Pelet, part 12

1153 Kata
Sebelum menjadi Lurah, Amran bekerja untuk Imron, kakaknya. Imron jugalah yang sebelumnya menjodohkan Sulis dengan adiknya tersebut. Dulu, Sulis begitu senang dan bahagia saat keluarga besar Haji Imron yang terpandang di Banyuanteng datang ke rumah untuk meminang dirinya. Tapi, setelah Sulis resmi menikah dengan Amran, barulah dia menyadari jika kenyataan yang dia jalani ternyata tak seindah bayangannya dulu. Di saat awal-awal menikah, semuanya berjalan dengan normal dan bahagia. Sekalipun sikap Amran tak sehangat yang diharapkan Sulis, tapi dia tetap menunjukkan tanggungjawabnya sebagai suami yang baik. Amran memberikan nafkah lahir dan batin yang cukup untuk Sulis. Saat itu, Sulis beranggapan bahwa sikap dingin Amran mungkin timbul karena pernikahan mereka yang dilandasi oleh perjodohan keluarga tanpa ada perasaan dan hubungan dekat dari kedua mempelai. Mungkin, Amran butuh waktu untuk menumbuhkan benih cintanya untuk sang istri. Karena itu, Sulis memilih untuk bersabar dan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi istri yang sebaik-baiknya bagi Amran. Hingga akhirnya, mereka berdua dikaruniai buah hati. Setelah kelahiran anak pertama mereka, Sulis yang awalnya berpikir bahwa Amran seharusnya kini sudah mulai memiliki rasa cinta untuk dirinya, justru kecewa dan sakit hati. Alih-alih hubungan mereka makin menghangat, Amran kini justru tak lagi pernah menyentuh dirinya sama sekali. Semakin hari, sikap sang suami juga semakin dingin, hingga akhirnya, aib memalukan yang membuat Sulis benar-benar terpuruk itu terjadi. Malam itu, Imron, kakak ipar Sulis, datang ke rumah mereka. Dia menawarkan sebuah kesempatan kepada Amran, sang adik kandung, untuk menjadi kepala desa. Amran yang mungkin selama ini sudah lelah dan bosan berada dalam bayang-bayang kesuksesan kakak kandungnya langsung menerima tawaran Imron, sekalipun syarat yang diminta Imron begitu biadabb dan durjana. “Kamu tahu nggak kalau sejak dulu… Sejak aku menikahkan kamu dengan adikku… Aku sudah mengincarmu…” “Aku juga tahu kalau suatu saat kamu pasti akan jatuh ke tanganku…” “Si g****k Amran itu… Entah di mana otaknya…” “Sudah jelas-jelas ada yang enak begini… Kenapa dia lebih suka lubang tai laki-laki…” Dunia Sulis seakan runtuh malam itu. Dari mulut Imron, dia kini tahu alasan sikap dingin suaminya selama ini. Sikap dingin yang mungkin tak akan pernah bisa hilang dalam pernikahannya. Dia hanya bisa diam dan menangis terisak-isak dengan hati hancur malam itu, karena tubuhnya sedang dinikmati seekor binatang berkedok orang terpandang di desanya, dan juga karena harapan yang hilang atas pernikahannya. ===== Udin melihat ke arah sosok belakang wanita cantik yang kini berjalan pelan menuju ke rumahnya itu. Kepuasan sesaat karena telah berhasil menaklukkan wanita nomor satu di kampungnya itu kini tergantikan rasa iba dan pedih menyayat di dadanya. Udin kini sepenuhnya percaya ungkapan ‘wang sinawang’. Bahwa kehidupan orang lain yang terlihat lebih bahagia, mungkin tak sepenuhnya seperti anggapan di kepalanya. Udin juga kini merasa bersalah luar biasa. Tadi… Mungkin Sulis terlihat bahagia dan menikmati hubungan mereka, tapi bisa saja semua itu karena pengaruh ilmu peletnya. Mungkin saja, kalau tak ada ilmu itu, Sulis tadi akan menangis terisak-isak seperti yang dia alami saat dulu Imron memaksa Sulis untuk melayaninya. Lalu, apa bedanya Udin dengan Imron? ===== Sulis berbaring di ranjangnya. Ranjang yang selama ini hanya dia pakai sendirian selama bertahun-tahun tanpa kehadiran suaminya. Ingatan Sulis kembali melayang ke kejadian yang baru dialaminya tadi. Sulis tak habis pikir. Jujur, sekalipun Sulis memang haus belaian lelaki, sekalipun Sulis memang merindukan kasih sayang suami, tapi selama ini dia selalu bisa mengendalikan dirinya. Sulis selama ini menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan yang melelahkan supaya dia bisa langsung terlelap saat membaringkan tubuhnya di ranjang setiap malamnya tanpa memikirkan kebutuhan batinnya yang tak terpenuhi. Tapi kejadian siang tadi… Sulis lepas kendali. Seperti seorang musafir yang kehausan selama berhari-hari lalu menemukan oasis yang bisa meredakan dahaganya sepuas hati. Dia melepaskan semuanya. Dia kembali menjadi seorang wanita. “Kok bisa ya aku kehilangan kontrol seperti tadi?” “Gara-gara aku? Atau dia?” “Atau gara-gara sudah terlalu lama…” Sulis kebingungan dan dia butuh jawaban. Dia tak bisa tidur nyenyak malam itu. ===== Sulis berdiri di dalam selepan padi. Hanya ada satu selepan di Banyuanteng, selepan padi milik keluarga Haji Imron yang diurus oleh Basari. Sulis sendiri sama sekali tak pernah ke tempat ini. Buat apa? Dia bukan petani yang harus menggilingkan padinya. Apalagi usaha ini milik Haji Imron, orang yang begitu dibenci Sulis selama ini. Tentu saja, Sulis tak pernah menginjakkan kakinya ke sini. Satu-satunya alasan kenapa Sulis hari ini datang adalah karena dia membutuhkan jawaban. “Bentar Bu Lurah, saya panggilkan dulu anaknya,” jawab Basari gugup sambil membungkukkan badannya berulang-ulang. Tanpa menunggu jawaban, Basari langsung melesat ke belakang, ke kolam sekam padi tempat anak buahnya sedang bekerja. Tak lama kemudian, Udin dan Sulis sudah berdiri saling berhadapan dengan jarak yang berdekatan. Udin menundukkan kepalanya sebagai bentuk rasa hormat ke wanita nomor satu di desa mereka sedangkan Sulis terlihat gugup sambil meremas jemarinya sendiri. “Ada yang bisa saya bantu Buk?” tanya Udin lirih. Sulis diam tak menjawab dan hanya menatap tajam ke pemuda di depannya yang beberapa tahun lebih tua dari anaknya sendiri itu, “Dimana kita bisa ngomong berdua?” tanya Sulis dengan suara tak kalah lirih dan parau. Hampir saja, terucap kata ‘Mas’ di akhir kalimatnya tadi. Udin berjalan ke arah gudang penyimpanan beras di samping bangunan utama selepan tanpa berkata apa-apa dan Bu Lurah pun mengikutinya. Tak lama kemudian, Udin dan Sulis sudah berdiri berdekatan tapi masih sama-sama terdiam. Udin melihat ke arah selepan padi dan menarik napas lega setelah tak melihat sosok Basari. Setelah yakin situasinya aman, Udin dengan cepat mendekati Sulis dan meraih jemari tangan wanita cantik itu dan meremasnya, “Mau ngomong apa, Lis?” bisik Udin. Tubuh Sulis bergetar dan dia ingin menarik tangannya dari genggaman Udin, tapi dia menghentikan usahanya setelah Udin bersikukuh untuk tak melepaskan jemarinya. “Aku…” muka Sulis merah padam dan dia hanya bisa menundukkan kepalanya. “Napa? Cepetan, nanti keburu Kang Bas datang,” desak Udin. Sulis menarik napas panjang tapi tetap membiarkan jemarinya dalam genggaman Udin, “Aku kangen, Mas…” hanya kalimat lirih itu yang keluar dari bibir wanita cantik yang dikenal sebagai Bu Lurah di desa Banyuanteng itu. ===== Sulis kebingungan. Entah apa yang ada di pikirannya untuk sesaat tadi, tapi kini dia sudah berdiri di depan selepan padi. Dia berkali-kali berusaha menenangkan diri dan memberikan pembenaran untuk perbuatannya. “Aku butuh jawaban…” bisik Sulis berulang kali dalam hati. Lalu, saat Sulis melihat sosok pemuda kampung berkulit sawo matang yang mengenakan kaos dan celana kumal itu datang dengan keringatnya yang masih bercucuran, Sulis merasakannya. Tubuhnya gemetar, jantungnya berdebar, dan kewanitaannya bereaksi. Sulis meremas jemari tangannya. Dia mengepitkan kedua pahanya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak berlari dan memeluk pemuda kampung yang kini berdiri di depannya itu. Sulis tahu, seandainya saja laki-laki itu menyuruh Sulis untuk melucuti semua bajunya dan melayaninya layaknya seorang istri, Sulis akan melakukannya tanpa penolakan sedikit pun. “Aku miliknya,” hanya sebuah kalimat itu yang ada di kepala Sulis saat itu dan itulah jawaban yang dia cari selama beberapa hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN