Chapter 04

2754 Kata
    Hasil dari Computed Tomography Scan yang didapatkan Abraham dari rumah sakit di mana ia memeriksakan kondisi Mars sebelum ini membuat Shin meluap-luap.Tidak, bukan hanya itu. Data itu saja tidak cukup. Shin membutuhkan lebih. Gambaran kinerja otak bocah itu sangat menarik, dan Shin takkan merasa cukup hanya dengan melihat hasilnya secara cetak. Apa lagi setelah Shin melihat bocah laki-laki itu berdiri di depannya.     Itu bukan kali pertama Shin melihat Mars. Pertama kali ia bertemu dengan si bocah saat Mars berusia tiga tahun. Itu berarti kurang lebih tiga tahun lalu. Seperti pertama kali bertemu dengannya, Shin terkagum dengan wajah sang bocah yang sangat cantik, seperti Ibunya. Bahkan meragukan jika Mars adalah bocah laki-laki. Sekarang bocah itu tumbuh besar, wajahnya masih menyerupai sang ibu, tapi Shin seperti melihat Stoner kecil dalam mata si anak. Bocah yang menarik, dan dipertemuan mereka kali ini pun Shin dikagumkan dengan hal lain dari dalam dirinya selain wajah. Yaitu otaknya.     Bocah itu ia duga mengidap Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (hiperaktif). Tapi Shin percaya, masalah Mars lebih kompleks dari itu. Seperti yang ia khawatirkan dulu, kerusakan tubuh Ailee berimbas pada kerusakan permanen di otak Mars. Tiga cairan kimia penting di otak Mars yang mempengaruhi perilaku dan pola pikirnya sangat bermasalah. Shin selalu ragu untuk memulai tindakan apa pun untuk meneliti lebih jauh tentang kasus yang dialami Mars ini, mengingat Shin tahu betul siapa ayahnya dan apa yang akan pria itu lakukan jika ia berani menjadikan anaknya sebagai kelincui percobaan di penelitiannya.. Namun, sepertinya takdir berpihak padanya. Mars ada di sana sekarang, diantarkan oleh Abraham sendiri dan akan membantu membuktikan kebenaran hipotesis yang ia miliki selama ini dan mencari pemecahan solusinya.     Pria itu berjongkok dan memasangkan helm kecil pada kepala Mars. Helm itu adalah sebuah ciptaannya —dengan mencomot beberapa penelitian ahli—, sebuah helm yang cara kerjanya seperti alat-alat tomografi yang memperlihatkan struktur dalam organ tubuh manusia tanpa merusak bagian luarnya. Tentu saja alat buatan Shin itu dilengkapi dengan banyak kemampuan lainnya.     “Apa kau siap, bocah?” tanya Shin pada Mars.       “Si-aaap!” balas si bocah, mengangguk dengan semangat.     Shin tersenyum puas sembari menepuk-nepuk kepala Mars dan menanyai bocah itu dengan berbagai macam pertanyaan yang pria itu butuhkan sebelum memulai tindakan medis yang akan dilakukan. Sedangkan tak jauh dari mereka, Ailee dan Abraham sedang menngamati dengan wajah tegang.     “Kau yakin dengan ini, Ab?” tanya Ailee setengah berbisik di sebelah Abraham yang tengah mengamati Shin dan Mars yang sedang asyik mengobrol.     “Tidak. Tapi ini satu-satunya harapanku,” jawab Abraham dengan wajah kaku.     Abraham kemudian mendekati si anak, menekuk lututnya, menyamai tinggi Mars ketika Shin memberikan hasil dari pemeriksaan singkat Mars ke salah satu asistennya dan menyingkir dari situ, memberi ruang pada Abraham untuk mengajak bicara anaknya sebelum penelitian dimulai.     “Hei, Sobat. Bagaimana perasaanmu?”     “Ayah!” ucap Mars seraya membuka kedua tangan lebar dan memeluk Ayahnya. “Aku siap ... berpetualang ...!”     “Bagus, jangan takut. Ayah dan Ibu mengawasimu tak jauh dari sini. Kami akan segera bergabung bersamamu setelah semuanya selesai, ok?” Abraham memperlihatkan senyuman lebar sambil menepuk-nepuk punggung kecil anaknya, lalu menjauhkan tubuh Mars dari pelukannya.     “Oke,” jawab Mars dengan wajah berseri-seri.     “Kami siap, Ab,” ucap Shin sembari membukakan pintu ruangan di mana Mars akan diperiksa.     “Oke,” jawab Abraham singkat kemudian mempersilakan Mars untuk mengikuti Shin, “masuklah bersama Paman Shin, Nak.”     Mars mengangguk semangat dan memasuki sebuah ruang penuh dengan bantalan yang menyelimuti seluruh dindingnya. Mars berbalik dan melambaikan kedua tangan pada kedua orang tuanya sebelum pintu benar-benar tertutup. Ailee melambaikan tangannya dengan senyum, namun wajah khawatirnya merusak senyum indah itu.     “Aku tetap di sini, Ab,” ujar Ailee begitu pintu ruang pemeriksaan tertutup rapat. “Aku akan menunggunya di sini.”     Abraham menatap mata khawatir itu dengan rasa bersalah, “Aku ada di ruang sebelah bersama Shin, jika kau membutuhkanku,” Abraham memeluk Ailee singkat dan memberinya kecupan di dahi. “Dia akan melalui ini, kita akan baik-baik saja.” Diusapnya pipi sang istri penuh kasih.     Ailee mengangguk dan mengembuskan napas panjang, “Mars akan melewati ini dan kita akan pulang ke rumah.”     “Ya,” Abraham mengecup bibir sang istri dengan lembut, kemudian menatap dalam-dalam mata wanita itu, “Tidak ada pintu yang dikunci. Tapi berjanjilah padaku jangan memasuki ruang pemeriksaan sebelum diizinkan.”     Ailee mengangguk paham dan matanya terus mengekori Abraham yang beranjak menuju ruang sebelah di mana Shin sedang mempersiapkan semuanya.     Dua ruangan yang bersebelahan itu merupakan satuan sebuah ruang, dipisahkan oleh kaca one way lebar, sehingga si kecil Mars tak bisa melihat apa atau siapa yang berada di seberang kaca. Sedangkan Shin, Abraham dan beberapa peneliti lain sedang mengamati bagaimana Mars dengan tenang menunggu apa yang dijanjikan padanya dan memainkan imajinasi dengan menekan-nekan bantalan di sekitar dinding, lalu mengamati kaca one way itu, mengiranya sebuah monitor komputer raksasa.     “Kita mulai,” ucap Shin begitu Abraham memasuki ruangan observasinya yang seperti ruang interogasi di film-film polisi Hollywood. Bedanya, tepat di bawah kaca, terdapat banyak layar komputer yang sedang memetakan tubuh Mars, terutama bagian dalam tengkoraknya.     Salah seorang peneliti yang duduk di sebelah Shin memencet sebuah tombol dan mengangkat jempolnya pada Shin. Shin mengangguk setelah mengamati lampu hijau yang menandakan mic sudah menyala.     “Mars,” panggil Shin dari mic dan suara itu sukses mengalihkan pandangan Mars menuju ke sebuah speaker di bagian pojok atas ruangannya.     “Paman ... Shin?”     “Ya, ini aku, Sobat,” ucap Shin melalui interkom, “Setelah ini, aku punya video yang berisi beberapa gambar. Aku ingin kau mengingatnya.”     “Uh … baiklah,” Mars kecil terlihat kehilangan kepercayaan dirinya.     Shin berjalan beberapa langkah, mematikan sambungan mic-nya dengan speaker di ruang Mars. kemudian mengutak-atik komputer sampai kaca di hadapan mereka menjelma menjadi sebuah layar yang menampilkan sebuah video.     “Konstelasi bintang?” tanya Abraham ketika melihat apa yang ditampikan Shin untuk Mars.     “Lihat,” Shin menunjuk salah satu komputer yang menampilkan gambar reaksi kimia otak dan tubuh Mars dalam grafis berwarna-warni.     “Ini ... menyerupai sensor panas,” ucap Abraham mengamati.     “Benar, helm buatanku tak hanya memperlihatkan 'rontgen' otak, namun juga sensor neuron yang mendeteksi kinerja dari zat kimia otak, atau kami menyebutnya neurotransmitter. Kau lihat, warna kebiruan yang sedang menyeruak itu adalah asetilkolin, zat yang membangun memori.”     “Bukankah itu ... terlalu ...” Abraham mengamati warna biru yang menyeruak seperti sebuah bunga tengah mekar.     “Ya, Ab. Anakmu terlalu cepat menangkap semua informasi, untuk sementara ini secara visual. Lihatlah bagian lobus occipital.”     “Lobus occipital, itu bagian pengolah visual, bukan?” Abraham memastikan.     “Ya. Dia mempunyai proses pengolahan visual yang unik. Kau pernah dengar Lysergic Acid Diethylamide atau LSD yang digunakan untuk kepentingan psikologi?”     “Tidak terlalu. Aku hanya tahu itu semacam n*****a. Ayolah, bagaimana kalau aku tahu semua itu dan tak perlu jauh-jauh datang kemari untuk meminta tolong padamu?”     “Tukang marah. Seperti biasa,” ucap Shin sembari mengamati Mars yang kini mendekati layar kaca dan menyentuhi gambar konstelasi bintang yang masih di putar dan memenuhi ruangannya seperti sebuah planetarium, “LSD digunakan untuk memberikan efek psikologis yang meningkatkan kemampuan berpikir, visual atau halusinasi baik dalam mata tertutup maupun terbuka, membuat objek mengalami synaesthesia atau 'memabukkan indra'. Sejatinya digunakan di dunia medis untuk mengurangi rasa sakit, stress, kecanduan alkohol, bahkan kanker.      “Bayi, balita, mememiliki daya imajinatif kuat yang mirip dengan efek LSD yang membuat mereka bisa belajar banyak hal. Dan kemampuan itu merosot tajam ketika kita semakin dewasa. Sedangkan untuk kasus Mars, dugaanku ia sama sekali tidak kehilangan itu. Ia tak perlu LSD atau yang lainnya untuk membantunya mengembangkan halusinasinya.     “Kau lihat, ia tak mengucapkan apa pun saat mengamati video itu. Ia bahkan tidak ketakutan ketika ditinggal sendiri di dalam ruang, atau bahkan sedikit pun tidak merasa tertekan. Dari situ saja, sudah bisa kusimpulkan otaknya bereaksi tak sama seperti anak-anak lain. Di akhir video nanti, aku akan mengulangi macam-macam konstelasi yang ada, aku akan minta Mars menebaknya.”     “Dan tentang bagian yang rusak itu?”     “Ya, zat radioaktif itu merusak bagian yang berwarna merah ini,  bukan mencederai, tapi merusak. Tapi, kau tahu ... susunan zat yang tidak seharusnya ini membuatku resah,” Shin menunjuk sebuah gambar di monitornya.     “Bagian ini terlalu banyak warna merahnya,” ucap Abraham getir menunjuk pada bagian kiri-kanan otak anaknya yang berbaur dengan warna lain.     “Otak merupakan pusat regulasi sebagian tindakan yang dialami, Ab. Namun, Mars yang malang, bagian alami untuk menjawab dengan verbal ... sangat-sangat lambat.”     “Rusak karena radioaktif itu?”     “Ya, sejak ia masih janin, sepertinya.”     “Waaaaahh ...!” suara menggemaskan itu membuat pandangan semua orang tertuju pada anak kecil yang sedang mengamati sekelilingnya yang penuh bintang, bergerak pelan mengitari ruangan sekitarnya.     “Ini bagian videonya. Setelah ini, baru akan mulai sesi tebak-tebakan—”     “Aries …,” celetuk si anak.     Mata Shin membelalak, ia segera menoleh pada asisten peneliti yang Abraham ingat benama Takagi, yang memutarkan video. Shin segera menunjuk pria itu. “Pause!” perintahnya dan segera dilaksanakan oleh sang asisten. Kemudian Shin berjalan mendekati layar kaca yang membatasi ruangan untuk melihat Mars lebih jelas.     “Apa kau lihat itu, Abraham?! Bukan ini yang kurencanakan, namun dia memang luar biasa!”     “Apa maksudmu?” tanya Abraham seraya menyebelahinya     “Apa kau buta atau hanya bodoh? Dia sedang berada di tengah hampir 90 konstelasi bintang, kau lihat, di tengah ratus ribuan bintang dan dia baru saja menemukan rasi Aries.”     “Itu rasi bintang yang menaungi dirinya,” gumam Abraham menatap anaknya yang kini masih mencari-cari.     “Itu ... Triangulum ...” jari Mars naik, lalu berbelok ke arah kirinya, “... Perseus ....” dan ia terdiam cukup lama sembari menunjuk-nunjuk rasi bintang lain.     “Kau lihat kembali gambarnya. Otak visualnya sudah menemukan rasi-rasi itu sejak tadi, ia berusaha mengucapkannya dengan kemampuan verbalnya yang baru merespons beberapa detik kemudian. Reaksinya terlalu lama. Astaga, ini membuat frustasi!”     “Aries itu ... paling jelas terlihat saat bulan Desember. Jika ia terus bergerak ke kiri, berikutnya adalah ....”     “Taurus,” ucap Abraham bersamaan dengan Mars yang tertawa riang. “… Orion,” ucapnya lagi beberapa detik kemudian.     Mata Abraham berbinar mendengar suara riang anaknya.     “Dia bahkan sudah mengetahuinya hampir satu menit yang lalu, tapi ia baru bisa mengucapkannya sekarang.au tahu, misal ada lalat yang hinggap di ujung jarimu, dengan kecepatan 240mph sensor sentuhmu akan mengirim info ke otak. Dan tak sampai sedetik kau sudah tahu ada lalat di jarimu. Sedangkan di kasus Mars, di bagian lobus frontal otaknya ia melihat rasi bintang itu, ia tahu namanya, namun akibat adanya di kerusakan di lobus temporal, membuatnya terlalu sulit untuk mengungkapkan ide dalam pikirannya secara verbal. Itu seperti ada di ujung lidahmu, tapi kau tidak bisa mengatakannya karena otakmu tidak bekerja dengan baik.”     “Aku paham,” ucap Abraham perih. Tangannya meraih ke kaca, melihat sang anak yang terus mengeluarkan suara ceria, Abraham tahu, Mars berjuang keras untuk melakukannya.     “Radiasi yang diakibatkan chip dalam tubuh Ailee saat ia berhenti minum obat dari Ayahnya, seperti yang sudah pernah kukatakan dulu, mengendap di tubuhnya. Kurasa itu adalah rahimnya. Saat janin Mars lahir, radiasi menggerogoti otaknya. Lihatlah, sel neuron di bagian lobus temporal-nya bahkan ... gagal bereproduksi.”     “Itu akan membuatnya tak bisa bicara sama sekali beberapa tahun ke depan,” tebak Abraham dengan hati remuk.     “Tahun depan, mungkin,” balas Shin lirih. “Maaf, Ab. Tapi masalah ini-”     “Ayah ... ini bintang Ayah ...” suara itu kembali membuat rahang Abraham menegang dan matanya terasa panas, “itu … Virgo!” ucapnya sembari terkekeh.     “Dia ... anak yang cerdas. Dan baik,” Shin menepuk pundak Abraham.     “Itu Ibu ... Capricorn ... sangat cantik,” Ailee yang berada di luar depan pintu ruang menekan headphone di telinganya. Tersenyum bangga melihat kecerdasan sang anak, namun air matanya tak terbendung. Ia mendengar percakapan Shin dan Abraham juga dari headphone-nya. Kenyataan sebentar lagi Mars akan kehilangan kemampuan berbicaranya membuat mata Ailee terasa begitu perih, jiwanya terguncang dan ingin rasanya ia menjual jiwa pada iblis demi sang anak semata wayang.     “Coba lihat ini,” ujar Shin sambil mengutak-atik komputernya.     Langit malam penuh bintang yang tadi mengelilinginya lenyap. Dengusan kesal keluar dari mulut Mars yang merah dan penuh, mengingatkan Ailee bagaimana dengusan seperti itu selalu keluar tiap hari saat suaminya terlalu malas untuk bangun pagi. Mars terlihat ingin protes, namun ia diam saja dan dengan lucunya melipat kedua tangan di atas perutnya yang buncit.     “Kau senang dengan petualanganmu di antara para bintang, Mars?” Shin mendekatkan bibirnya kembali pada mic.     “... Itu tadi keren, … Paman!” ucap Mars refleks setelah mengingat pengalamannya berada di antara bintang. Bocah itu melupakan kedongkolannya, melompat senang dan menjatuhkan pantatnya di bantalan yang melingkupi seluruh ruangan itu.     “Great. Paman akan mengetes kecerdasanmu sekarang.” Bocah itu memiringkan kepalanya ke samping sambil memainkan tangannya, “Dengan batas waktu,” dan kalimat terakhir Shin sukses membuat tubuh Mars menegang.     “Dia tahu kelemahannya adalah waktu,” gumam Shin jauh dari mic, lalu kembali mendekatkan bibirnya pada benda itu, “Aku akan memberimu kode, tugasmu hanya membacanya. Ada 3 kode, tiap sesi ada 3 menit. Kalau paham, mengangguklah, Sobat.”     Dan secepat selesainya kalimat itu, Mars menganggukkan kepalanya yakin.     “Baiklah, kita mulai.”     Shin kembali menarikan jemarinya di atas keyboard, menampilkan sebuah deretan kode, simbol, angka dan huruf dalam ruangan di mana Mars berada.     “Ini terlalu cepat untuk anak seusianya, bukan Shin?” protes Abraham.     “Lihat, lihat,” Shin menunjuk Mars. Anak itu terlihat was-was. Ia menoleh ke kiri dan kanannya setelah ia membaca kode itu.     “Tunggu dulu ... kode itu ....”     “Ya, kode yang pernah kaupecahkan dulu saat kau membobol keamanan salah satu bank di London.”     “Saat Cahaya berpendar, malaikat kematian akan menebas.”     “Ya, sekarang Mars akan sangat sensitif terhadap cahaya,” Shin menganggukkan kepala pada gadis yang mengoperasian komputer di sebelahnya. Gadis itu menyalakan sebuah lampu senter tepat di depan Mars.     Melihat cahaya itu, Mars segera melompat mundur, mata hijau terangnya berkaca-kaca, tapi mulutnya tertutup rapat.     “Dia memecahkan kode itu kurang dari satu menit. b******k. Dia seorang jenius, Ab!” ucap Shin dengan wajah berseri-seri.     “Suatu kali jika Mars diculik, kau masuk list penculiknya. Hentikan ini semua, Shin.”     “Belum, belum. Aku masih belum mendapatkan semua yang kubutuhkan,” Shin mengarahkan lampu itu untuk mengejar Mars. Bocah itu dengan lucunya berlari menjauhi cahaya yang berpendar mengejarnya.     “Whoaaaaa ...!” teriak si bocah sembari berlarian menghindari cahaya.      Shin menyalakan lagi lampu yang lain yang juga mengejar Mars. Semakin banyak lampu yang dinyalakan, mengejar dan memojokkan Mars yang merunduk di pojok ruangan dan memeluk kepalanya.     "Hei, Shin! Sudah cukup main-mainnya!"     Pats.     Cahaya memenuhi ruangan hingga warna putih yang menyilaukan mendominasi pandangan Mars. Bocah itu sontak menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan meringkuk di pojok ruangan.     “Kau hebat, Mars,” ujar Shin dari interkom terdengar puas bahkan sedang bertepuk tangan, “Bersiap untuk kode yang kedua,” ucap Shin mengabaikan Mars kecil yang terengah-engah.     Setelah ucapan Shin, layar itu kembali kosong, putih. Detik berikutnya, muncul deretan kode acak yang kedua.     Beberapa menit kemudian, mata hijau emerald Mars membelalak, mencerna kode itu. Tubuhnya menggigil, “A ... Ayah ... Ayah …!” seru Mars parau. Bocah itu terlihat putus asa, menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sesuatu, kemudian berjalan berkeliling sambil meraba-raba dinding.     “Mars?” Abraham memegangi kaca, menatap anaknya yang berjalan ragu-ragu ke arahnya. Sinar putih dari dalam ruang membuat deret kode yang sedang ditampilkan tak nampak di hadapan Abraham, “Apa arti kodenya, Shin?” Shin mendekatkan diri pada mic, “Ucapkan mantranya, Mars.”     