Falisa duduk gelisah di sebuah ruangan, kedua kakinya terus bergerak dengan mulut yang sesekali mengeluarkan suara decakan, hingga apa yang dilakukannya itu menarik atensi Yuuya yang sedang duduk di sampingnya. Yuuya yang sedang menatap layar ponsel, kini memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku celana, dia meraih tangan Falisa yang terasa dingin dalam genggamannya dan mengecup punggung tangannya dengan lembut.
“Fal, kenapa gelisah sekali sejak tadi aku perhatikan?”
Falisa meringis merasa pacarnya itu sangat tidak peka padahal sejak tadi dia menceritakan permasalahan yang sedang dia hadapi.
“Aku rasa tidak mungkin diterima bekerja di perusahaan ini.”
Yuuya terkekeh. “Hanya karena masalah tadi kau berpikir begitu?”
“Hanya karena masalah itu kau bilang? Yuuya, itu masalah besar. Aku baru saja mencari gara-gara dengan CEO perusahaan ini. Dia pasti tidak akan meloloskan aku pada sesi interview barusan.”
Falisa terus menggelengkan kepala jika mengingat insiden yang terjadi di pantry di mana dia menumpahkan teh pada jas mahal seorang pria, dan sialnya pria tersebut merupakan CEO di perusahaan tempatnya melamar pekerjaan. Jika boleh jujur rasanya Falisa ingin pergi dari perusahaan itu sekarang juga karena dia sudah yakin mustahil akan diterima sebagai karyawan setelah dia memiliki masalah seperti itu dengan sang CEO.
Bukan hanya kekehan yang meluncur dari mulut Yuuya, tapi kali ini dia tertawa cukup lantang mengabaikan keadaan di ruangan itu yang cukup sepi, dia hanya merasa kekasihnya sangat lucu. Panik sampai seperti itu hanya karena masalah sepele.
“Isshh, aku sedang serius, kau malah tertawa,” gerutu Falisa yang tak suka kepanikan yang dia rasakan dianggap lelucon oleh pria itu.
“Kau ini lucu sekali, itu hanya masalah sepele. Hanya kesalahan kecil yang tidak disengaja.”
“Tapi aku sudah menumpahkan teh panas ke jas mahalnya, dan aku mendengar dia menggerutu karena akan ada meeting penting. Wajahnya juga terlihat sekali dia sangat marah karena aku mengotori jasnya. Aku yakin dia tidak akan menerimaku bekerja di perusahaan ini.”
“Itu tidak mungkin. Pak Juan bukan orang berpikiran sesempit itu. Lagi pula, yang menentukan kau diterima atau tidak di perusahaan ini adalah pihak HRD yang baru saja melakukan interview padamu.”
Falisa sedikit lega setelah mendengar ucapan Yuuya, meski hatinya masih tak yakin. “Tapi tadi pihak HRD mengatakan akan memberiku kabar lagi, mereka tidak langsung menerimaku. Padahal aku pikir karena kau yang merekomendasikanku maka aku akan langsung diterima begitu interview selesai.”
Yuuya menggelengkan kepala dengan mulut yang kembali mengeluarkan suara kekehan, betapa polos gadis itu walau ini wajar karena Falisa belum pernah bekerja di perusahaan mana pun, ini merupakan pengalamannya yang pertama kali. “Memang seperti itu prosedurnya. Jangan khawatir, besok atau lusa mereka pasti akan menghubungimu lagi untuk memberitahu kapan kau bisa mulai bekerja di perusahaan ini.”
“Kenapa bisa kau seyakin itu?”
Yuuya yang gemas dengan kecemasan sang pacar yang berlebihan, menyentil pelan ujung hidung Falisa. “Tentu saja aku yakin kau akan diterima selama kau mengatakan seperti yang aku ajarkan padamu saat sesi interview tadi.”
Dengan antusias Falisa mengangguk-anggukan kepala. “Iya, tadi aku mengatakan seperti yang kau ajarkan.”
Yuuya pun mengangkat ibu jari. “Bagus, berarti sudah dipastikan kau akan lulus dan tidak lama lagi akan mendapat kabar baik dari pihak HRD.”
Yuuya tiba-tiba bangkit berdiri seraya menarik tangan Falisa yang masih dia genggam. “Daripada kita tidak ada kegiatan di sini, lebih baik kita makan ke kantin perusahaan. Di sana makanannya sangat lezat. Kau pasti menyukainya.”
“Memangnya tidak apa-apa aku ikut makan di sana?”
Yuuya mendengus, begitu banyak hal yang dicemaskan Falisa dan menurutnya itu sangat lucu, berada di dekat Falisa yang polos memang selalu membuatnya ingin tertawa sekaligus nyaman. “Tentu saja tidak apa-apa. Yuk, ke sana.”
Falisa tak memiliki pilihan selain mengikuti langkah Yuuya yang sangat bersemangat mengajaknya pergi ke kantin. Dalam hati, Falisa sebisa mungkin mengenyahkan semua pikiran negatifnya dan meyakinkan diri sendiri semuanya pasti baik-baik saja. Seperti yang dikatakan Yuuya tadi, insiden kecelakaan yang terjadi di pantry dengan sang CEO tak akan menimbulkan masalah apa pun untuknya. Ya, semoga saja.
***
Falisa tidak henti menatap takjub begitu tiba di kantin. Kantin itu sangat luas dan begitu tertata rapi. Ada banyak meja dan kursi yang disediakan untuk para karyawan yang ingin menyantap makanan di tempat. Karena ini jam istirahat makan siang sehingga kantin tampak penuh, tapi karena tempatnya yang luas dan terdapat banyak kursi dan meja sehingga tak sulit menemukan meja yang kosong.
Falisa dan Yuuya kini sudah menempati salah satu meja. Melihat raut wajah takjub Falisa serta gadis itu yang terus menggulirkan mata menatap sekeliling, Yuuya hanya menggelengkan kepala, sangat memaklumi gadis desa seperti Falisa yang nyaris tak pernah ke kota besar seumur hidupnya menjadi sedikit norak seperti itu. Namun, Yuuya tidak malu berada di dekat Falisa, sebaliknya dia selalu tertawa karena gemas melihat tingkahlaku kekasihnya itu.
“Hei, Fal. Kau mau makan apa?” tanya Yuuya.
Falisa pun menghentikan aktivitasnya menelisik ke sekeliling kantin, dia meneguk ludah lalu berbisik pelan, “Apa makanan di sini mahal?”
Yuuya sempat melongo mendengar pertanyaan Falisa, hingga dengan cepat dia menggelengkan kepala. “Tidak, tidak. Di sini semua makanannya gratis, kau tidak perlu membayar.”
“Hah? Benarkah itu?”
Yuuya yang sedang bersedekap di atas meja pun mencondongkan tubuh ke depan dan mengulurkan satu tangan untuk mengusap puncak kepala Falisa yang sekarang terlihat terheran-heran setelah mendengar jawabannya. “Tentu saja. Ini kantin khusus untuk karyawan. Semuanya gratis, kau hanya perlu mengambil makanan apa yang kau inginkan lalu menyantapnya dengan tenang di sini tanpa perlu memikirkan berapa uang yang harus kau keluarkan.”
“Wow, bekerja di perusahaan ini sepertinya sangat menyenangkan.”
“Sebenarnya hampir semua perusahaan besar memiliki kantin untuk tempat karyawannya makan. Jadi, bagaimana? Kau ingin memakan apa untuk menu makan siang kita hari ini?”
Falisa memasang ekspresi wajah sedang berpikir, menimbang-nimbang makanan apa yang ingin dia makan siang ini. Namun, karena tak tahu makanan apa saja yang disediakan di kantin dan dia juga malu menanyakannya pada Yuuya. “Aku makan apa saja yang kau pilihkan.” Maka jawaban seperti itulah yang dia berikan.
“Kau yakin tidak apa-apa aku yang memilihkan makanan?”
Dengan antusias Falisa mengangguk. “Ya, tidak masalah. Tolong ambilkan makanan untukku, makanan yang menurutmu paling lezat di kantin ini.”
“Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar di sini, aku akan segera kembali.”
Falisa tak berkomentar saat Yuuya bangkit berdiri dan kini melenggang santai menuju ke depan di mana berbagai menu makanan sudah disediakan.
Falisa awalnya melanjutkan aktivitasnya tadi, menatap sekeliling kantin yang terlihat nyaman, bersih dan rapi tersebut. Dia juga menatap beberapa karyawan di meja lain yang sedang menikmati makanan di atas meja sambil berbincang dengan rekan masing-masing. Namun, suasana santai itu berubah menegangkan bagi Falisa saat tanpa sengaja dia menatap ke arah pintu kantin dan menemukan seseorang baru saja melangkah masuk. Jika orang itu merupakan karyawan biasa maka Falisa tak akan terpengaruh apa pun, tetapi sialnya orang itu adalah orang yang paling tidak ingin Falisa temui. Seseorang yang membuatnya gelisah sepanjang hari ini kini sedang melangkah santai memasuki kantin sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
“Selamat siang, Pak Juan.”
Bebarap karyawan yang berpapasan dengan orang itu menyapa dengan ramah membuat Falisa semakin yakin dia tidak salah mengenali orang. Walau mereka baru pertama kali bertemu di pantry tadi pagi tidak salah lagi orang itu memang Juan Mario Luther, sang CEO perusahaan yang menjadi orang paling dihindari oleh Falisa.
“Aduh, bagaimana ini dia berjalan ke sini?” gumam Falisa terlihat panik sendiri. Apalagi begitu melihat pria itu tak mengenakan jas mahal yang dia siram dengan teh tadi pagi, Juan hanya mengenakan kemeja putih dengan dasi yang masih menggantung rapi.
“Tidak, tidak. Dia tidak boleh melihatku atau dia akan membahas masalah tadi.” Isi kepala Falisa sudah dipenuhi berbagai pikiran negatif, dia benar-benar ketakutan sekarang.
“Apa aku pergi saja dari sini?”
Falisa berniat bangkit berdiri, tapi belum sempat dia melakukannya, dia ingat Yuuya sedang mengambilkan makanan untuknya, tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa mengabari Yuuya, itu sangat tidak sopan menurutnya. Lagi pula, jika dia berdiri sekarang mungkin Juan akan melihatnya mengingat jarak mereka semakin dekat. Sedikit lagi Juan akan melewati meja yang ditempati Falisa.
“Ah, mati aku. Dia pasti melihatku.”
Di tengah-tengah suasana tegang dan bingung yang sedang dirasakan Falisa, terlihat Juan tiba-tiba menarik tangannya dan memegang ponsel yang kini dia letakkan di depan telinga, sepertinya sebuah telepon baru saja masuk ke ponsel pria itu. Falisa beruntung karena kini fokus Juan tertuju pada orang yang sedang berbicara di telepon dengannya. Sedangkan Falisa kini dengan sengaja memiringkan tubuh sehingga dia dalam posisi membelakangi saat Juan melewati mejanya.
“Huh, aku selamat. Dia tidak melihatku sepertinya,” gumam Falisa lega sambil mengusap-usap dadanya di mana jantung di dalam sedang berdetak dengan begitu cepat.
Falisa pikir masalahnya telah selesai, tapi rupanya dia salah besar. Terdengar suara seseorang yang menarik kursi tepat di meja belakang, saat Falisa menoleh kini jantungnya serasa siap melompat keluar dari rongga d`ada begitu menyadari Juan-lah yang melakukannya. Pria itu kini duduk tepat di belakangnya dalam posisi memunggunginya. Falisa ingin pindah tempat duduk saja rasanya, tapi sayang seribu sayang semua tempat duduk nyaris penuh sekarang mengingat kantin semakin ramai oleh karyawan yang ingin menghabiskan waktu istirahat dengan makan siang di sana.
“Ya, bawakan aku jas warna hitan ke kantor. Tadi pagi ada wanita gila yang menumpahkan teh ke jasku padahal ada meeting penting pagi ini. Aku terpaksa harus memundurkan jadwal meeting menjadi sore hari karena tidak mungkin aku memakai jas kotor saat meeting. Minta supir antarkan ke kantor sekarang. Terima kasih, Bi.”
Falisa menggigit bibir bawah begitu tanpa sengaja mendengar percakapan antara Juan dan seseorang yang baru saja bicara di telepon dengannya. Semakin yakin pria itu memang marah besar karena insiden tadi pagi. Falisa kini meragukan ucapan Yuuya, dia tak yakin dirinya akan diterima bekerja di perusahaan ini. Kalaupun dia diterima, dia sangsi akan baik-baik saja di saat dia memiliki masalah dengan orang paling berpengaruh di perusahaan.
“Hei, Fal. Maaf, tadi sedikit mengantri. Lama ya menungguku?”
Falisa tersentak saat mendengar suara Yuuya mengalun di saat dirinya sedang panik dan melamun memikirkan nasibnya nanti di perusahaan itu akan bagaimana. Falisa tak sanggup lagi berada dalam jarak sedekat ini dengan sang CEO sehingga sebelum Yuuya duduk di kursi setelah meletakkan makanan mereka di atas meja, dia bergegas menarik tangan pria itu.
“Fal, ada apa ini?” tanya Yuuya yang kebingungan melihat tangannya ditarik paksa oleh Falisa seolah akan diajak pergi.
“Kita pergi dari sini.”
“Hah? Kenapa? Kita belum memakan makanannya.”
“Sudahlah, biarkan saja makanan itu. Dibandingkan makanan ada hal yang lebih penting.”
“Apa?” tanya Yuuya yang heran melihat tingkahlaku Falisa yang luar biasa aneh, terlihat sedang terburu-buru.
“Aku tidak tahan ada di sini, yang penting kita pergi dan makan di luar saja.”
Yuuya hanya mampu mengembuskan napas frustrasi, menatap untuk terakhir kalinya pada makanan yang susah payah dia dapatkan kini tergeletak sia-sia di atas meja, tapi dia tak memiliki pilihan selain mengikuti keinginan Falisa, walau dia bingung kenapa gadis itu tiba-tiba bersikap seperti ini.
***
Entah sudah keberapa kalinya suara decakan meluncur dari mulut pria berparas tampan, tapi terlihat sedikit berantakan tersebut. Dasi yang awalnya melingkar rapi di lehernya kini terlihat sedikit longgar karena tanpa sadar terus ditarik turun olehnya. Juan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan mata yang tertuju pada layar komputer.
Ketika suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar, refleks atensinya dari layar komputer teralihkan dan kini dia menatap ke arah pintu. Spontan bola matanya berotasi dengan malas saat melihat siapa orang yang dengan lancang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Hallo, Sayang. Aku tidak terlambat, kan?”
Qiana melangkah cepat dengan senyuman yang selalu terulas di bibirnya, menghampiri kursi yang sedang diduduki sang tunangan, Qiana berniat memberikan kecupan ringan di bibir pria itu, tetapi urung dia lakukan karena Juan yang menghindar dengan memalingkan wajahnya ke samping.
Qiana kesal tentu saja, tapi dia mencoba menahan mati-matian perasaan kesal itu karena mendapat penolakan dari Jaun bukan pertama kalinya dia dapatkan.
“Mau apa kau ke sini? Apa kau tidak tahu ini masih jam kantor? Aku sedang sibuk.”
“Ini, aku membawakan pesananmu,” ucap Qiana seraya mengulurkan kantong berisi jas hitam permintaan Juan.
“Aku meminta pembantu di rumah memberikannya pada sopir pribadi, kenapa jadi kau yang mengantarkannya?” tanya Juan, heran karena tadi dia memang menelepon pembantunya di rumah untuk mengantarkan jas tersebut, sama sekali tidak mengharapkan Qiana yang akan datang ke kantor dan mengganggunya yang sedang fokus bekerja.
“Tadi kebetulan aku sedang ada di rumah jadi aku saja yang antarkan ke sini. Kenapa memangnya? Kau tidak suka? Padahal aku sudah berbaik hati mengantarkannya untukmu.”
Juan tidak mengatakan apa pun, dia menerima jas yang masih terulur itu lantas mengeluarkannya dari tempatnya untuk melihat benarkah itu jas warna hitam seperti yang dia minta.
“Sepertinya kau sedang sibuk?”
“Tentu saja, ada banyak pekerjaan yang sedang aku urus. Jadi, kau boleh pergi. Terima kasih sudah mengantarkan jas ini.”
Bibir Qiana mengerucut tak suka mendengar ucapan Juan yang secara terang-terangan mengusirnya. “Kau mengusirku?” tanyanya ketus.
“Bukan mengusir, tapi memohon agar kau jangan mengganggu pekerjaanku. Aku sedang sibuk.”
Namun, alih-alih menuruti permintaan Juan untuk pergi, Qiana kini mendudukkan diri di atas meja, tepat di depan Juan yang sedang duduk di kursi. Wanita itu pun dengan nakal memainkan dasi yang melingkar di leher Juan.
“Apa perlu aku membantumu bekerja di sini? Aku dengan senang hati membantumu mengurus perusahaan ini.”
Juan mendengus keras sambil memundurkan posisi duduknya agar membuat jarak dengan Qiana yang terlalu dekat dengannya. “Tidak, terima kasih. Aku masih bisa mengatasi semua masalah perusahaan sendiri.”
“Aku serius. Aku tidak keberatan ikut membantumu mengelola perusahaan ini, toh separuh saham adalah milikku.”
“Sudah kukatakan tidak perlu. Kau tidak perlu repot-repot memikirkan perusahaan ini. Urus saja bisnis milikmu. Ok?”
Senyuman yang selalu terulas di bibir Qiana seketika luntur, digantikan oleh ekspresi luar biasa masam, dia kini bersedekap d`ada. “Kau ini kenapa seperti ini? Padahal sebentar lagi kita akan menikah, jadi wajar jika aku ingin membantu suamiku.”
Sedangkan Juan mencoba mengabaikan keberadaan Qiana, dia mencoba memfokuskan atensinya pada laporan yang sejak tadi dia periksa di layar komputer.
“Juan, kau dengar tidak?”
“Sudah kukatakan bisa mengatasi masalah perusahaan sendiri. Qiana, pergilah. Kau hanya mengganggu pekerjaanku.”
Habis sudah kesabaran Qiana menghadapi Juan yang selalu mengabaikannya, dia pun kini bangkit berdiri. “Kalau begitu nanti malam kau harus pulang cepat, aku akan menyiapkan makan malam spesial untuk kita berdua.”
Mendengar permintaan Qiana, seketika Juan mengalihkan tatapan, kini menatap lurus nan tajam pada wajah cantik Qiana yang menatapnya penuh seringaian.
“Aku tidak bisa, Qiana. Aku ada meeting sore ini.”
“Aku bilang kita akan makan malam, jadi tidak masalah kau pulang malam, aku akan menunggumu.”
“Aku tidak tahu sampai jam berapa meeting baru akan selesai, lebih baik jangan malam ini.”
Qiana memutar bola mata. “Aku tidak masalah jam berapa pun kau selesai meeting, yang penting kau harus pulang ke rumah malam ini. Aku tahu belakangan ini kau jarang pulang karena menginap di apartemenmu.”
Juan kembali duduk bersandar karena selama Qiana ada di ruangannya tentu dia tak akan bisa fokus pada pekerjaannya. “Aku sibuk belakangan ini, sering lembur di kantor. Aku memilih tidur di apartemen karena jaraknya lebih dekat dari kantor daripada pulang ke rumah.”
“Apa perlu aku juga ikut tinggal di apartemen bersamamu?”
Juan menggebrak meja sempat membuat Qiana berjengit kaget dengan tindakan mendadak pria itu.
“Jangan pernah berpikir untuk ikut denganku tinggal di apartemen. Qiana, aku juga membutuhkan waktu untuk menyendiri walau hanya sebentar. Apa belum cukup kita tinggal serumah sekarang padahal kita belum menikah? Ada apa denganmu? Kau seperti ketakutan jika aku tidak pulang ke rumah padahal aku selalu menjelaskannya, aku sibuk di kantor.”
“Aku tidak akan pernah tenang sebelum kita resmi menikah. Ingat Juan, perusahaanmu ini selamat berkat bantuan Papa. Kau harus menepati janjimu pada Papa untuk menikahiku.”
Juan terkekeh sambil mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku tidak mengerti kenapa kau selalu ketakutan seperti ini padahal apa pernah kau melihatku bermain dengan wanita lain di belakangmu?”
“Tetap saja, aku harus menjaga milikku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutmu dariku, Juan. Aku sangat mencintaimu.”
“Aku pikir yang kau rasakan itu bukan cinta, tetapi obsesi untuk memilikiku. Dan soal menikahimu, kau jangan khawatir, kita pasti akan menikah. Tapi aku sudah mengatakannya sejak awal, pernikahan itu semata-mata demi membayar hutang budiku pada ayahmu. Jadi, jangan terlalu banyak berharap pada pernikahan kita karena aku tidak mencintaimu.”
Qiana tertegun, tampak terluka mendengar ucapan Juan meskipun dia tahu pria itu sering mengatakan di hatinya memang tak ada cinta untuknya. Namun, Qiana tak ingin menyerah, dia selalu percaya suatu hari nanti dia akan bisa meluluhkan hati Juan dan pria itu perlahan akan mulai mencintainya jika mereka sudah menikah nanti.
Qiana pun memilih menepis semua kekesalan dalam hatinya, dia menunduk dan mendaratkan kecupan ringan di sudut bibir Juan. “Nanti malam aku akan tetap menunggumu pulang ke rumah. Aku akan menyiapkan makanan spesial untukmu. Kau harus pulang.”
“Kita lihat saja nanti, yang pasti aku tidak janji. Aku sudah memberitahumu dari sekarang, aku sibuk dan kemungkinan akan lembur lagi malam ini,” jawab Juan.
Qiana berniat melangkah pergi karena tak ingin mendengar lebih jauh lagi penolakan Juan, tapi langkahnya terhenti saat dia mengingat sesuatu. Dia pun kembali menoleh dan menatap Juan yang juga tengah menatap dirinya.
“Juan, aku tidak akan pernah membiarkan ada wanita lain yang mencoba merebutmu dariku. Kalaupun ada, akan kubuat wanita itu tersiksa seumur hidupnya. Kau dengar itu, jadi jangan coba-coba bermain api di belakangku.”
Qiana kembali berbalik badan dan kali ini benar-benar meninggalkan ruangan Juan.
“Dasar wanita gila, kenapa juga aku harus terlibat dengannya?”
Sedangkan Juan hanya bisa menggerutu, meratapi nasibnya yang harus terjebak dengan wanita yang tidak dia cintai dan sialnya wanita itu begitu terobsesi padanya.