“Katakan dengan jelas, Shin!” pinta Ailee.
Mars dan Ailee sudah kembali ke kamar hotel setelah semua pemeriksaan yang dibutuhkan Shin telah ia rasa cukup untuk hari itu.
“Mars bermasalah dengan asam gamma aminobutirat. Zat itu seharusnya membatasi transmisi neuron yang berlebihan agar kita tidak terus berpikir keras hingga kepala kita meledak, karena itu akan merusak sel neuron kita. Nah, Mars hampir tidak memiliki zat itu. Kau lihat tadi, ia bahkan terus berpikir keras, memecahkan kode, mengingat konstelasi, berusaha mengatakan sesuatu dengan tepat. Aku sempat khawatir dia merusak dirinya sendiri sampai ia berhenti berpikir saat kau melakukannya.”
“Melakukan apa, tepatnya, Dokter?” tanya Ailee.
Wajah cantik wanita itu memucat ketika harus mendengar penjelasan Shin yang sudah dijabarkan berulang-ulang supaya Ailee paham. Meski pada akhirnya, Ailee masih saja tetap tidak memahami istilah-istilah yang digunakan Shin untuk menjelaskan keadaan sang buah hati. Ailee tidak pernah berkuliah. Jika ia berniat masuk ke universitas pun, program studi yang akan ia ambil jelas yang berhubungan dengan musik atau seni. Ailee juga sama sekali bukan murid yang memiliki nilai luar biasa di masa SMA-nya. Ia kadang bahkan sering minder karena ia tidak bisa mengerti apa yang sedang Sebastian, Abraham, atau bahkan Mars bicarakan. Shin juga, mengingat situasi mereka saat ini.Para jenius seperti mereka tidak akan mengerti penderitaannya memiliki otak yang biasa saja.
“Oke, melakukan itu adalah saat kau memeluknya," jawab Shin dengan menghela napas panjang dan mengamati mata Ailee dalam-dalam, memastikan wanita di depannya itu mengikuti apa yang sedang dibicarakannya.
"Memeluk Mars. Oke. Kenapa?"
"Saat kau memeluk Mars, seluruh sarafnya menenang, berhenti berpikir. Sistem limbiknya ... errr ... kau bisa bayangkan itu adalah suatu tempat di kepalanya, kotak pandora yang berisi semua emosi. Ketika kau memeluknya, sistem sarafnya menjadi rileks, sistem limbiknya bekerja, dengan artian bagus. Maksudku, secara tidak langsung, bisa dibilang alam bawah sadarnya dapat dikendalikan olehmu, Ailee. Ketika kau memeluknya, kotak pandora itu berhenti mengeluarkan bisikan-bisikan setan dan tidur lelap. Itu akan mengurangi ... atau bahkan menghentikan rasa sakit, tegang atau perilaku negatif lainnya. Kau, adalah obat yang dibutuhkan Mars saat ini.”
“Begitu ....”
Ailee menunduk, merasa terlalu banyak hal yang harus ia cerna di dalam kepalanya yang kini tiba-tiba terasa berat. Ia melemparkan pandangan pada si anak yang kini sedang terlelap, terlihat sangat kelelahan. Tanpa ia sadari, dirinya yang terlalu tegang, pun tidak membiarkan tubuhnya beristirahat. Ailee menyandarkan punggung di sofa empuk tempatnya duduk, sedangkan Shin duduk di kursi tak jauh darinya. Shin menatap mereka berdua, kemudian menggeleng kecil dan berdiri dari tempatnya duduk.
“Kau juga kelelahan, Ailee. Sebaiknya kau beristirahat.”
“Apakah kau sedang sibuk, Shin? Jelas. Kau pasti sibuk.”
“Kenapa kau bertanya?”
“Bisakah kau …” Ailee menelan ludahnya dan menatap Shin sambil melempar senyum, “Bisakah kau berhenti berpura-pura dan katakan saja, apa yang sedang kau dan Abraham rencakan?”
Shin tertawa kecil mendengar Ailee mengatakannya. Mana mungkin aku bisa mengatakannya padamu, Manis? Pria itu mengacuhkan pertanyaan Ailee dan menatap keluar jendela. Matanya menerawang jauh dan tersenyum setelah melihat citra yang hanya dilihat olehnya.
“Apa kau pernah dengar human bonding, Ailee?” ucap Shin lagi.
“Kenapa kau menanyakannya?”
Shin melihat wajah polos Ailee yang cantik. Wanita itu terlihat terlalu lelah untuk menerima penjelasan secara ilmiah. Jadi, ia putuskan untuk menjelaskan seperti sedang bicara dengan anak kecil berusia lima tahun yang bodoh.
“Ketika seorang wanita melahirkan anaknya, akan terjadi reaksi kimia yang saling tarik menarik dalam proses alamiah itu. Karena itu, setiap setelah bayi dilahirkan, mereka akan ditidurkan di d**a ibunya dan mengupayakan agar sang ibu segera menyusui Si jabang bayi. Karena pada saat itu akan ada zat-zat kimia yang bekerja, sesuatu yang membuat kalian, para wanita dan anak-anak mereka, merasa saling terikat. Oh, tentu Ayah juga. Di urutan kesekian setelah ibu. Ikatan yang tidak terlihat, namun terasa begitu kuat sampai rasanya mencekik itu, disebut human bonding.”
Ailee diam, membiarkan pria itu meracau dalam lamunannya. Sedangkan Shin, kembali duduk dan kembali bicara setelah diam cukup lama untuk memikirkan kata-kata yang tepat.
“Sedangkan di kasus Abraham … dia tidak pernah merasa memiliki sesuatu seperti itu sebelum ini. Dia meninggalkan keluarga yang tidak mencintainya sejak ia kecil, lalu mempelajari kehidupan dari dunia maya yang tak bisa ia sentuh. Kemudian jatuh cinta pada seorang dewi tercantik di dunia maya yang hanya bisa ia kagumi dari jauh. Abraham hampir tidak memiliki human bonding dengan siapa pun. Tidak pernah merasa terikat dengan siapa pun, bahkan aku atau Zac, jika kau bertanya-tanya. Well, kami memang teman, sahabat, mungkin. Tapi tidak memiliki hubungan seperti itu. Setidaknya, Stoner tidak pernah merasa memiliki human bonding dengan kami.”
“Aku bisa mengingatnya,” ucap Ailee sambil menutup mata dan membiarkan kepalanya menengadah di sandaran sofa. “Dia terlihat seperti ikan paus yang paling kesepian di muka bumi ini saat aku pertama bertemu dengannya.”
“Dikatakan oleh seseorang yang ditembak olehnya di pertemuan pertama mereka.”
Ailee tertawa, menggeleng tak percaya saat mengingat semua yang telah dilaluinya bersama Abraham. Atau Stoner. Jika dipikir lagi, dua kepribadian itu mungkin mirip, tapi terasa begitu berbeda.
“Kau dan Mars, adalah orang beruntung yang melakukan ikatan dengan dirinya. Human bonding pertama yang terjalin dengan begitu kuat selayaknya sang ibu dan si jabang bayinya. Hubungan yang selama ini tidak pernah ia rasakan, hingga ia tidak tahu konsekuensi atas hubungan itu.”
Setelah tersenyum canggung, karena harus menjelaskan seperti itu, Shin memunguti kembali kertas-kertas yang berserakan setelah Ailee membaca laporan itu, dan membuangnya begitu saja karena ia tidak bisa memahami isinya.
"Konsekuensi dari hubungan kami?"
"Ya. Konsekuensi. Selain kau, Stoner hampir tidak pernah merasa harus menempuh bahaya untuk melindungi sesuatu. Ia tidak pernah merasa khawatir jika seseorang melukai seseorang yang ia anggap sangat berharga, lebih dari dirinya sendiri, karena memiliki ikatan itu. Dan saat ia merasakannya untuk yang pertama kali, ia akan menukar nyawanya untuk melindungi orang-orang yang lebih berharga darinya. Lebih dari siapa pun, karena ia pernah merasa terbuang dan tidak diinginkan oleh siapa pun di muka bumi ini, Ailee."
Ailee terdiam, memandang Shin yang selesai memunguti dokumen-dokumen itu dan duduk kembali ke kursi untuk merapikannya dan meletakkan tumpukan kertas-kertas itu di atas meja.
"Aku mengerti."
"Baguslah."
"Dan itu membuatku heran, kenapa kau tidak mengerti."
Shin membulatkan mata dan menatap Ailee dengan kedua alis terangkat, "Tidak mengerti tentang apa?"
Ailee tertawa kecil, kemudian menggeleng, "Shin, aku dan Mars, mungkin memang memiliki human bonding yang kuat dengan Abraham. Tapi Stoner? Ikatan pertama yang ia rasakan bersama manusia adalah kalian berdua. Ia mengerti perasaan itu, tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi konsekuensinya ... karena ia belajar dari kalian. Saudara-saudaranya. Jangan kau bilang kalian bertiga tidak memiliki ikatan itu. Stoner melakukan apa pun yang ia bisa untuk tetap tinggal bersama kalian. Aku bisa melihatnya. Aku pernah tinggal bersama kalian."
Ailee mengusap punggung tangan Shin dan tersenyum lembut, "Terima kasih telah menjaganya dengan baik, Shin."
Shin mengedipkan matanya beberapa kali dengan cepat. Mulutnya terbuka, kemudian tertutup, menggeleng kecil kemudian tersenyum.
"Mungkin kau benar."
"Tentu saja aku benar," balas Ailee dengan penuh rasa percaya diri.
Shin menatap wanita itu dan anaknya untuk ke sekian kalinya. Kali ini dengan pandangan teduh yang tenang.
“Ailee, dengar. Aku bukan seseorang yang layak mengatakan ini padamu, tapi … percayalah padanya, oke? Dia akan melakukan segala yang ia mampu untuk menjaga kalian berdua.”
Ailee tersenyum melihat wajah sok keren Shin saat mengatakan kalimat terakhir, “Terima kasih, Shin. Aku sangat menghargainya.”
“Bukan masalah. Aku juga sangat senang mendapat kehormatan untuk meneliti Mars. Dia unik. Kau tahu, bagi seorang peneliti sepertiku, anak itu seperti ... win-win,” ucap Shin yang mengamati si anak.
Ailee mengangguk lalu tiba-tiba rasa resah menjalarinya, “Shin?” Tanpa menjawab, pria itu menoleh pada Ailee, “Aku paham, kau sedang memintaku untuk diam dan menunggu Abraham untuk melakukan apa pun yang ia mampu untuk menolong Mars. Tapi … apakah Abraham akan baik-baik saja? Abraham tidak terlihat seperti dirinya yang biasanya saat memintaku menunggu. Aku memercayainya, tentu. Aku hanya-”
“Mengkhawatirkan dirinya karena kau sangat mencintai pria itu,” Shin tersenyum dan mengangguk, “Aku mengerti. Karena itu, sementara dia menjaga kalian, akulah yang akan menjaganya.”
Itu bukan jawaban yang diinginkan Ailee. Namun, wanita itu tak memiliki kata lain untuk diucapkan. Shin beranjak dari kursinya sambil menepuk pundak Ailee. “Istirahatlah, Ailee. Kau terlalu lelah. Sebaiknya kau lebih sering tidur memeluk anakmu yang lucu itu. Dia membutuhkannya,” ucap Shin tanpa menunggu reaksi Ailee, ia beranjak keluar dari kamar hotel itu.
“Aku memercayainya. Selalu,” bisik Ailee pada dirinya sendiri.
***
Shin berjalan menuju lift. Ia takkan menuju lab hari ini. Rasanya sudah terlalu lelah mempersiapkan banyak hal di bawah sana. Setelah ia diam beberapa detik di dalam kotak besi itu, Shin akhirnya menekan satu tombol. Tombol yang akan membawanya ke atas. Lantai teratas di gedung itu, yang tak lain adalah salah satu ruang khusus untuk keluarganya. Untuk pergi ke lantai itu pun, Shin harus men-scanning kartu identitasnya di scanner di atas tombol-tombol lift itu.
Istrinya, Hinano Nakagawa, adalah anak seorang yakuza yang menguasai bisnis gelap seluruh bagian Akihabara. Hinano sendiri memiliki tugas mengatur bisnis malam kota, terutama di bidang perhotelan. Tentu bukan hanya hotel bintang lima yang mewah seperti yang sekarang ia tempati. Hotel yang dikelola oleh Hinano juga meliputi love hotel yang tersebar ke berbagai penjuru Akihabara, termasuk mengelola 'aset' di dalamnya.
Hotel di mana ia mendirikan laboratorium ini adalah hotel bintang empat yang menjadikan para wisatawan sebagai tempat yang sangat direkomendasikan untuk mengingap, karena selain harga inapnya lebih murah dari hotel bintang empat lainnya, tempat ini juga sangat dekat dengan spot-spot wisata di Akihabara.Hotel yang tepat untuk menjadi salah satu bisnis sampingan untuk menutupi bisnis utama keluarganya. Hinano menyebutnya 'bermain bersih'. Ya, wanita itu adalah wanita baik-baik yang sebenarnya membutuhkan tempat yang tenang untuk melewati hari-hari. Sayang, keputusannya menikah dengan Shin merusak semua rencana 'bersih' yang sudah ia rancang.
Mereka saling mencintai, tentu. Hanya masalah perbedaan kecil dalam cara mendidik anak membuat Shin harus merindukan keluarganya yang tinggal berbeda atap dengannya. Hinano memilih untuk membesarkan Kojiro, anak sulungnya, dan adiknya, Yuri, anak gadis yang paling cantik sejagat rayanya itu, dengan sang kakek, di rumah para Yakuza. Bahkan Shin tak tahu mana yang lebih baik, sikap bebasnya atau sikap kriminal para yakuza itu dalam mendidik anak, hingga Hinano lebih memilih tinggal bersama mereka alih-alih dirinya.
Saat ia sampai lantai teratas, di lantai itu hanya ada satu pintu. Ruangannya yang kini sedang digunakan Abraham dalam sosok yang dikira Shin sudah mati, jauh beberapa tahun itu, sedang menghadap lima layar komputer sekaligus, dan di mejanya dipenuhi berbagai macam alat-alat canggih yang akan digunakannya untuk membuat sesuatu yang gila.
Shin dengan bijaksana memutuskan untuk tidak mengganggunya, atau lebih tepatnya ia masih ingin menikmati nuansa melankolis dirinya yang sedang merindukan Kojiro dan Yuri. Tentu Hinano juga. Wanita yang membuatnya gila setengah mati. Ini semua adalah salah Abraham yang tidak henti-hentinya memerkan rumah tangga mereka yang harmonis dengan seorang anak laki-laki tampan, menggemaskan dan luar biasa cerdas.
'Tidak bisakah kau bersikap normal untuk sehari saja, Shin? Dengan begitu, Hinano mungkin akan berhenti menganggapmu gila dan mengizinkanmu pulang ke rumah.'
Ucapan Abraham itu menghantui Shin yang meneruskan perjalanannya menaiki tangga menuju rooftop. Merokok sambil menatap matahari terbenam dan lampu-lampu di seluruh kota akan menyala seperti sebuah pertunjukan yang tak disadari banyak orang, akan menghiburnya.
Ketika Shin membuka pintu rooftop, ia sedang menyelipkan sebatang Marlboro di bibir dan menyalakan ujungnya. Langit terbentang luas, kemerahan seperti sedang terluka. Membuatnya mengingat bagaimana bagian otak Mars gagal bekerja. Otot bawah matanya berkedut mengingat itu. Mars anak yang sangat baik dan lucu, meski memiliki kekurangan yang sangat merepotkan.
“Kau seharusnya ingat umurmu, Shin,” ucap seorang wanita.
Shin membelalakkan matanya. Ia sama sekali tak menyadari ada orang lain di sana.
“Wang?”
Rambut wanita itu pendek. Ia duduk di atas rooftop, di atas Shin membuka pintu. Tak ada yang berubah dari wanita itu, kulitnya selalu pucat dan bibirnya selalu semerah itu. Matanya yang gelap kini membiaskan cahaya matahari yang kembali ke kaki langit, merah seperti sedang terluka.
“Stoner kemari, dan ia mengundang teman lamanya.”
Shin menghela napas panjang seperti sudah menduga kedatangan Wang hanya berarti akan ada kabar buruk yang harus wanita itu beritakan, “Siapa teman tak diundangnya itu?”
“Mantan teman baik Stoner,” jawab Wang dingin.
“b******k, kau serius? Apa yang diinginkan CIA kemari?”
“Mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang sedang kalian kerjakan,” Wanita itu menggertakkan giginya. “Aku tak punya informasi sama sekali tentang ini, sialan. Tapi aku punya firasat ini tentang apa yang sedang dibuat Abraham untuk Mars.”
Shin mengembuskan asap rokoknya menembus lubang hidung dan bibirnya, “Bagaimana mereka bisa mendengar semuanya itu dan datang kemari, astaga. Di mana mereka?”
“No clue. Aku bahkan tak tahu yang mana mereka.”
“Kau mengalami kemunduran atau CIA yang semakin pintar.”
“Mereka menyamai cara Stoner menyembunyikan diri. Aku hanya tahu mereka memakai name code seperti yang Stoner biasa lakukan.”
“Namanya?”
“Azrael.”
“Kita tangani ini sendiri. Jangan beritahu Stoner.”
Wang tak menjawab dan hanya melihat pandangan mata khawatir Shin. Ya, pria itu selalu berusaha melindungi Stoner seperti ia tak memiliki siapa pun lagi. Wang tahu, Shin memiliki Hinano dan keluarganya untuk dirindukan. Mungkin Ailee benar. Tanpa disadarinya, pria itu telah memiliki ikatan aneh dengan Stoner yang membuatnya bersedia menukar nyawa untuk melindungi rekanannya itu. Selalu begitu. Atau itu adalah rasa bersalah karena telah membawa sang Pangeran keluar dari kastelnya dan memaksanya berubah menjadi monster dengan kedua tangannya sendiri? Apa pun itu, yang jelas perasaan yang tengaj ia rasakan saat itu yang membuat Shin menderita sendirian selama bertahun-tahun.
***
Selama hampir seminggu Shin menggantikan peran Abraham ketika Mars menanyakan keberadaan sang Ayah yang sedang tidak dapat diganggu. Sesekali Hinano datang untuk menjenguk Mars bersama seorang anak laki-lakinya, Kojiro si anak sulung yang memiliki wajah yang sangat mirip Shin. Kojiro berusia dua tahun lebih tua daripada Mars. Bocah bermata kelabu tajam miliknya dengan setia menemani Mars yang sangat tidak berambisi dalam berinteraksi. Di sisi lain, Ailee selalu memperlihatkan senyum pada semua orang, membuat orang berhenti mengkhawatirkannya, meski dalam hatinya penuh kekhawatiran tentang apa yang sedang suaminya lakukan dan bagaimana kabarnya hari itu.
Apa ia sudah makan? Apa ia cukup tidur? Apa yang dilakukannya sekarang?
Shin melarang siapa pun untuk masuk ke ruang kerja Abraham, termasuk Ailee sendiri. Ia tahu sikap itu diambil untuk melindungi Abraham, yang berarti ada sesuatu yang mengancamnya. Dan ide itu selalu mengganggu ketenangan Ailee.
“Kojiro, jangan merebut mainan Mars seperti itu! Kau akan membuatnya menangis,” ucap Hinano dengan bahasa Jepang.
Ailee tak bisa bahasa Jepang, namun ia bisa memahami situasinya dan mengamati Kojiro yang mencoba mengambil mainan dinosaurus dari tangan Mars.
“Dia takkan menangis, Bu!” balas Kojiro, “He can not cry,” tambah bocah berwajah dingin itu lagi sambil dengan jahatnya mengambil mainan Mars dari tangan bocah yang kini menjadi pendiam itu.
Seperti yang Kojiro katakan, Mars hanya melihat tangan Kojiro yang berhasil merebut mainannya. Kemudian ia melihat mainan lain dan pergi menjauhi orang-orang untuk bermain sendiri dengan buku-bukunya. Mars tahu Kojiro tidak akan merebut buku, Kojiro tidak suka membaca seperti dirinya, jadi bersama buku akan membuat hidupnya lebih tenang dari gangguan Kojiro.
Hinano terdiam dan mengamati mainan dinosaurus yang diberikan oleh Mars pada Kojiro. Kojiro tidak tertarik dengan dinosaurus itu, meletakkannya sembarangan di lantai. Anak itu tidak benar-benar ingin memainkannya. Hinano tahu, anaknya itu bermaksud membuat Mars marah atau kesal, namun gagal. Mars selalu tersenyum dan sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan meski Mars pergi menjauhinya pun, Kojiro memunguti mainannya dan meletakkannya kembali ke tempat yang tak jauh dari di mana Mars sedang asyik membaca. Itu membuat pemandangan yang sangat lucu, hingga Ailee dan Hinano harus sekuat tenaga menahan tawa agar mereka berdua tidak marah karena sudah ditertawakan.
“Kojiro kelas berapa, Hinano?” tanya Ailee yang duduk menyebelahi Hinano.
“Ah, tahun ini kelas 3 SD. Bukankah mereka selisih 2 tahun? Mars kelas 1, benar? Dia pasti punya banyak teman.”
Ailee tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Abraham tidak menyekolahkannya di sekolah formal. Ia home schoolling.”
Hinano tersenyum sedih dan menatap Mars, “Tuhan memilihnya untuk mendapat berkah unik itu.” Wanita itu mengalihkan pandangan pada Ailee, “Mars anak yang cerdas dan kuat, Ailee. Ia pasti bisa melewati ini dengan baik.”
“Terima kasih, Hinano.”
Sejujurnya, aku sudah siap menerima apa pun yang akan terjadi pada anakku. Dia akan selalu menjadi anakku, lanjut Ailee dalam hati.
“Mars!”
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Shin muncul dari baliknya. Napasnya tercekat menatap Hinano yang terkaget melihat kemunculannya yang tak diduga-duga.
“Ayah,” sapa Kojiro dengan tidak bersemangat.
“Oh? Hai, Kojiro. Ehm.”
Dengan canggung Shin masuk dan menepuk-nepuk kepala Kojiro. Anak itu terlihat tak nyaman dengan perlakuan Ayahnya. Kojiro kecil merengutkan dahinya dan cemberut, kemudian menjauhkan tangan sang Ayah sambil menggerutu minta dilepaskan. Shin yang terlihat gemas dengan reaksi Kojiro, malah semakin mempermainkannya.
Ailee menatap Mars yang mengamati Shin dan Kojiro dengan pandangan yang terlihat ... iri? Sesuatu yang kuat terasa meremas hati Ailee hingga terasa begitu sakit saat ia melihat Mars memelas dalam benaknya sendiri.
Demi Tuhan, Abraham. Apa yang sedang kaulakukan? Mars merindukanmu.
“Mars,” ucap Shin setelah perhatiannya kini tertuju pada Mars, “alatnya sudah siap. Kita akan bertemu dengan Ayahmu hari ini.”
“Bertemu … Ayah!” Mars langsung saja berdiri dan berlari ke arah Ailee, menarik-narik lengan ibunya untuk segera bergegas menemui ayahnya yang sudah menunggu mereka.
Ailee membimbing Mars untuk berjalan bergandengan dengannya. Wanita itu diam, menurut saja saat Shin memimpin jalan bagi mereka menuju Abraham. Namun, ada satu hal yang membuat Ailee merasakan sesuatu yang tidak mengenakan hati.
Alatnya sudah siap, katanya? Alat apa?[]