Mars membeku, tubuhnya menegang, matanya bergetar dan bibirnya berkomat kamit, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.     “Katakan padaku apa yang dibaca Mars, b*****h!!” Abraham kehilangan kesabarannya dan menarik kerah baju Shin yang terus mengamati Mars.     Blam.     Lampu di ruangan penelitian itu mati. Terdengar suara napas si bocah terkesiap. Kemudian muncul lagi sebuah kode di layar. Mata Mars menyesuaikan diri dengan kegelapan sekitar, kemudian membaca tulisan berwarna putih itu.     Sedetik, dua detik. Beberapa detik berlalu.     “I ... Ibu ... Ibu ....” Mars mulai menangis. Bocah itu menangis dengan keras dan menjambak rambutnya. Tanpa ragu lagi, Mars berlari menuju pintu ruang itu dengan putus asa.     Ailee yang sudah mencapai batasnya, tak bisa lagi menepati janjinya pada Abraham untuk tidak membuka pintu sebelum sesi ini berakhir. Ailee membuka pintu itu lebar dan menekuk lututnya untuk meraup tubuh Mars yang gemetaran hebat.     “Shh, Shh. Ibu di sini, Sayang. Sudah tidak apa-apa. Ibu di sini. Semuanya akan baik-baik saja,” ucap Ailee lembut sambil mengusap-usap rambut Mars.     “Jangan ... Ibu ... Ibuku …,” kedua tangan Mars meraih-raih tubuh Ailee, seakan bocah itu ingin memastikan bahwa Ailee masih di sana dan benar-benar memeluknya. “Maafkan aku … Ibu … maaf,” racau si bocah dalam tangisannya.     Ailee mengerutkan alisnya dan menatap ke arah pintu ruang di mana para peneliti dan suaminya berada. Apa kiranya yang ditunjukkan Shin hingga Mars menjadi seperti ini? Abraham bersicepat membuka pintu dan mendatangi Mars dan Ailee. Ia merengkuh kedua tubuh itu dalam pelukannya dan memeluknya erat.     “Apa yang terjadi, Ab?” bisik Ailee padanya.     “Ayah ... Ibu ...,” gumam Mars di tengah tangisannya. Ailee merangkulnya dengan lembut, mengusap-usap kepalanya sambil menciumi kening Mars beberapa kali dan berkata semuanya baik-baik saja hingga bocah laki-laki itu sedikit menenang. Sementara itu, Abraham tidak menjawab apa pun.     Begitu ia merasa Mars sudah menjadi lebih tenang dan bersedia tidur dalam dekapan sang ibu, Abraham melepaskan pelukannya dan berdiri dengan mengamati wajah Ailee yang seperti ingin menangis. Otot rahangnya berkedut keras, tangannya terkepal hingga buku jarinya memutih.     “Shin?”     Shin berada di belakang punggung Abraham, mengamati momen keluarga itu dengan pandangan pilu. Ia mengangkat wajahnya untuk menatap punggung sahabatnya itu tanpa mampu mengatakan apa pun, bahkan hanya untuk menjawab panggilannya.     “Aku akan lakukan idemu.”     “Tapi, Abraham, itu bahkan tidak bisa dikatakan alternatif. Kau tahu efeknya-”     “Aku akan melakukan sesuatu untuk menangani efek itu,” Abraham merendahkan suaranya, “siapkan saja … semuanya.”     Shin mengeratkan pegangannya pada dokumen-dokumen yang sedang ia bawa. Cukup lama ia tidak bisa memberikan respons untuk ucapan pria itu. Siapkan semuanya, pinta Abraham. Shin tahu betul, kata-kata itu ia ucapkan untuk dirinya sendiri. Apa yang ia tawarkan bukanlah sesuatu yang biasa akan ditawarkan para dokter. Abraham benar-benar akan menjual kembali jiwanya pada setan untuk mencoba menyelamatkan anak tunggalnya itu. Shin tahu, ia akan membantu kegilaan yang akan dilakukan pria itu.     “Welcome back, Stoner,” ucap Shin ragu. Pria itu tersenyum lemah, mengembuskan napas terpanjang dan terberat dalam hidupnya setelah membangunkan monster telah lama tertidur.[]  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN