Pelet, part 13

1085 Kata
“Kenapa Bu Lurah nyari kamu Din?” tanya Basari dengan nada curiga. “Eh?” Udin jelas kaget dengan pertanyaan bosnya barusan, tapi dengan cepat otak Udin mencari jawaban. “Itu lho Kang, beberapa hari lalu kan aku disuruh Bu Haji ke kecamatan, ternyata itu jemput Bu Lurah sama belanjaannya. Beliau tadi nyari karena kemarin lupa ngasih duit bensin,” jelas Udin sambil merogoh kantongnya dan menunjukkan dua lembar uang lima puluh ribuan. “Bukannya bensin masih penuh?” cecar Basari. “He he he,” Udin hanya tertawa pelan lalu mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan di tangannya ke arah Basari, “Ni Kang Bas, bagi-bagi rejeki.” Basari langsung menyambar duit di tangan Udin dan setelah itu, dia tak menyinggung soal kedatangan Bu Lurah ke selepan padi lagi. ===== “Kamu nggak punya HP, Mas?” tanya Sulis. “Nggak,” jawab Udin pendek. “Nanti aku beliin ya?” tanya Sulis lagi. “Nggak usah, nanti aku alasan apa sama orang-orang?” tanya Udin balik. “Kok gitu? Terus gimana kita bisa kontakan? Nggak mungkin kan aku ke sini terus?” kejar Sulis. “Ya jangan lah. Kalau Kang Bas curiga, panjang nanti urusannya. Ini aja nanti pasti dia nanya-nanya,” kata Udin. Sulis terlihat berpikir sebentar lalu dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari tasnya, “Nanti bilang aja kalau aku ke sini mau ngasih uang bensin buat kapan hari,” katanya. Udin terlihat ragu untuk menerima uang dari tangan Sulis. Entah kenapa, dia merasa aneh. “Udah, ini…” kata Sulis sambil memasukkan uang itu ke celana kumal Udin. Karena gerakan Sulis barusan, jelas saja tubuhnya merapat ke tubuh Udin. Dengan cepat Udin langsung meraih tubuh wanita itu dan memeluknya. Sesaat kemudian, dia mendorong tubuh Sulis ke tembok gudang dan melumat bibir mungilnya penuh nafsu. Sulis memejamkan matanya dan pasrah. Dia pasrah sepenuhnya. Bahkan jika saat ini, Udin ingin menikmati tubuh Sulis seutuhnya seperti beberapa hari lalu, Sulis tak akan menolaknya. Tapi, Udin masih waras. Tak mungkin dia menggarap Sulis di siang bolong begini, apalagi di selepan padi, kalau sampai ketahuan warga Banyuanteng, bisa geger sekampung. Karena itu, setelah puas menikmati bibir Sulis dan aroma wangi nafasnya, Udin melepaskan ciumannya. “Mulai hari ini, kamu milikku, Lis,” bisik Udin ke telinga Sulis penuh percaya diri. “Iya, Mas…” jawab Sulis lirih. ===== Malam jum’at adalah malam yang sakral bagi sebagian besar penduduk Banyuanteng. Berbagai cara dilakukan oleh mereka untuk melewati malam sakral tersebut. Ada yang menziarahi makam keluarganya, ada yang membakar kemenyan di tempat-tempat keramat di pojok desa, ada yang bernyanyi riang semalam suntuk ditemani minuman jahat bersama teman-temannya, dan tentu saja ada juga yang memberikan nafkah batin untuk pasangan mereka, entah pasangan sah atau tidak. Udin punya rutinitas sendiri untuk menghabiskan sore dan malam Jum’atnya. Sejak dulu, sejak Udin resmi menggantikan tugas sang Bapak, Udin selalu standby di area pemakaman Desa Banyuanteng setiap kamis sore. Alasannya sederhana, setiap para peziarah selesai mendoakan keluarganya, biasanya akan banyak kantong-kantong plastik yang bertebaran di area makam. Jadi tugas Udin adalah membersihkan makam setelah para peziarah pulang. Itulah rutinitas Udin. Tapi kali ini, ada yang lain dari biasanya. Matahari hampir tenggelam, seharusnya semua peziarah sudah pulang karena sebentar lagi makam Banyuanteng yang ada di pojok desa akan segera ditelan kegelapan dan hanya diterangi oleh beberapa buah lampu redup di dekat gerbang masuk sana. Tapi masih ada seorang peziarah yang ada di area makam. Udin hanya mengernyitkan dahinya tapi dia tak ambil pusing, dia tetap menjalankan tugasnya membersihkkan area makam. Hingga sebuah suara mengagetkan Udin dari belakang. “Mas…” Udin menolehkan kepalanya dan terkejut. “Kok?” tanya Udin ke arah Sulis. “Iya, aku ziarah ke makam Bapak,” jawab Sulis. “Baru kali ini ya? Kayak’e ndak pernah lihat,” kata Udin. “Nggak lah. Sering kok, paling nggak dua minggu sekali aku ziarah. Mungkin sebelumnya Mas ndak perhatiin,” kata Sulis. Emang iya juga kan? Nggak mungkin Udin memperhatikan semua pengunjung makam untuk berziarah. Tapi meskipun begitu, ini mungkin kali pertama ada peziarah hingga menjelang petang. “Sudah selesai?” tanya Udin. Sulis menganggukkan kepala sebagai jawaban. Udin juga terdiam. Setelah beberapa menit tanpa suara, Sulis bergumam lirih, “Habis ini, aku ke tempatmu ya Mas.” ===== Udin tidur terlentang. Di atasnya seorang wanita sedang kehilangan kendali tanpa selembar benang pun menutupi tubuhnya. Rambutnya panjang tergerai awut-awutan dan menambah kesan seksi. Udin sendiri masih tak percaya. Wanita cantik nomor satu di kampungnya sekarang sedang bergerak naik turun sambil mengerang keenakan di atas tubuhnya. Sebelum ini, Udin memang sudah menikmati tubuh Sulis. Tapi saat itu, Udin masih mengenakan kaosnya, Sulis juga masih mengenakan gaun panjangnya. Hanya bagian tubuh mereka yang menyatu. Sekarang, Sulis benar-benar tanpa busana. Meskipun p******a dan pantatnya tak sebesar Ida, tapi gigitan kewanitaan Sulis jauh lebih terasa. Apa mungkin karena bertahun-tahun tak disentuh suaminya? “Enak nggak Mas?” bisik Sulis parau sambil tak berhenti bergerak. “Banget…” jawab Udin. “Sama punya cewek Mas?” tanya Sulis. “Aku nggak punya cewek lah. Ngawur aja…” sergah Udin. “Nggak mungkin…” kata Sulis. “Iya…” jawab Udin lagi. “Tapi aku bukan satu-satunya wanita yang pernah Mas nikmati kan?” kejar Sulis. “Apaan sih?” kata Udin. “Enakan mana sama dia?” tanya Sulis. “Enakan kamu, Lis…” jawab Udin. “Tu kan bener… Berarti Mas sering ginian…” kata Sulis. Udin hanya meringis, dia kena jebak. Tapi kan sebelum ini, Udin hanya pernah berhubungan dengan Ida. Mana ada gadis kampung yang mau sama pemuda seperti Udin? Mungkin karena tak mau membahas hal itu lagi, Udin meraih leher Sulis lalu menariknya agar wanita itu rebah di atas tubuhnya. Dia lalu melumat bibir Sulis dan mulai menggerakkan pinggangnya ke atas. “Tu… Tunggu Mas…” kata Sulis setelah berhasil melepaskan ciuman Udin. Udin tak peduli. Dia terus bergerak cepat. Tak lama kemudian, mereka berdua terkulai lemas di atas kasur kapuk buluk milik Udin. “Mas…” bisik Sulis lirih. “Apa?” tanya Udin. “Aku tahu kalau hubungan kita ndak bakalan kemana-mana,” kata Sulis dengan nada sedih. “Aku sudah punya suami dan keluarga. Mas juga mungkin sudah punya pacar atau calon istri.” “Tapi aku mohon kita bisa tetap seperti ini selama mungkin. Sampai keadaan benar-benar tak mengijinkan lagi.” Udin diam dan hanya mendengarkan. “Mas? Mas dengerin kan kata-kataku?” tanya Sulis. “Hu um…” jawab Udin. “Janji ya Mas?” tanya Sulis lagi. “Iya. Aku janji,” jawab Udin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN