri di sini. Akulah sang putri. Sadari statusmu. Kau bukan siapa-siapa. Aku punya apa yang kau punya, dan bahkan jauh lebih baik. Siapa yang mau peduli walau orang-orang tahu kau? Tidak ada yang akan memperhatikanmu. Orang-orang hanya akan memperhatikanku."
Maria terkejut mendengar kata-katanya. Sebelum dia bisa berkata-kata, gadis itu terus mengomel dengan gaya bangsawannya, "Aku mau tinggal sendiri! Aku tidak mau berbagi kamar! Apa mereka tuli atau bodoh? Ya Tuhan! Aku tak percaya ini."
"Kau bisa minta pindah kalau kau merasa sangat tidak nyaman," saran Maria pelan.
Mata bulat besar itu menatap Maria dengan tatapan layaknya macan betina. "Kenapa aku yang harus pergi? Kau yang pergi!" Ibarat pistol, jari telunjuknya menunjuk Maria marah, "Kau harus pergi!"
Mata Maria melebar. Sesaat, dia merasa benar-benar ketakutan.
Wajah datar Sarkon muncul di benaknya. Entah bagaimana, wajahnya memberinya keberanian. Sambil mengepalkan tangan, Maria mengangkat dagu, "Ini kamarku, jadi aku tidak akan pergi ke mana pun. Aku tak masalah sekamar denganmu, jadi terserah kalau kau mau pergi atau tidak. "
Maria berbalik menjauh dari si gadis pemarah itu lalu melihat ponselnya. Haruskah dia menelepon Sarkon? Kejadian ini tampak berbahaya.
Berhenti bertingkah seperti bocah dan dewasalah, Maria. Kau sebetulnya hanya ingin mendengar suaranya.
Maria tersenyum lemas. Ya, dia memang ingin mendengar suara Sarkon. Dia sangat ingin mendengarnya. Sarkon baru saja pergi satu jam lalu dan Maria sudah sangat rindu.
Satu kali telepon saja. Tidak ada salahnya.
Gadis itu berteriak di belakang Maria, meronta-ronta di atas tempat tidur yang tertata rapi, "Kau gadis desa! Kembalilah ke tempat asalmu! Tinggalkan aku sendiri!"
Maria menggelengkan kepalanya lalu mulai membongkar kopernya.
*****
Kamar asrama itu terasa seperti salah satu kamar di hotel mewah yang pernah Maria kunjungi. Meskipun lebih kecil dari kamarnya di vila, namun masih ada jarak yang cukup untuk jauh-jauh dari gadis pemarah itu.
Selama dia tetap ada di wilayahnya maka aku juga tetap di wilayahku. Bahkan bahu kami tidak akan bersentuhan. Maria menenangkan diri dalam hati. Semuanya akan baik-baik saja.
Selagi pengering rambut terus berembus dan berderu, Maria menatap ponselnya seolah-olah itu wajah Sarkon.
Sedang apa dia sekarang? Maria bertanya-tanya sedih.
Matanya beralih ke pepohonan muram di luar, yang bergoyang dalam sunyi di bawah sinar mentari sore. Air mata panas menyelimuti matanya.
Dia merindukan birunya lautan. Warna di bola mata Sarkon.
Air mata menetes di pipi Maria yang putih.
Maria rindu semua orang. Di jam ini biasanya dia sedang minum teh dan kue jeruk spesial buatan si pembuat roti. Sophie akan bergosip tentang pelayan-pelayan lain, lalu mereka berdua akan memegangi perut mereka, menahan supaya tidak tertawa keras.
Maria menarik ingus.
"Hei, kau. Berhenti menangis. Sifatmu kuno dan itu mengganggu."
Maria mematikan pengering rambut itu dan menyimpannya. Dia duduk di meja supaya punggungnya menghadap si gadis kasar itu.
Karena Maria tak sempat menanyakan nama si gadis itu--lagi pula dia juga tak akan sudi tahu nama Maria--maka Maria akan memanggilnya dengan "si gadis kasar" untuk saat ini.
Cukup adil, pikir Maria, karena gadis itu memanggilnya "Hei, kau".
Di kelas pagi Maria ikut dua mata pelajaran, lalu makan siang sebentar di kantin. Ya ampun, pengalaman ini membuka mataku.
Universitas Walden terkenal di kalangan orang-orang kaya dan selebritis.
Kalangan selain mereka beranggapan kampus itu sama bergengsinya, sama misteriusnya, dan sama tidak bergunanya seperti "sekolah swasta".
Hanya menerima anak-anak orang terkenal dan kaya, kampus itu memberi kurikulum yang jauh berbeda, yang tujuannya mempersiapkan para siswa untuk meneruskan perusahaan keluarga mereka.
Ketika Sarkon pertama kali memberi tahu Maria tentang sekolah itu, Maria menolak mendaftar ke sana.
Perusahaan keluarga apa yang dia miliki? Dia hanyalah anak perempuan seorang pensiunan polisi dan seorang guru. Dia tidak dilahirkan dalam kemegahan atau diharapkan memiliki takdir seperti itu. Mengapa dia harus masuk ke sekolah bergengsi seperti ini?
"Kau pantas mendapat yang terbaik," hanya itu yang dikatakan Sarkon.
Tapi mengapa? Maria seringkali bertanya-tanya.
Mengapa seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang baru saja beranjak dewasa, mengadopsi dan membesarkan seorang gadis seolah-olah anaknya sendiri? Apa yang telah Maria lakukan sehingga dia mendapatkan cinta dan perhatian Sarkon?
Mengapa Maria pantas mendapatkan yang terbaik?
Tidak ada yang tahu. Mungkin beberapa orang tahu, tapi tak seorang pun yang akan memberitahunya tanpa seizin Sarkon.
Maria termenung menatapi rerumputan berwarna hijau segar lalu menggelengkan kepalanya. Tidak ada gunanya memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu lagi karena dia tidak akan pernah tahu jawabannya. Sarkon sama sekali tak mengatakan apapun, sama seperti orang mati.
Tatapannya terangkat ke langit biru lepas yang dihiasi awan putih bak kapas. Dia menghirup kesegaran udara pagi yang membelai pipinya.
Meskipun tak tertidur sedikit pun malam sebelumnya, Maria masih akan bisa menikmati hari itu. Dia akan berjalan-jalan dan mempelajari tentang kampusnya setelah kelas usai.
Pintu kelas yang berat terbuka dan terlihat pemandangan yang tidak asing lagi. Maria masuk ke ruang kelas yang nyaris kosong. Bedanya ada beberapa siswa berpakaian mahal yang duduk di belakang berjauh-jauhan.
Si gadis kasar itu masih mendengkur ketika dia meninggalkan kamarnya tadi. Maria merasa lega, tahu kalau si gadis kasar itu salah satu dari para berlian—istilah yang dia curi dengar di kantin. Berlian merujuk pada sekelompok mahasiswa baru yang tidak hadir di kelas.
Sama seperti kemarin, Maria duduk di baris depan dan tersenyum kepada dosen. Dosen itu tidak lagi terkejut dan membalas senyuman ramahnya lalu menyapa murid lain yang berwajah datar.
*****
Kampus itu berhektar-hektar luasnya. Ibarat sebuah titik hijau raksasa di sisi kanan atas kota Lenmont, hampir-hampir saja bisa terlihat dari langit.
Termasuk auditorium perkuliahan, ruang kelas, ruang konferensi, dan asrama mahasiswa baru, kampus Walden punya semua kebutuhan dasar untuk para orang kaya dan terkenal: perpustakaan, galeri seni, teater, area olahraga, dan lapangan golf.
Dengan begitu banyaknya fasilitas kampus dan tata letak gedung-gedungnya yang rumit, para mahasiswa disarankan menginstal sistem navigasi universitas untuk memudahkan pergi ke tempat-tempat itu—sistem yang membuat Maria memeras otak karena dia gagap teknologi.
Ketika Maria memasuki galeri, ponselnya bergetar. Dia terkejut lalu berbalik menjauh dari galeri dan melangkah keluar gedung.